BEBERAPA UNDANG-UNDANG YANG SERING DIUJI DI MK DAN DI BATALKAN OLEH MK
Thursday, February 7, 2019
Add Comment
BEBERAPA UNDANG-UNDANG YANG SERING
DIUJI DI MK DAN DI BATALKAN OLEH MK
Sejak Mahkamah Konstitusi (MK)
didirikan di Indonesia pada tahun 2003, undang-undang atau pasal tertentu dari
undang-undang yang dianggap merugikan hak konstitutional masyarakat dapat
dibatalkan oleh MK melalui judicial review yang diajukan oleh warga
negara.
Hal ini tentu saja merupakan
pembaruan penting dalam dunia hukum di Indonesia, mengingat sebelum adanya MK,
undang-undang yang merugikan masyarakat hampir tidak mungkin untuk diuji dan
dibatalkan.
Lalu, undang-undang apa saja yang
paling sering diuji di MK mulai dari berdirinya MK hingga saat ini? Berikut
ulasannya:
1.UU Pemberantasan Korupsi
UU No 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan UU No 20 Tahun
2001. Undang-undang ini pertama kali diuji oleh Dawud Djatmiko, seorang yang
terlilit kasus korupsi pengadaan lahan untuk proyek Jakarta Outer Ring
Road, pada tanggal 15 Juli 2006 silam.
Dalam putusannya, MK mengabulkan
sebagian permohonan Dawud dengan membatalkan ketentuan penjelasan Pasal 2 ayat
(1). Dengan demikian setelah putusan MK tersebut, suatu perbuatan korupsi
haruslah perbuatan yang melanggar suatu peraturan perundang-undangan. Tidak
cukup hanya dengan menyatakan telah melanggar rasa keadilan dan norma yang
hidup di masyarakat.
Setelah permohonan Dawud tersebut,
tercatat ada tujuh permohonan lagi terhadap UU ini, namun ditolak oleh MK.
2.UU Ketenagakerjaan
UU No 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan ini cukup unik. Kalangan pengusaha maupun pekerja sama-sama
mengkritik keberadaan undang-undang ini. Kalangan pengusaha misalnya yang
menyatakan bahwa UU ini mengatur kompensasi pesangon yang cukup besar sehingga
membebani pengusaha.
Sementara para pekerja salah satunya
mengkritik UU ini karena dianggap melegalkan sistem outsourcing yang pada
praktiknya tidak memberikan jaminan perlindungan pekerjaan bagi para buruh.
Lebih uniknya lagi, walaupun
sama-sama keberatan dengan substansi UU ini, justru hanya kalangan buruh yang
selalu mempersoalkan UU ini ke MK. Baik secara individu maupun melalui serikat
pekerja. Sedangkan organisasi pengusaha (Apindo misalnya) tak pernah menggugat
UU ini ke MK.
Tercatat ada sembilan kali UU ini
diuji ke MK. Hanya ada satu permohonan yang ditolak, dan satu permohonan lagi
yang belakangan dicabut oleh sang pemohonnya. Sisanya dikabulkan oleh MK yang
berdampak pada dibatalkannya beberapa pasal dalam UU ini.
3.UU Advokat
Hingga saat ini, pengujian UU
Advokat terhadap UUD 1945 di MK telah dilakukan sebanyak 9 (sembilan) kali,
tapi hanya 1 permohonan yang dikabulkan oleh MK, yaitu: Perkara No.
006/PUU-II/2004.
Pada 10 Maret 2004, Mahkamah
Konstitusi menerima permohonan pengujian Pasal 31 UU Advokat terhadap UUD 1945
yang diajukan oleh Tongat, Sumali, dan A. Fuad, masing-masing adalah Kepala,
Sekretaris, dan staf pada Laboratorium Konsultasi dan Pelayanan Hukum (LKPH)
Universitas Muhammadiyah Malang. Pasal tersebut dinilai sangat diskriminatif
dan tidak adil bagi pihak LKPH dalam memberikan bantuan hukum kepada masyarakat.
Kemudian 13 Desember 2004, dengan
suara 6:3 Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Pasal 31 UU Advokat dinyatakan
tidak berlaku. Putusan ini lantas disambut gembira tak hanya oleh pihak LKPH
Muhammadiyah Malang, namun juga oleh lembaga-lembaga serupa pada fakultas hukum
perguruan tinggi negeri. Sebaliknya, putusan itu mendapat reaksi keras dari
kalangan advokat. Mereka menilai putusan itu membuat masyarakat tak lagi
terlindungi dari advokat liar.
4.Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Sejak MK dibentuk hingga saat ini,
KUHP telah diuji sebanyak 10 kali. Pengujian pertama terhadap KUHP diajukan
tahun 2006 oleh Eggi Sudjana dan Pandapotan Lubis, dan yang terakhir kali
diajukan September 2013.
Dari 10 pengujian yang diajukan,
hanya dua permohonan yang dikabulkan oleh MK, yaitu:
a. Pengujian terhadap Pasal 134, 136bis, dan 137 (Putusan No. 013-022/PUU-IV/2006); dan
b. Pengujian terhadap Pasal 107, Pasal 154, Pasal 155, Pasal 160, Pasal 161, Pasal 207 dan Pasal 208 (Putusan No. 6/PUU-V/2007. MK hanya mengabulkan sebagian, yaitu membatalkan Pasal 154 dan 155)
a. Pengujian terhadap Pasal 134, 136bis, dan 137 (Putusan No. 013-022/PUU-IV/2006); dan
b. Pengujian terhadap Pasal 107, Pasal 154, Pasal 155, Pasal 160, Pasal 161, Pasal 207 dan Pasal 208 (Putusan No. 6/PUU-V/2007. MK hanya mengabulkan sebagian, yaitu membatalkan Pasal 154 dan 155)
Putusan No. 013-022/PUU-IV/2006
Dalam putusannya, MK merujuk praktik
di Jepang, dimana tuduhan penghinaan terhadap kaisar dan keluarganya harus
didahului adanya pengaduan, misalnya oleh perdana menteri. MK juga berpendapat,
Pasal 134, 136 bis dan 137 KUHP bisa menghambat atau menjadi ganjalan dalam
proses ketatanegaraan. Misalnya ketika muncul dugaan pelanggaran yang dilakukan
Presiden, karena upaya-upaya klarifikasi tuduhan pelanggaran bisa dipandang
sebagai penghinaan kepada Presiden/Wakil Presiden. MK menyatakan pasal 134, 136
bisa dan 137 KUHP bertentangan dengan UUD 1945.
