BEBERAPA UNDANG-UNDANG YANG SERING DIUJI DI MK DAN DI BATALKAN OLEH MK


BEBERAPA UNDANG-UNDANG YANG SERING DIUJI DI MK DAN DI BATALKAN OLEH MK

Sejak Mahkamah Konstitusi (MK) didirikan di Indonesia pada tahun 2003, undang-undang atau pasal tertentu dari undang-undang yang dianggap merugikan hak konstitutional masyarakat dapat dibatalkan oleh MK melalui judicial review yang diajukan oleh warga negara.
Hal ini tentu saja merupakan pembaruan penting dalam dunia hukum di Indonesia, mengingat sebelum adanya MK, undang-undang yang merugikan masyarakat hampir tidak mungkin untuk diuji dan dibatalkan.
Lalu, undang-undang apa saja yang paling sering diuji di MK mulai dari berdirinya MK hingga saat ini? Berikut ulasannya:

1.UU Pemberantasan Korupsi
UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001. Undang-undang ini pertama kali diuji oleh Dawud Djatmiko, seorang yang terlilit kasus korupsi pengadaan lahan untuk proyek Jakarta Outer Ring Road, pada tanggal 15 Juli 2006 silam.
Dalam putusannya, MK mengabulkan sebagian permohonan Dawud dengan membatalkan ketentuan penjelasan Pasal 2 ayat (1). Dengan demikian setelah putusan MK tersebut, suatu perbuatan korupsi haruslah perbuatan yang melanggar suatu peraturan perundang-undangan. Tidak cukup hanya dengan menyatakan telah melanggar rasa keadilan dan norma yang hidup di masyarakat.
Setelah permohonan Dawud tersebut, tercatat ada tujuh permohonan lagi terhadap UU ini, namun ditolak oleh MK.

2.UU Ketenagakerjaan
UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ini cukup unik. Kalangan pengusaha maupun pekerja sama-sama mengkritik keberadaan undang-undang ini. Kalangan pengusaha misalnya yang menyatakan bahwa UU ini mengatur kompensasi pesangon yang cukup besar sehingga membebani pengusaha.
Sementara para pekerja salah satunya mengkritik UU ini karena dianggap melegalkan sistem outsourcing yang pada praktiknya tidak memberikan jaminan perlindungan pekerjaan bagi para buruh.
Lebih uniknya lagi, walaupun sama-sama keberatan dengan substansi UU ini, justru hanya kalangan buruh yang selalu mempersoalkan UU ini ke MK. Baik secara individu maupun melalui serikat pekerja. Sedangkan organisasi pengusaha (Apindo misalnya) tak pernah menggugat UU ini ke MK.
Tercatat ada sembilan kali UU ini diuji ke MK. Hanya ada satu permohonan yang ditolak, dan satu permohonan lagi yang belakangan dicabut oleh sang pemohonnya. Sisanya dikabulkan oleh MK yang berdampak pada dibatalkannya beberapa pasal dalam UU ini.

3.UU Advokat
Hingga saat ini, pengujian UU Advokat terhadap UUD 1945 di MK telah dilakukan sebanyak 9 (sembilan) kali, tapi hanya 1 permohonan yang dikabulkan oleh MK, yaitu: Perkara No. 006/PUU-II/2004.
Pada 10 Maret 2004, Mahkamah Konstitusi menerima permohonan pengujian Pasal 31 UU Advokat terhadap UUD 1945 yang diajukan oleh Tongat, Sumali, dan A. Fuad, masing-masing adalah Kepala, Sekretaris, dan staf pada Laboratorium Konsultasi dan Pelayanan Hukum (LKPH) Universitas Muhammadiyah Malang. Pasal tersebut dinilai sangat diskriminatif dan tidak adil bagi pihak LKPH dalam memberikan bantuan hukum kepada masyarakat.
Kemudian 13 Desember 2004, dengan suara 6:3 Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Pasal 31 UU Advokat dinyatakan tidak berlaku. Putusan ini lantas disambut gembira tak hanya oleh pihak LKPH Muhammadiyah Malang, namun juga oleh lembaga-lembaga serupa pada fakultas hukum perguruan tinggi negeri. Sebaliknya, putusan itu mendapat reaksi keras dari kalangan advokat. Mereka menilai putusan itu membuat masyarakat tak lagi terlindungi dari advokat liar.