Putusan No. 6/PUU-V/2007
Dalam putusan ini, MK menyatakan
Pasal 154 dan 155 KUHP, yang juga dikenal dengan haatzai artikelen,
bertentangan dengan UUD 1945. MK menemukan bahwa kedua pasal itu diadopsi oleh
pemerintah kolonial Hindia Belanda dari pasal 124a British India Penal Code Tahun
1915. Di India sendiri pasal itu sudah dinyatakan tidak berlaku lagi oleh
Indian Supreme Court dan East Punjab High Court karena bertentangan dengan
konstitusi India.
MK lalu mengidentifikasi bahwa Pasal
154 dan Pasal 155 itu memang tidak rasional. Sebab seorang warganegara dari
negara yang merdeka dan berdaulat tidak mungkin memusuhi negara atau
pemerintahannya sendiri kecuali dalam hal makar. Dan soal makar, sudah diatur
tersendiri dalam pasal lain di KUHP.
5.UU Kesehatan
Serupa dengan KUHP, Undang-Undang
No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”) telah diuji sebanyak 10
kali sejak MK didirikan. Dari 10 permohonan pengujian yang diajukan ke MK,
hanya tiga yang dikabulkan yaitu:
- Pengujian terhadap Pasal 108 ayat (1) dan Penjelasan, serta Pasal 190 ayat (1) (Putusan No. 12/PUU-VIII/2010, dikabulkan sebagian)
- Pengujian terhadap Pasal 113 ayat (2), Pasal 114 beserta penjelasannya, dan Pasal 199 ayat (1) (Putusan No. 34/PUU-VIII/2010, dikabulkan sebagian)
- Pengujian terhadap Pasal 115 ayat (1) (Putusan no. 57/PUU-IX/2011, dikabulkan seluruhnya)
Putusan No. 12/PUU-VIII/2010
Dalam Putusan ini, MK menyatakan
Pasal 108 ayat (1) UU Kesehatan sepanjang kalimat, ‘…harus dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai peraturan
perundang-undangan’ bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mengikat, sepanjang
tidak dimaknai bahwa “tenaga kesehatan” adalah tenaga kefarmasian.
Jika tidak ada tenaga kefarmasian,
MK menegaskan, tenaga kesehatan tertentu dapat melakukan praktik kefarmasian
secara terbatas. Seperti dokter, dokter gigi, bidan, dan perawat yang melakukan
tugasnya dalam keadaan darurat yang mengancam keselamatan jiwa dan diperlukan
tindakan medis segera untuk menyelamatkan pasien.
Putusan No. 34/PUU-VIII/2010
MK mewajibkan produsen dan importir
rokok di Indonesia mencantumkan peringatan kesehatan dalam bentuk gambar,
selain bentuk tulisan yang berlaku selama ini. Sebab, MK menghilangkan kata
“dapat” dalam Penjelasan Pasal 114 UU Kesehatan yang selama ini ditafsirkan
peringatan kesehatan dalam produk rokok bisa diberikan dalam bentuk tulisan
atau gambar.
MK menegaskan, kata ‘dapat’ dalam
Penjelasan Pasal 114 UU Kesehatan bertentangan dengan UUD 1945, sehingga
peringatan kesehatan harus dimaknai dengan tulisan yang jelas, mudah terbaca,
dan disertai gambar atau bentuk lainnya.
Selain itu, MK juga menyatakan frasa
“berbentuk gambar” dalam Pasal 199 ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 dan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Karena itu, setelah putusan ini, Pasal
199 ayat (1) berbunyi, “Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau
memasukkan rokok ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan
tidak mencantumkan peringatan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114
dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”
Putusan No. 57/PUU-IX/2011
Dalam putusan ini, MK menghapus kata
“dapat” yang tercantum dalam Penjelasan Pasal 115 ayat (1) UU Kesehatan
bertentangan dengan UUD 1945. MK berpendapat, bahwa kata “dapat” berimplikasi
pada ketiadaan proporsionalitas dalam pengaturan tentang “tempat khusus
merokok” yang mengakomodasi antara kepentingan perokok untuk merokok dan
kepentingan publik agar terhindar dari ancaman bahaya rokok bagi kesehatan sekaligus
meningkatnya derajat kesehatan.
MK menegaskan, merokok adalah
perbuatan yang secara hukum legal atau diizinkan, sehingga dengan kata “dapat”
tersebut berarti pemerintah boleh menyediakan atau tidak menyediakan “tempat
khusus untuk merokok.” Hal itu akan menghilangkan kesempatan bagi para perokok
untuk merokok manakala pemerintah dalam implementasinya benar-benar tidak
menyediakan “tempat khusus untuk merokok” di tempat kerja, di tempat umum, dan
di tempat lainnya.
6.UU Kejaksaan
Hingga hari ini, UU Kejaksaan
tercatat telah diuji terhadap UUD 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebanyak 10
kali. Meski demikian, hanya 1 permohonan pengujian UU Kejaksaan yang dikabulkan
(sebagian) oleh MK yaitu perkara No. 49/PUU-VIII/2010. Pemohonnya yaitu Yusril
Ihza Mahendra.
Sebagaimana
ditulis hukumonline,
Yusril –sejak ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi Sisminbakum-
mempersoalkan legalitas jabatan Jaksa Agung Hendarman Supandji. Yusril
menuding Hendarman bukan Jaksa Agung yang sah. Sebab, dengan berakhirnya Kabinet Indonesia
Bersatu (KIB) I, 20 Oktober 2009 lalu, Hendarman belum diberhentikan hingga
terbentuknya KIB II. Karenanya, Yusril menilai segala tindakannya, terutama
terhadap kasus yang membelitnya, dianggap ilegal.
Yusril kemudian meminta MK menguji
Pasal 19 (2) jo Pasal 22 ayat (1) UU Kejaksaan. Menurut Yusril, kedua pasal itu
tak membatasi masa jabatan seorang Jaksa Agung. Mantan Menteri Hukum dan HAM
itu berniat menguji konstitusionalitas penafsiran pasal tersebut dihubungkan
dengan prinsip negara hukum sesuai Pasal 1 dan 28 D ayat (1) UUD 1945.