4.Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Sejak MK dibentuk hingga saat ini, KUHP telah diuji sebanyak 10 kali. Pengujian pertama terhadap KUHP diajukan tahun 2006 oleh Eggi Sudjana dan Pandapotan Lubis, dan yang terakhir kali diajukan September 2013.
Dari 10 pengujian yang diajukan, hanya dua permohonan yang dikabulkan oleh MK, yaitu:
a. Pengujian terhadap Pasal 134, 136bis, dan 137 (Putusan No. 013-022/PUU-IV/2006); dan
b. Pengujian terhadap Pasal 107, Pasal 154, Pasal 155, Pasal 160, Pasal 161, Pasal 207 dan Pasal 208 (Putusan No. 6/PUU-V/2007. MK hanya mengabulkan sebagian, yaitu membatalkan Pasal 154 dan 155)
Putusan No. 013-022/PUU-IV/2006
Dalam putusannya, MK merujuk praktik di Jepang, dimana tuduhan penghinaan terhadap kaisar dan keluarganya harus didahului adanya pengaduan, misalnya oleh perdana menteri. MK juga berpendapat, Pasal 134, 136 bis dan 137 KUHP bisa menghambat atau menjadi ganjalan dalam proses ketatanegaraan. Misalnya ketika muncul dugaan pelanggaran yang dilakukan Presiden, karena upaya-upaya klarifikasi tuduhan pelanggaran bisa dipandang sebagai penghinaan kepada Presiden/Wakil Presiden. MK menyatakan pasal 134, 136 bisa dan 137 KUHP bertentangan dengan UUD 1945.
Putusan No. 6/PUU-V/2007
Dalam putusan ini, MK menyatakan Pasal 154 dan 155 KUHP, yang juga dikenal dengan haatzai artikelen, bertentangan dengan UUD 1945. MK menemukan bahwa kedua pasal itu diadopsi oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda dari pasal 124a British India Penal Code Tahun 1915. Di India sendiri pasal itu sudah dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Indian Supreme Court dan East Punjab High Court karena bertentangan dengan konstitusi India.
MK lalu mengidentifikasi bahwa Pasal 154 dan Pasal 155 itu memang tidak rasional. Sebab seorang warganegara dari negara yang merdeka dan berdaulat tidak mungkin memusuhi negara atau pemerintahannya sendiri kecuali dalam hal makar. Dan soal makar, sudah diatur tersendiri dalam pasal lain di KUHP.

5.UU Kesehatan
Serupa dengan KUHP, Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”) telah diuji sebanyak 10 kali sejak MK didirikan. Dari 10 permohonan pengujian yang diajukan ke MK, hanya tiga yang dikabulkan yaitu:
  1. Pengujian terhadap Pasal 108 ayat (1) dan Penjelasan, serta Pasal 190 ayat (1) (Putusan No. 12/PUU-VIII/2010, dikabulkan sebagian)
  2. Pengujian terhadap Pasal 113 ayat (2), Pasal 114 beserta penjelasannya, dan Pasal 199 ayat (1) (Putusan No. 34/PUU-VIII/2010, dikabulkan sebagian)
  3. Pengujian terhadap Pasal 115 ayat (1) (Putusan no. 57/PUU-IX/2011, dikabulkan seluruhnya)
Putusan No. 12/PUU-VIII/2010
Dalam Putusan ini, MK menyatakan Pasal 108 ayat (1) UU Kesehatan sepanjang kalimat, ‘…harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai peraturan perundang-undangan’ bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mengikat, sepanjang tidak dimaknai bahwa “tenaga kesehatan” adalah tenaga kefarmasian.
Jika tidak ada tenaga kefarmasian, MK menegaskan, tenaga kesehatan tertentu dapat melakukan praktik kefarmasian secara terbatas. Seperti dokter, dokter gigi, bidan, dan perawat yang melakukan tugasnya dalam keadaan darurat yang mengancam keselamatan jiwa dan diperlukan tindakan medis segera untuk menyelamatkan pasien.
Putusan No. 34/PUU-VIII/2010
MK mewajibkan produsen dan importir rokok di Indonesia mencantumkan peringatan kesehatan dalam bentuk gambar, selain bentuk tulisan yang berlaku selama ini. Sebab, MK menghilangkan kata “dapat” dalam Penjelasan Pasal 114 UU Kesehatan yang selama ini ditafsirkan peringatan kesehatan dalam produk rokok bisa diberikan dalam bentuk tulisan atau gambar.
MK menegaskan, kata ‘dapat’ dalam Penjelasan Pasal 114 UU Kesehatan bertentangan dengan UUD 1945, sehingga peringatan kesehatan harus dimaknai dengan tulisan yang jelas, mudah terbaca, dan disertai gambar atau bentuk lainnya.
Selain itu, MK juga menyatakan frasa “berbentuk gambar” dalam Pasal 199 ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Karena itu, setelah putusan ini, Pasal 199 ayat (1) berbunyi, “Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau memasukkan rokok ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tidak mencantumkan peringatan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”
Putusan No. 57/PUU-IX/2011
Dalam putusan ini, MK menghapus kata “dapat” yang tercantum dalam Penjelasan Pasal 115 ayat (1) UU Kesehatan bertentangan dengan UUD 1945. MK berpendapat, bahwa kata “dapat” berimplikasi pada ketiadaan proporsionalitas dalam pengaturan tentang “tempat khusus merokok” yang mengakomodasi antara kepentingan perokok untuk merokok dan kepentingan publik agar terhindar dari ancaman bahaya rokok bagi kesehatan sekaligus meningkatnya derajat kesehatan.
MK menegaskan, merokok adalah perbuatan yang secara hukum legal atau diizinkan, sehingga dengan kata “dapat” tersebut berarti pemerintah boleh menyediakan atau tidak menyediakan “tempat khusus untuk merokok.” Hal itu akan menghilangkan kesempatan bagi para perokok untuk merokok manakala pemerintah dalam implementasinya benar-benar tidak menyediakan “tempat khusus untuk merokok” di tempat kerja, di tempat umum, dan di tempat lainnya.

6.UU Kejaksaan
Hingga hari ini, UU Kejaksaan tercatat telah diuji terhadap UUD 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebanyak 10 kali. Meski demikian, hanya 1 permohonan pengujian UU Kejaksaan yang dikabulkan (sebagian) oleh MK yaitu perkara No. 49/PUU-VIII/2010. Pemohonnya yaitu Yusril Ihza Mahendra.
Sebagaimana ditulis hukumonline, Yusril –sejak ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi Sisminbakum- mempersoalkan legalitas jabatan Jaksa Agung Hendarman Supandji. Yusril menuding Hendarman bukan Jaksa Agung yang sah. Sebab, dengan berakhirnya Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) I, 20 Oktober 2009 lalu, Hendarman belum diberhentikan hingga terbentuknya KIB II. Karenanya, Yusril menilai segala tindakannya, terutama terhadap kasus yang membelitnya, dianggap ilegal.
Yusril kemudian meminta MK menguji Pasal 19 (2) jo Pasal 22 ayat (1) UU Kejaksaan. Menurut Yusril, kedua pasal itu tak membatasi masa jabatan seorang Jaksa Agung. Mantan Menteri Hukum dan HAM itu berniat menguji konstitusionalitas penafsiran pasal tersebut dihubungkan dengan prinsip negara hukum sesuai Pasal 1 dan 28 D ayat (1) UUD 1945.
MK dalam putusannya pada 22 September 2010 memutuskan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan yang mengatur masa jabatan Jaksa Agung dinyatakan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) sebelum dilakukannya legislative review yang berlaku prospektif ke depan. Artinya, masa jabatan Jaksa Agung dinyatakan konstitusional dengan tafsir berakhirnya masa jabatan Jaksa Agung berakhir bersamaan dengan masa jabatan Presiden yang mengangkatnya sesuai praktek ketatanegaraan di Indonesia.