MK dalam putusannya pada 22
September 2010 memutuskan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU No 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan yang mengatur masa jabatan Jaksa Agung dinyatakan konstitusional
bersyarat (conditionally constitutional) sebelum dilakukannya legislative
review yang berlaku prospektif ke depan. Artinya, masa jabatan Jaksa Agung
dinyatakan konstitusional dengan tafsir berakhirnya masa jabatan Jaksa Agung
berakhir bersamaan dengan masa jabatan Presiden yang mengangkatnya sesuai
praktek ketatanegaraan di Indonesia.
BEBERAPA UNDANG-UNDANG YANG DITOLAK
OLEH MK
1.UU Sumber Daya Air
Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan
keberlakuan secara keseluruhan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber
Daya Air (SDA) karena tidak memenuhi enam prinsip dasar pembatasan pengelolaan
sumber daya air. Demikian putusan dengan Nomor 85/PUU-XII/2013 dibacakan oleh
Ketua MK Arief Hidayat pada Rabu (18/2) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Mengabulkan permohonan Pemohon I,
Pemohon II, Pemohon IV, Pemohon V, Pemohon VI, Pemohon VII, Pemohon VIII,
Pemohon IX, Pemohon X, dan Pemohon XI untuk seluruhnya. Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air bertentangan dengan UUD 1945,” urai Arief
membacakan putusan yang diajukan oleh PP Muhammadiyah, Perkumpulan Vanaprastha
dan beberapa pemohon perseorangan tersebut.
Dalam pendapat Mahkamah yang
dibacakan oleh Wakil Ketua MK Anwar Usman, putusan terkait UU SDA juga telah
dipertimbangkan dalam putusan Putusan Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan
Nomor 008/PUU-III/2005. Dalam pertimbangannya, MK menyatakan bahwa sumber daya
air sebagai bagian dari hak asasi, sumber daya yang terdapat pada air juga
diperlukan manusia untuk memenuhi kebutuhan lainnya, seperti untuk pengairan
pertanian, pembangkit tenaga listrik, dan untuk keperluan industri, yang
mempunyai andil penting bagi kemajuan kehidupan manusia dan menjadi faktor
penting pula bagi manusia untuk dapat hidup layak.
“Persyaratan konstitusionalitas UU
SDA tersebut adalah bahwa UU SDA dalam pelaksanaannya harus menjamin
terwujudnya amanat konstitusi tentang hak penguasaan negara atas air. Hak
penguasaan negara atas air itu dapat dikatakan ada bilamana negara, yang oleh
UUD 1945 diberi mandat untuk membuat kebijakan (beleid), masih memegang
kendali dalam melaksanakan tindakan pengurusan (bestuursdaad), tindakan
pengaturan (regelendaad), tindakan pengelolaan (beheersdaad), dan
tindakan pengawasan (toezichthoudensdaad),” jelas Anwar.
Selain dua aspek tersebut, jaminan
bahwa negara masih tetap memegang hak penguasaannya atas air itu menjadi syarat
yang tak dapat ditiadakan dalam menilai konstitusionalitas UU SDA. Jaminan ini
terlihat dalam enam prinsip dasar pembatasan pengelolaan sumber daya air.
Keenam prinsip dasar tersebut, yakni pengguna sumber daya air untuk memenuhi
kebutuhan pokok sehari-hari dan untuk pertanian rakyat tidak dibebani biaya
jasa pengelolaan sumber daya air, sepanjang pemenuhan kebutuhan pokok
sehari-hari dan untuk pertanian rakyat di atas diperoleh langsung dari sumber
air.
Swasta Tidak Boleh Kuasai
Pengelolaan Air
Kemudian, konsep hak dalam Hak Guna
Air harus dibedakan dengan konsep hak dalam pengertian umum dan haruslah
sejalan dengan konsep res commune yang tidak boleh menjadi
objek harga secara ekonomi. Selain itu,Konsep Hak Guna Pakai Air dalam UU SDA
harus ditafsirkan sebagai turunan (derivative) dari hak hidup yang
dijamin oleh UUD 1945. Oleh karenanya, pemanfaatan air di luar Hak Guna Pakai
Air, dalam hal ini Hak Guna Usaha Air, haruslah melalui permohonan izin kepada
Pemerintah yang penerbitannya harus berdasarkan pada pola yang disusun dengan
melibatkan peran serta masyarakat yang seluas-luasnya. Oleh karena itu, Hak
Guna Usaha Air tidak boleh dimaksudkan sebagai pemberian hak penguasaan atas
sumber air, sungai, danau, atau rawa.
Hak Guna Usaha Air merupakan
instrumen dalam sistem perizinan yang digunakan Pemerintah untuk membatasi
jumlah atau volume air yang dapat diperoleh atau diusahakan oleh yang berhak
sehingga dalam konteks ini, izin harus dijadikan instrumen pengendalian, bukan
instrumen penguasaan. “Dengan demikian, swasta tidak boleh melakukan penguasaan
atas sumber air atau sumber daya air tetapi hanya dapat melakukan pengusahaan
dalam jumlah atau alokasi tertentu saja sesuai dengan alokasi yang ditentukan
dalam izin yang diberikan oleh negara secara ketat,” ujar Hakim Konstitusi
Aswanto.
Petani Tidak Dikenai Biaya
Pengelolaan SDA
Hal lain yang dipertimbangkan MK,
terkait prinsip “penerima manfaat jasa pengelolaan sumber daya air wajib
menanggung biaya pengelolaan” harus dimaknai sebagai prinsip yang tidak
menempatkan air sebagai objek untuk dikenai harga secara ekonomi. Dengan demikian,
tidak ada harga air sebagai komponen penghitungan jumlah yang harus dibayar
oleh penerima manfaat. Di samping itu, prinsip ini harus dilaksanakan secara
fleksibel dengan tidak mengenakan perhitungan secara sama tanpa
mempertimbangkan macam pemanfaatan sumber daya air. “Oleh karena itu, petani
pemakai air, pengguna air untuk keperluan pertanian rakyat dibebaskan dari
kewajiban membiayai jasa pengelolaan sumber daya air,” sambung Aswanto.