BEBERAPA UNDANG-UNDANG YANG DITOLAK OLEH MK

1.UU Sumber Daya Air
Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan keberlakuan secara keseluruhan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) karena tidak memenuhi enam prinsip dasar pembatasan pengelolaan sumber daya air. Demikian putusan dengan Nomor 85/PUU-XII/2013 dibacakan oleh Ketua MK Arief Hidayat pada Rabu (18/2) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Mengabulkan permohonan Pemohon I, Pemohon II, Pemohon IV, Pemohon V, Pemohon VI, Pemohon VII, Pemohon VIII, Pemohon IX, Pemohon X, dan Pemohon XI untuk seluruhnya. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air bertentangan dengan UUD 1945,” urai Arief membacakan putusan yang diajukan oleh PP Muhammadiyah, Perkumpulan Vanaprastha dan beberapa pemohon perseorangan tersebut.
Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Wakil Ketua MK Anwar Usman, putusan terkait UU SDA juga telah dipertimbangkan dalam putusan Putusan Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor 008/PUU-III/2005. Dalam pertimbangannya, MK menyatakan bahwa sumber daya air sebagai bagian dari hak asasi, sumber daya yang terdapat pada air juga diperlukan manusia untuk memenuhi kebutuhan lainnya, seperti untuk pengairan pertanian, pembangkit tenaga listrik, dan untuk keperluan industri, yang mempunyai andil penting bagi kemajuan kehidupan manusia dan menjadi faktor penting pula bagi manusia untuk dapat hidup layak.
“Persyaratan konstitusionalitas UU SDA tersebut adalah bahwa UU SDA dalam pelaksanaannya harus menjamin terwujudnya amanat konstitusi tentang hak penguasaan negara atas air. Hak penguasaan negara atas air itu dapat dikatakan ada bilamana negara, yang oleh UUD 1945 diberi mandat untuk membuat kebijakan (beleid), masih memegang kendali dalam melaksanakan tindakan pengurusan (bestuursdaad), tindakan pengaturan (regelendaad), tindakan pengelolaan (beheersdaad), dan tindakan pengawasan (toezichthoudensdaad),” jelas Anwar.
Selain dua aspek tersebut, jaminan bahwa negara masih tetap memegang hak penguasaannya atas air itu menjadi syarat yang tak dapat ditiadakan dalam menilai konstitusionalitas UU SDA. Jaminan ini terlihat dalam enam prinsip dasar pembatasan pengelolaan sumber daya air. Keenam prinsip dasar tersebut, yakni pengguna sumber daya air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan untuk pertanian rakyat tidak dibebani biaya jasa pengelolaan sumber daya air, sepanjang pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari dan untuk pertanian rakyat di atas diperoleh langsung dari sumber air.

Swasta Tidak Boleh Kuasai Pengelolaan Air
Kemudian, konsep hak dalam Hak Guna Air harus dibedakan dengan konsep hak dalam pengertian umum dan haruslah sejalan dengan konsep res commune yang tidak boleh menjadi objek harga secara ekonomi. Selain itu,Konsep Hak Guna Pakai Air dalam UU SDA harus ditafsirkan sebagai turunan (derivative) dari hak hidup yang dijamin oleh UUD 1945. Oleh karenanya, pemanfaatan air di luar Hak Guna Pakai Air, dalam hal ini Hak Guna Usaha Air, haruslah melalui permohonan izin kepada Pemerintah yang penerbitannya harus berdasarkan pada pola yang disusun dengan melibatkan peran serta masyarakat yang seluas-luasnya. Oleh karena itu, Hak Guna Usaha Air tidak boleh dimaksudkan sebagai pemberian hak penguasaan atas sumber air, sungai, danau, atau rawa.
Hak Guna Usaha Air merupakan instrumen dalam sistem perizinan yang digunakan Pemerintah untuk membatasi jumlah atau volume air yang dapat diperoleh atau diusahakan oleh yang berhak sehingga dalam konteks ini, izin harus dijadikan instrumen pengendalian, bukan instrumen penguasaan. “Dengan demikian, swasta tidak boleh melakukan penguasaan atas sumber air atau sumber daya air tetapi hanya dapat melakukan pengusahaan dalam jumlah atau alokasi tertentu saja sesuai dengan alokasi yang ditentukan dalam izin yang diberikan oleh negara secara ketat,” ujar Hakim Konstitusi Aswanto.

Petani Tidak Dikenai Biaya Pengelolaan SDA
Hal lain yang dipertimbangkan MK, terkait prinsip “penerima manfaat jasa pengelolaan sumber daya air wajib menanggung biaya pengelolaan” harus dimaknai sebagai prinsip yang tidak menempatkan air sebagai objek untuk dikenai harga secara ekonomi. Dengan demikian, tidak ada harga air sebagai komponen penghitungan jumlah yang harus dibayar oleh penerima manfaat. Di samping itu, prinsip ini harus dilaksanakan secara fleksibel dengan tidak mengenakan perhitungan secara sama tanpa mempertimbangkan macam pemanfaatan sumber daya air. “Oleh karena itu, petani pemakai air, pengguna air untuk keperluan pertanian rakyat dibebaskan dari kewajiban membiayai jasa pengelolaan sumber daya air,” sambung Aswanto.
Prinsip kelima, terkait hak ulayat masyarakat hukum adat yang masih hidup atas sumber daya air diakui, sesuai dengan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Adanya ketentuan tentang pengukuhan kesatuan masyarakat hukum adat yang masih hidup melalui Peraturan Daerah harus dimaknai tidak bersifat konstitutif melainkan bersifat deklaratif. Terakhir, lanjut Aswanto, pada prinsipnya pengusahaan air untuk negara lain tidak diizinkan. Pemerintah hanya dapat memberikan izin pengusahaan air untuk negara lain apabila penyediaan air untuk berbagai kebutuhan sendiri telah terpenuhi. Kebutuhan dimaksud, antara lain, kebutuhan pokok, sanitasi lingkungan, pertanian, ketenagaan, industri, pertambangan, perhubungan, kehutanan dan keanekaragaman hayati, olah raga, rekreasi dan pariwisata, ekosistem, estetika serta kebutuhan lain. “Berdasarkan seluruh pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas tampak bahwa hak penguasaan oleh negara atas air adalah ‘ruh’ atau ‘jantung’ dari Undang-Undang SDA sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945,” tuturnya.
Dengan alasan tersebut, MK pun memeriksa pelaksanaan dari UU SDA, dalam hal ini Peraturan Pemerintah terkait dengan pengujian UU SDA sehingga apabila maksud tersebut ternyata bertentangan dengan penafsiran yang diberikan oleh Mahkamah, hal itu menunjukkan bahwa Undang-Undang yang bersangkutan memang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Meskipun Pemerintah telah menetapkan enam Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan UU SDA a quo, namun menurut Mahkamah keenam Peraturan Pemerintah tersebut tidak memenuhi enam prinsip dasar pembatasan pengelolaan sumber daya air. Oleh karena permohonan para Pemohon berkaitan dengan jantung UU SDA maka permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Dalam pokok permohonannya, para pemohon menjelaskan ada penyelewengan terhadap pertimbangan MK dalam putusan perkara 58-59-60-63/PUU-II/2004 dan perkara 8/PUU-III/2005, perihal pengujian UU Nomor 7/2004 tentang Sumber Daya Air. Penyelewengan norma tersebut  berdampak dalam pelaksanaannya yang cenderung membuka peluang privatisasi dan komersialisasi yang merugikan masyarakat. Sejak terbitnya PP No. 16/2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (PP SPAM), semakin menegaskan kuatnya peran swasta dalam pengelolaan air. Padahal, UU SDA menegaskan, pengembangan SPAM merupakan tanggung jawab pemerintah pusat/pemerintah daerah, sehingga penyelenggaranya adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN)/Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Hak Guna Pakai Air menurut UU SDA hanya dinikmati oleh pengelola yang mengambil dari sumber air, bukan para konsumen yang menikmati air siap pakai yang sudah didistribusikan. (Lulu Anjarsari)