Prinsip kelima, terkait
hak ulayat masyarakat hukum adat yang masih hidup atas sumber daya air diakui,
sesuai dengan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Adanya ketentuan tentang pengukuhan
kesatuan masyarakat hukum adat yang masih hidup melalui Peraturan Daerah harus
dimaknai tidak bersifat konstitutif melainkan bersifat deklaratif. Terakhir,
lanjut Aswanto, pada prinsipnya pengusahaan air untuk negara lain tidak
diizinkan. Pemerintah hanya dapat memberikan izin pengusahaan air untuk negara
lain apabila penyediaan air untuk berbagai kebutuhan sendiri telah terpenuhi.
Kebutuhan dimaksud, antara lain, kebutuhan pokok, sanitasi lingkungan,
pertanian, ketenagaan, industri, pertambangan, perhubungan, kehutanan dan
keanekaragaman hayati, olah raga, rekreasi dan pariwisata, ekosistem, estetika
serta kebutuhan lain. “Berdasarkan seluruh pertimbangan sebagaimana diuraikan
di atas tampak bahwa hak penguasaan oleh negara atas air adalah ‘ruh’ atau
‘jantung’ dari Undang-Undang SDA sebagaimana diamanatkan oleh UUD
1945,” tuturnya.
Dengan alasan tersebut, MK pun
memeriksa pelaksanaan dari UU SDA, dalam hal ini Peraturan Pemerintah terkait
dengan pengujian UU SDA sehingga apabila maksud tersebut ternyata bertentangan
dengan penafsiran yang diberikan oleh Mahkamah, hal itu menunjukkan bahwa
Undang-Undang yang bersangkutan memang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar.
Meskipun Pemerintah telah menetapkan enam Peraturan Pemerintah untuk
melaksanakan UU SDA a quo, namun menurut Mahkamah keenam Peraturan
Pemerintah tersebut tidak memenuhi enam prinsip dasar pembatasan pengelolaan
sumber daya air. Oleh karena permohonan para Pemohon berkaitan dengan jantung
UU SDA maka permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Dalam pokok permohonannya, para
pemohon menjelaskan ada penyelewengan terhadap pertimbangan MK dalam putusan
perkara 58-59-60-63/PUU-II/2004 dan perkara 8/PUU-III/2005, perihal pengujian
UU Nomor 7/2004 tentang Sumber Daya Air. Penyelewengan norma tersebut
berdampak dalam pelaksanaannya yang cenderung membuka peluang privatisasi dan
komersialisasi yang merugikan masyarakat. Sejak terbitnya PP No. 16/2005
tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (PP SPAM), semakin menegaskan
kuatnya peran swasta dalam pengelolaan air. Padahal, UU SDA menegaskan,
pengembangan SPAM merupakan tanggung jawab pemerintah pusat/pemerintah daerah,
sehingga penyelenggaranya adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN)/Badan Usaha
Milik Daerah (BUMD). Hak Guna Pakai Air menurut UU SDA hanya dinikmati oleh
pengelola yang mengambil dari sumber air, bukan para konsumen yang menikmati
air siap pakai yang sudah didistribusikan. (Lulu Anjarsari)
2.UU Perkoperasian
Roh
korporasi terus merasuk ke sendi-sendi kehidupan negara, termasuk jiwa usaha
yang sesuai dengan kegotongroyongan koperasi. Gara-gara bernuansa
korporasi, UU
No. 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian dibatalkan
Mahkamah Konstitusi (MK). Tak tanggung-tanggung, yang dibatalkan adalah seluruh
materi muatan Undang-Undang tersebut.
Selain
karena berjiwa korporasi, UU Perkoperasian telah menghilangkan asas
kekeluargaan dan gotong royong yang menjadi ciri khas koperasi. Menurut
Mahkamah, UU Perkoperasian 2012 bertentangan dengan UUD 1945, dan menjadi tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat setelah putusan ini.
Untuk
menghindari kekosongan hukum, Mahkamah menyatakan berlaku kembali UU
Perkoperasian 1992. ”Undang-Undang
No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian berlaku untuk
sementara waktu sampai dengan terbentuknya UU yang baru,” kata Ketua Majelis
Hakim Hamdan Zoelva saat membacakan putusan bernomor 28/PUU-XI/2013 di ruang
sidang MK, Rabu (28/5).
Permohonan
ini diajukan
Gabungan Koperasi Pegawai Republik Indonesia (GPRI) Provinsi Jawa Timur, Pusat
Koperasi Unit Desa (Puskud) Jawa Timur, Pusat Koperasi Wanita Jawa Timur
(Puskowanjati), Pusat Koperasi An-Nisa Jawa Timur, Pusat Koperasi Bueka
Assakinah Jawa Timur, Gabungan Koperasi Susu Indonesia, Agung Haryono, dan
Mulyono. Mereka menguji Pasal 1 angka 1, Pasal 50 ayat (1), Pasal 55 ayat (1),
Pasal 56 ayat (1), Pasal 66, Pasal 67, Pasal 68, Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71,
Pasal 72, Pasal 73, Pasal 74, Pasal 75, Pasal 76, Pasal 77, Pasal 80, Pasal 82,
dan Pasal 83 UU Perkoperasian 2012.
Para
pemohon menilai sejumlah pasal yang mengatur norma badan hukum koperasi, modal
penyertaan dari luar anggota, kewenangan pengawas dan dewan koperasi itu
dinilai mencabut roh kedaulatan rakyat, demokrasi ekonomi, asas kekeluargaan,
kebersamaan yang dijamin konstitusi.
Misalnya, definisi
koperasi menempatkan koperasi hanya sebagai ”badan hukum” dan/atau sebagai
subjek berakibat pada korporatisasi koperasi. Membuka peluang modal penyertaan
dari luar anggota yang akan dijadikan instrumen oleh pemerintah dan atau
pemilik modal besar untuk diinvestasikan pada koperasi. Hal itu bentuk
pengerusakan kemandirian koperasi. Karena itu, para pemohon meminta MK
membatalkan pasal-pasal itu karena bertentangan dengan UUD 1945.
Mahkamah
menilai Pasal 1 angka 1 UU Perkoperasian yang menyebut koperasi sebagai badan
hukum tidak mengandung pengertian substantif, merujuk pada pengertian sebagai
bangunan perusahaan khas. Hal tidak sejalan dengan koperasi seperti dimaksud
Pasal 33 ayat (1) UUD 1945.