2.UU Perkoperasian
Roh korporasi terus merasuk ke sendi-sendi kehidupan negara, termasuk jiwa usaha yang sesuai dengan kegotongroyongan koperasi. Gara-gara bernuansa korporasi, UU No. 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK). Tak tanggung-tanggung, yang dibatalkan adalah seluruh materi muatan Undang-Undang tersebut.
Selain karena berjiwa korporasi, UU Perkoperasian telah menghilangkan asas kekeluargaan dan gotong royong yang menjadi ciri khas koperasi. Menurut Mahkamah, UU Perkoperasian 2012 bertentangan dengan UUD 1945, dan menjadi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat setelah putusan ini.
Untuk menghindari kekosongan hukum, Mahkamah menyatakan berlaku kembali UU Perkoperasian 1992. ”Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian berlaku untuk sementara waktu sampai dengan terbentuknya UU yang baru,” kata Ketua Majelis Hakim Hamdan Zoelva saat membacakan putusan bernomor 28/PUU-XI/2013 di ruang sidang MK, Rabu (28/5).
Permohonan ini diajukan Gabungan Koperasi Pegawai Republik Indonesia (GPRI) Provinsi Jawa Timur, Pusat Koperasi Unit Desa (Puskud) Jawa Timur, Pusat Koperasi Wanita Jawa Timur (Puskowanjati), Pusat Koperasi An-Nisa Jawa Timur, Pusat Koperasi Bueka Assakinah Jawa Timur, Gabungan Koperasi Susu Indonesia, Agung Haryono, dan Mulyono. Mereka menguji Pasal 1 angka 1, Pasal 50 ayat (1), Pasal 55 ayat (1), Pasal 56 ayat (1), Pasal 66, Pasal 67, Pasal 68, Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, Pasal 72, Pasal 73, Pasal 74, Pasal 75, Pasal 76, Pasal 77, Pasal 80, Pasal 82, dan Pasal 83 UU Perkoperasian 2012.
Para pemohon menilai sejumlah pasal yang mengatur norma badan hukum koperasi, modal penyertaan dari luar anggota, kewenangan pengawas dan dewan koperasi itu dinilai mencabut roh kedaulatan rakyat, demokrasi ekonomi, asas kekeluargaan, kebersamaan yang dijamin konstitusi.
Misalnya, definisi koperasi menempatkan koperasi hanya sebagai ”badan hukum” dan/atau sebagai subjek berakibat pada korporatisasi koperasi. Membuka peluang modal penyertaan dari luar anggota yang akan dijadikan instrumen oleh pemerintah dan atau pemilik modal besar untuk diinvestasikan pada koperasi. Hal itu bentuk pengerusakan kemandirian koperasi. Karena itu, para pemohon meminta MK membatalkan pasal-pasal itu karena bertentangan dengan UUD 1945.
Mahkamah menilai Pasal 1 angka 1 UU Perkoperasian yang menyebut koperasi sebagai badan hukum tidak mengandung pengertian substantif, merujuk pada pengertian sebagai bangunan perusahaan khas. Hal tidak sejalan dengan koperasi seperti dimaksud Pasal 33 ayat (1) UUD 1945.
”Dalil pemohon bahwa pengertian koperasi mengandung individualisme, sehingga dalil pemohon beralasan menurut hukum,” kata anggota Majelis, Maria Farida Indrati saat membacakan pertimbangan hukumnya.
Pasal 50 ayat (1) huruf a, ayat (2), huruf a dan e dan Pasal 56 ayat (1) yang memberi tugas kepada pengawas untuk mengusulkan pengurus, menerima atau menolak anggota baru hingga memberhentikan anggota kontradiktif dengan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) yang menjadikan demokrasi dan persamaan sebagai nilai dasar kegiatan koperasi. ”Pasal itu bertentangan dengan prinsip demokrasi ekonomi,” tuturnya.