”Dalil
pemohon bahwa pengertian koperasi mengandung individualisme, sehingga dalil
pemohon beralasan menurut hukum,” kata anggota Majelis, Maria Farida Indrati
saat membacakan pertimbangan hukumnya.
Pasal
50 ayat (1) huruf a, ayat (2), huruf a dan e dan Pasal 56 ayat (1) yang memberi
tugas kepada pengawas untuk mengusulkan pengurus, menerima atau menolak anggota
baru hingga memberhentikan anggota kontradiktif dengan Pasal 5 ayat (1) dan
Pasal 29 ayat (2) yang menjadikan demokrasi dan persamaan sebagai nilai dasar
kegiatan koperasi. ”Pasal itu bertentangan dengan prinsip demokrasi ekonomi,”
tuturnya.
Maria
melanjutkan Pasal 68 dan Pasal 69 yang mengharuskan anggota koperasi membeli
sertipikat modal koperasi adalah norma yang tidak sesuai prinsip koperasi yang
bersifat sukarela dan terbuka dan bertentangan dengan Pasal 33 ayat (1) UUD
1945. ”Ini berarti orientasi koperasi telah bergeser ke arah usaha bersama
sebagai modal (materil dan finansial) utamanya,” lanjutnya.
Ditegaskan
Mahkamah UU Perkoperasian mengutamakan skema permodalan materiil dan finansial
yang mengesampingkan modal sosial yang justru menjadi ciri fundamental koperasi
sebagai suatu entitas khas pelaku ekonomi berdasarkan UUD 1945.
Karenanya,
filosofi UU Perkoperasian ternyata tidak sesuai dengan hakikat susunan
perekonomian sebagai usaha bersama dan berdasarkan asas kekeluargaan yang
termuat dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. ”Pengertian koperasi itu ternyata
telah dielaborasi dalam pasal-pasal lain dalam UU Perkoperasian, sehingga
mereduksi atau bahkan menegasikan hak dan kewajiban anggota dengan menjadikan
kewenangan pengawas terlalu luas.”
Akibatnya,
menurut Mahkamah, koperasi menjadi sama dan tidak berbeda dengan perseroan
terbatas. Koperasi menjadi kehilangan roh konstitusionalnya sebagai entitas
pelaku ekonomi khas bangsa yang berfilosofi gotong royong. Mahkamah berpendapat
meskipun permohonan pemohon hanya mengenai pasal tertentu, namun karena pasal
tersebut mengandung materi muatan norma subtansial yang menjadi jantung UU
Perkoperasian, maka harus dibatalkan seluruhnya.
”Sehingga
jika hanya pasal-pasal tersebut yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945
dan tidak mempunyai hukum mengikat maka akan menjadikan pasal-pasal lain tidak
dapat berfungsi lagi,” kata Maria.
Usai
persidangan, salah satu pemohon Wigatiningsih mengungkapkan pembatalan UU
Perkoperasian sudah sejalan dengan jati diri koperasi. Karena itu, sejak putusan
adanya putusan ini saat ini koperasi bukan lagi berbadan hukum yang
pengoperasiannya lebih condong seperti Perseroan Terbatas (PT).
Begitupula,
modal pengelolaan koperasi pun berasal dari anggota, bukanlah dari non-anggota
(pihak asing). “Jadi kalau ada pemodal dari luar tentunya keuntungan bukan lagi
milik anggota, malah menjadi milik pemodal. Jadi ada kekuasaan tertentu, tidak
sama dengan ’ruh’ koperasi terdahulu,” kata Wigatiningsih.
Pemohon
menyatakan tetap konsisten terhadap UU Koperasi yang lama hingga terbitnya
peraturan yang baru.
uji
materi UU Sumber Daya Air (SDA), Rabu (18/2) di Ruang Sidang Pleno GEdung MK.
Foto Humas/Ganie.
Mahkamah
Konstitusi (MK) membatalkan keberlakuan secara keseluruhan Undang-Undang Nomor
7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) karena tidak memenuhi enam prinsip
dasar pembatasan pengelolaan sumber daya air. Demikian putusan dengan Nomor
85/PUU-XII/2013 dibacakan oleh Ketua MK Arief Hidayat pada Rabu (18/2) di Ruang
Sidang Pleno MK.
“Mengabulkan
permohonan Pemohon I, Pemohon II, Pemohon IV, Pemohon V, Pemohon VI, Pemohon
VII, Pemohon VIII, Pemohon IX, Pemohon X, dan Pemohon XI untuk seluruhnya.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air bertentangan dengan
UUD 1945,” urai Arief membacakan putusan yang diajukan oleh PP Muhammadiyah,
Perkumpulan Vanaprastha dan beberapa pemohon perseorangan tersebut.
Dalam
pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Wakil Ketua MK Anwar Usman, putusan
terkait UU SDA juga telah dipertimbangkan dalam putusan Putusan Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004
dan Nomor 008/PUU-III/2005. Dalam pertimbangannya, MK menyatakan bahwa sumber
daya air sebagai bagian dari hak asasi, sumber daya yang terdapat pada air juga
diperlukan manusia untuk memenuhi kebutuhan lainnya, seperti untuk pengairan pertanian,
pembangkit tenaga listrik, dan untuk keperluan industri, yang mempunyai andil
penting bagi kemajuan kehidupan manusia dan menjadi faktor penting pula bagi
manusia untuk dapat hidup layak.
“Persyaratan
konstitusionalitas UU SDA tersebut adalah bahwa UU SDA dalam pelaksanaannya
harus menjamin terwujudnya amanat konstitusi tentang hak penguasaan negara atas
air. Hak penguasaan negara atas air itu dapat dikatakan ada bilamana negara,
yang oleh UUD 1945 diberi mandat untuk membuat kebijakan (beleid), masih
memegang kendali dalam melaksanakan tindakan pengurusan (bestuursdaad),
tindakan pengaturan (regelendaad), tindakan pengelolaan (beheersdaad),
dan tindakan pengawasan (toezichthoudensdaad),” jelas Anwar.
Selain
dua aspek tersebut, jaminan bahwa negara masih tetap memegang hak penguasaannya
atas air itu menjadi syarat yang tak dapat ditiadakan dalam menilai
konstitusionalitas UU SDA. Jaminan ini terlihat dalam enam prinsip dasar
pembatasan pengelolaan sumber daya air. Keenam prinsip dasar tersebut, yakni
pengguna sumber daya air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan untuk
pertanian rakyat tidak dibebani biaya jasa pengelolaan sumber daya air,
sepanjang pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari dan untuk pertanian rakyat di
atas diperoleh langsung dari sumber air.
Swasta
Tidak Boleh Kuasai Pengelolaan Air
Kemudian,
konsep hak dalam Hak Guna Air harus dibedakan dengan konsep hak dalam
pengertian umum dan haruslah sejalan dengan konsep res commune yang
tidak boleh menjadi objek harga secara ekonomi. Selain itu, Konsep Hak
Guna Pakai Air dalam UU SDA harus ditafsirkan sebagai turunan (derivative)
dari hak hidup yang dijamin oleh UUD 1945. Oleh karenanya, pemanfaatan air di
luar Hak Guna Pakai Air, dalam hal ini Hak Guna Usaha Air, haruslah melalui
permohonan izin kepada Pemerintah yang penerbitannya harus berdasarkan pada
pola yang disusun dengan melibatkan peran serta masyarakat yang seluas-luasnya.
Oleh karena itu, Hak Guna Usaha Air tidak boleh dimaksudkan sebagai pemberian
hak penguasaan atas sumber air, sungai, danau, atau rawa.
Hak
Guna Usaha Air merupakan instrumen dalam sistem perizinan yang digunakan
Pemerintah untuk membatasi jumlah atau volume air yang dapat diperoleh atau
diusahakan oleh yang berhak sehingga dalam konteks ini, izin harus dijadikan
instrumen pengendalian, bukan instrumen penguasaan. “Dengan demikian, swasta
tidak boleh melakukan penguasaan atas sumber air atau sumber daya air tetapi
hanya dapat melakukan pengusahaan dalam jumlah atau alokasi tertentu saja
sesuai dengan alokasi yang ditentukan dalam izin yang diberikan oleh negara
secara ketat,” ujar Hakim Konstitusi Aswanto.
Petani
Tidak Dikenai Biaya Pengelolaan SDA
Hal
lain yang dipertimbangkan MK, terkait prinsip “penerima manfaat jasa
pengelolaan sumber daya air wajib menanggung biaya pengelolaan” harus dimaknai
sebagai prinsip yang tidak menempatkan air sebagai objek untuk dikenai harga
secara ekonomi. Dengan demikian, tidak ada harga air sebagai komponen
penghitungan jumlah yang harus dibayar oleh penerima manfaat. Di samping itu,
prinsip ini harus dilaksanakan secara fleksibel dengan tidak mengenakan
perhitungan secara sama tanpa mempertimbangkan macam pemanfaatan sumber daya
air. “Oleh karena itu, petani pemakai air, pengguna air untuk keperluan
pertanian rakyat dibebaskan dari kewajiban membiayai jasa pengelolaan sumber
daya air,” sambung Aswanto.
Prinsip
kelima, terkait hak ulayat masyarakat hukum adat yang masih hidup atas
sumber daya air diakui, sesuai dengan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Adanya
ketentuan tentang pengukuhan kesatuan masyarakat hukum adat yang masih hidup
melalui Peraturan Daerah harus dimaknai tidak bersifat konstitutif melainkan
bersifat deklaratif. Terakhir, lanjut Aswanto, pada prinsipnya pengusahaan air
untuk negara lain tidak diizinkan. Pemerintah hanya dapat memberikan izin
pengusahaan air untuk negara lain apabila penyediaan air untuk berbagai
kebutuhan sendiri telah terpenuhi. Kebutuhan dimaksud, antara lain, kebutuhan
pokok, sanitasi lingkungan, pertanian, ketenagaan, industri, pertambangan, perhubungan,
kehutanan dan keanekaragaman hayati, olah raga, rekreasi dan pariwisata,
ekosistem, estetika serta kebutuhan lain. “Berdasarkan seluruh pertimbangan
sebagaimana diuraikan di atas tampak bahwa hak penguasaan oleh negara atas air
adalah ‘ruh’ atau ‘jantung’ dari Undang-Undang SDA sebagaimana
diamanatkan oleh UUD 1945,” tuturnya.
Dengan
alasan tersebut, MK pun memeriksa pelaksanaan dari UU SDA, dalam hal ini
Peraturan Pemerintah terkait dengan pengujian UU SDA sehingga apabila maksud
tersebut ternyata bertentangan dengan penafsiran yang diberikan oleh Mahkamah,
hal itu menunjukkan bahwa Undang-Undang yang bersangkutan memang bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar. Meskipun Pemerintah telah menetapkan enam Peraturan
Pemerintah untuk melaksanakan UU SDA a quo, namun menurut Mahkamah
keenam Peraturan Pemerintah tersebut tidak memenuhi enam prinsip dasar
pembatasan pengelolaan sumber daya air. Oleh karena permohonan para Pemohon
berkaitan dengan jantung UU SDA maka permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum
untuk seluruhnya.
Dalam
pokok permohonannya, para pemohon menjelaskan ada penyelewengan terhadap
pertimbangan MK dalam putusan perkara 58-59-60-63/PUU-II/2004 dan perkara
8/PUU-III/2005, perihal pengujian UU Nomor 7/2004 tentang Sumber Daya Air. Penyelewengan
norma tersebut berdampak dalam pelaksanaannya yang cenderung membuka
peluang privatisasi dan komersialisasi yang merugikan masyarakat. Sejak
terbitnya PP No. 16/2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (PP
SPAM), semakin menegaskan kuatnya peran swasta dalam pengelolaan air. Padahal,
UU SDA menegaskan, pengembangan SPAM merupakan tanggung jawab pemerintah
pusat/pemerintah daerah, sehingga penyelenggaranya adalah Badan Usaha Milik
Negara (BUMN)/Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Hak Guna Pakai Air menurut UU
SDA hanya dinikmati oleh pengelola yang mengambil dari sumber air, bukan para
konsumen yang menikmati air siap pakai yang sudah didistribusikan. (Lulu
Anjarsari)
Roh korporasi terus merasuk ke
sendi-sendi kehidupan negara, termasuk jiawa usaha yang sesuai dengan
kegotongroyongan: koperasi. Gara-gara bernuansa korporasi, UU No. 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian dibatalkan
Mahkamah Konstitusi (MK). Tak tanggung-tanggung, yang dibatalkan adalah seluruh
materi muatan Undang-Undang tersebut.
Selain karena berjiwa korporasi, UU Perkoperasian telah menghilangkan asas kekeluargaan dan gotong royong yang menjadi ciri khas koperasi. Menurut Mahkamah, UU Perkoperasian 2012 bertentangan dengan UUD 1945, dan menjadi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat setelah putusan ini.
Untuk menghindari kekosongan hukum, Mahkamah menyatakan berlaku kembali UU Perkoperasian 1992. ”Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian berlaku untuk sementara waktu sampai dengan terbentuknya UU yang baru,” kata Ketua Majelis Hakim Hamdan Zoelva saat membacakan putusan bernomor 28/PUU-XI/2013 di ruang sidang MK, Rabu (28/5).
Permohonan ini diajukanGabungan Koperasi Pegawai Republik Indonesia (GPRI) Provinsi Jawa Timur, Pusat Koperasi Unit Desa (Puskud) Jawa Timur, Pusat Koperasi Wanita Jawa Timur (Puskowanjati), Pusat Koperasi An-Nisa Jawa Timur, Pusat Koperasi Bueka Assakinah Jawa Timur, Gabungan Koperasi Susu Indonesia, Agung Haryono, dan Mulyono. Mereka menguji Pasal 1 angka 1, Pasal 50 ayat (1), Pasal 55 ayat (1), Pasal 56 ayat (1), Pasal 66, Pasal 67, Pasal 68, Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, Pasal 72, Pasal 73, Pasal 74, Pasal 75, Pasal 76, Pasal 77, Pasal 80, Pasal 82, dan Pasal 83 UU Perkoperasian 2012.
Para pemohon menilai sejumlah pasal yang mengatur norma badan hukum koperasi, modal penyertaan dari luar anggota, kewenangan pengawas dan dewan koperasi itu dinilai mencabut roh kedaulatan rakyat, demokrasi ekonomi, asas kekeluargaan, kebersamaan yang dijamin konstitusi.
Misalnya, definisi koperasi menempatkan koperasi hanya sebagai ”badan hukum” dan/atau sebagai subjek berakibat pada korporatisasi koperasi. Membuka peluang modal penyertaan dari luar anggota yang akan dijadikan instrumen oleh pemerintah dan atau pemilik modal besar untuk diinvestasikan pada koperasi. Hal itu bentuk pengerusakan kemandirian koperasi. Karena itu, para pemohon meminta MK membatalkan pasal-pasal itu karena bertentangan dengan UUD 1945.
Mahkamah menilai Pasal 1 angka 1 UU Perkoperasian yang menyebut koperasi sebagai badan hukum tidak mengandung pengertian substantif, merujuk pada pengertian sebagai bangunan perusahaan khas. Hal tidak sejalan dengan koperasi seperti dimaksud Pasal 33 ayat (1) UUD 1945.
”Dalil pemohon bahwa pengertian koperasi mengandung individualisme, sehingga dalil pemohon beralasan menurut hukum,” kata anggota Majelis, Maria Farida Indrati saat membacakan pertimbangan hukumnya.
Pasal 50 ayat (1) huruf a, ayat (2), huruf a dan e dan Pasal 56 ayat (1) yang memberi tugas kepada pengawas untuk mengusulkan pengurus, menerima atau menolak anggota baru hingga memberhentikan anggota kontradiktif dengan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) yang menjadikan demokrasi dan persamaan sebagai nilai dasar kegiatan koperasi. ”Pasal itu bertentangan dengan prinsip demokrasi ekonomi,” tuturnya.
Maria melanjutkan Pasal 68 dan Pasal 69 yang mengharuskan anggota koperasi membeli sertipikat modal koperasi adalah norma yang tidak sesuai prinsip koperasi yang bersifat sukarela dan terbuka dan bertentangan dengan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. ”Ini berarti orientasi koperasi telah bergeser ke arah usaha bersama sebagai modal (materil dan finansial) utamanya,” lanjutnya.
Ditegaskan Mahkamah UU Perkoperasian mengutamakan skema permodalan materiil dan finansial yang mengesampingkan modal sosial yang justru menjadi ciri fundamental koperasi sebagai suatu entitas khas pelaku ekonomi berdasarkan UUD 1945.
Karenanya, filosofi UU Perkoperasian ternyata tidak sesuai dengan hakikat susunan perekonomian sebagai usaha bersama dan berdasarkan asas kekeluargaan yang termuat dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. ”Pengertian koperasi itu ternyata telah dielaborasi dalam pasal-pasal lain dalam UU Perkoperasian, sehingga mereduksi atau bahkan menegasikan hak dan kewajiban anggota dengan menjadikan kewenangan pengawas terlalu luas.”
Akibatnya, menurut Mahkamah, koperasi menjadi sama dan tidak berbeda dengan perseroan terbatas. Koperasi menjadi kehilangan roh konstitusionalnya sebagai entitas pelaku ekonomi khas bangsa yang berfilosofi gotong royong. Mahkamah berpendapat meskipun permohonan pemohon hanya mengenai pasal tertentu, namun karena pasal tersebut mengandung materi muatan norma subtansial yang menjadi jantung UU Perkoperasian, maka harus dibatalkan seluruhnya.
”Sehingga jika hanya pasal-pasal tersebut yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai hukum mengikat maka akan menjadikan pasal-pasal lain tidak dapat berfungsi lagi,” kata Maria.
Usai persidangan, salah satu pemohon Wigatiningsih mengungkapkan pembatalan UU Perkoperasian sudah sejalan dengan jati diri koperasi. Karena itu, sejak putusan adanya putusan ini saat ini koperasi bukan lagi berbadan hukum yang pengoperasiannya lebih condong seperti Perseroan Terbatas (PT).
Begitupula, modal pengelolaan koperasi pun berasal dari anggota, bukanlah dari non-anggota (pihak asing). “Jadi kalau ada pemodal dari luar tentunya keuntungan bukan lagi milik anggota, malah menjadi milik pemodal. Jadi ada kekuasaan tertentu, tidak sama dengan ’ruh’ koperasi terdahulu,” kata Wigatiningsih.
Pemohon menyatakan tetap konsisten terhadap UU Koperasi yang lama hingga terbitnya peraturan yang baru.
Selain karena berjiwa korporasi, UU Perkoperasian telah menghilangkan asas kekeluargaan dan gotong royong yang menjadi ciri khas koperasi. Menurut Mahkamah, UU Perkoperasian 2012 bertentangan dengan UUD 1945, dan menjadi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat setelah putusan ini.
Untuk menghindari kekosongan hukum, Mahkamah menyatakan berlaku kembali UU Perkoperasian 1992. ”Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian berlaku untuk sementara waktu sampai dengan terbentuknya UU yang baru,” kata Ketua Majelis Hakim Hamdan Zoelva saat membacakan putusan bernomor 28/PUU-XI/2013 di ruang sidang MK, Rabu (28/5).
Permohonan ini diajukanGabungan Koperasi Pegawai Republik Indonesia (GPRI) Provinsi Jawa Timur, Pusat Koperasi Unit Desa (Puskud) Jawa Timur, Pusat Koperasi Wanita Jawa Timur (Puskowanjati), Pusat Koperasi An-Nisa Jawa Timur, Pusat Koperasi Bueka Assakinah Jawa Timur, Gabungan Koperasi Susu Indonesia, Agung Haryono, dan Mulyono. Mereka menguji Pasal 1 angka 1, Pasal 50 ayat (1), Pasal 55 ayat (1), Pasal 56 ayat (1), Pasal 66, Pasal 67, Pasal 68, Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, Pasal 72, Pasal 73, Pasal 74, Pasal 75, Pasal 76, Pasal 77, Pasal 80, Pasal 82, dan Pasal 83 UU Perkoperasian 2012.
Para pemohon menilai sejumlah pasal yang mengatur norma badan hukum koperasi, modal penyertaan dari luar anggota, kewenangan pengawas dan dewan koperasi itu dinilai mencabut roh kedaulatan rakyat, demokrasi ekonomi, asas kekeluargaan, kebersamaan yang dijamin konstitusi.
Misalnya, definisi koperasi menempatkan koperasi hanya sebagai ”badan hukum” dan/atau sebagai subjek berakibat pada korporatisasi koperasi. Membuka peluang modal penyertaan dari luar anggota yang akan dijadikan instrumen oleh pemerintah dan atau pemilik modal besar untuk diinvestasikan pada koperasi. Hal itu bentuk pengerusakan kemandirian koperasi. Karena itu, para pemohon meminta MK membatalkan pasal-pasal itu karena bertentangan dengan UUD 1945.
Mahkamah menilai Pasal 1 angka 1 UU Perkoperasian yang menyebut koperasi sebagai badan hukum tidak mengandung pengertian substantif, merujuk pada pengertian sebagai bangunan perusahaan khas. Hal tidak sejalan dengan koperasi seperti dimaksud Pasal 33 ayat (1) UUD 1945.
”Dalil pemohon bahwa pengertian koperasi mengandung individualisme, sehingga dalil pemohon beralasan menurut hukum,” kata anggota Majelis, Maria Farida Indrati saat membacakan pertimbangan hukumnya.
Pasal 50 ayat (1) huruf a, ayat (2), huruf a dan e dan Pasal 56 ayat (1) yang memberi tugas kepada pengawas untuk mengusulkan pengurus, menerima atau menolak anggota baru hingga memberhentikan anggota kontradiktif dengan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) yang menjadikan demokrasi dan persamaan sebagai nilai dasar kegiatan koperasi. ”Pasal itu bertentangan dengan prinsip demokrasi ekonomi,” tuturnya.
Maria melanjutkan Pasal 68 dan Pasal 69 yang mengharuskan anggota koperasi membeli sertipikat modal koperasi adalah norma yang tidak sesuai prinsip koperasi yang bersifat sukarela dan terbuka dan bertentangan dengan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. ”Ini berarti orientasi koperasi telah bergeser ke arah usaha bersama sebagai modal (materil dan finansial) utamanya,” lanjutnya.
Ditegaskan Mahkamah UU Perkoperasian mengutamakan skema permodalan materiil dan finansial yang mengesampingkan modal sosial yang justru menjadi ciri fundamental koperasi sebagai suatu entitas khas pelaku ekonomi berdasarkan UUD 1945.
Karenanya, filosofi UU Perkoperasian ternyata tidak sesuai dengan hakikat susunan perekonomian sebagai usaha bersama dan berdasarkan asas kekeluargaan yang termuat dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. ”Pengertian koperasi itu ternyata telah dielaborasi dalam pasal-pasal lain dalam UU Perkoperasian, sehingga mereduksi atau bahkan menegasikan hak dan kewajiban anggota dengan menjadikan kewenangan pengawas terlalu luas.”
Akibatnya, menurut Mahkamah, koperasi menjadi sama dan tidak berbeda dengan perseroan terbatas. Koperasi menjadi kehilangan roh konstitusionalnya sebagai entitas pelaku ekonomi khas bangsa yang berfilosofi gotong royong. Mahkamah berpendapat meskipun permohonan pemohon hanya mengenai pasal tertentu, namun karena pasal tersebut mengandung materi muatan norma subtansial yang menjadi jantung UU Perkoperasian, maka harus dibatalkan seluruhnya.
”Sehingga jika hanya pasal-pasal tersebut yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai hukum mengikat maka akan menjadikan pasal-pasal lain tidak dapat berfungsi lagi,” kata Maria.
Usai persidangan, salah satu pemohon Wigatiningsih mengungkapkan pembatalan UU Perkoperasian sudah sejalan dengan jati diri koperasi. Karena itu, sejak putusan adanya putusan ini saat ini koperasi bukan lagi berbadan hukum yang pengoperasiannya lebih condong seperti Perseroan Terbatas (PT).
Begitupula, modal pengelolaan koperasi pun berasal dari anggota, bukanlah dari non-anggota (pihak asing). “Jadi kalau ada pemodal dari luar tentunya keuntungan bukan lagi milik anggota, malah menjadi milik pemodal. Jadi ada kekuasaan tertentu, tidak sama dengan ’ruh’ koperasi terdahulu,” kata Wigatiningsih.
Pemohon menyatakan tetap konsisten terhadap UU Koperasi yang lama hingga terbitnya peraturan yang baru.
0 Response to "BEBERAPA UNDANG-UNDANG YANG SERING DIUJI DI MK DAN DI BATALKAN OLEH MK"
Post a Comment