Maria melanjutkan Pasal 68 dan Pasal 69 yang mengharuskan anggota koperasi membeli sertipikat modal koperasi adalah norma yang tidak sesuai prinsip koperasi yang bersifat sukarela dan terbuka dan bertentangan dengan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. ”Ini berarti orientasi koperasi telah bergeser ke arah usaha bersama sebagai modal (materil dan finansial) utamanya,” lanjutnya.
Ditegaskan Mahkamah UU Perkoperasian mengutamakan skema permodalan materiil dan finansial yang mengesampingkan modal sosial yang justru menjadi ciri fundamental koperasi sebagai suatu entitas khas pelaku ekonomi berdasarkan UUD 1945.
Karenanya, filosofi UU Perkoperasian ternyata tidak sesuai dengan hakikat susunan perekonomian sebagai usaha bersama dan berdasarkan asas kekeluargaan yang termuat dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. ”Pengertian koperasi itu ternyata telah dielaborasi dalam pasal-pasal lain dalam UU Perkoperasian, sehingga mereduksi atau bahkan menegasikan hak dan kewajiban anggota dengan menjadikan kewenangan pengawas terlalu luas.”
Akibatnya, menurut Mahkamah, koperasi menjadi sama dan tidak berbeda dengan perseroan terbatas. Koperasi menjadi kehilangan roh konstitusionalnya sebagai entitas pelaku ekonomi khas bangsa yang berfilosofi gotong royong. Mahkamah berpendapat meskipun permohonan pemohon hanya mengenai pasal tertentu, namun karena pasal tersebut mengandung materi muatan norma subtansial yang menjadi jantung UU Perkoperasian, maka harus dibatalkan seluruhnya.
”Sehingga jika hanya pasal-pasal tersebut yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai hukum mengikat maka akan menjadikan pasal-pasal lain tidak dapat berfungsi lagi,” kata Maria.
Usai persidangan, salah satu pemohon Wigatiningsih mengungkapkan pembatalan UU Perkoperasian sudah sejalan dengan jati diri koperasi. Karena itu, sejak putusan adanya putusan ini saat ini koperasi bukan lagi berbadan hukum yang pengoperasiannya lebih condong seperti Perseroan Terbatas (PT).
Begitupula, modal pengelolaan koperasi pun berasal dari anggota, bukanlah dari non-anggota (pihak asing). “Jadi kalau ada pemodal dari luar tentunya keuntungan bukan lagi milik anggota, malah menjadi milik pemodal. Jadi ada kekuasaan tertentu, tidak sama dengan ’ruh’ koperasi terdahulu,” kata Wigatiningsih.
Pemohon menyatakan tetap konsisten terhadap UU Koperasi yang lama hingga terbitnya peraturan yang baru.


uji materi UU Sumber Daya Air (SDA), Rabu (18/2) di Ruang Sidang Pleno GEdung MK. Foto Humas/Ganie.
Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan keberlakuan secara keseluruhan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) karena tidak memenuhi enam prinsip dasar pembatasan pengelolaan sumber daya air. Demikian putusan dengan Nomor 85/PUU-XII/2013 dibacakan oleh Ketua MK Arief Hidayat pada Rabu (18/2) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Mengabulkan permohonan Pemohon I, Pemohon II, Pemohon IV, Pemohon V, Pemohon VI, Pemohon VII, Pemohon VIII, Pemohon IX, Pemohon X, dan Pemohon XI untuk seluruhnya. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air bertentangan dengan UUD 1945,” urai Arief membacakan putusan yang diajukan oleh PP Muhammadiyah, Perkumpulan Vanaprastha dan beberapa pemohon perseorangan tersebut.
Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Wakil Ketua MK Anwar Usman, putusan terkait UU SDA juga telah dipertimbangkan dalam putusan Putusan Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor 008/PUU-III/2005. Dalam pertimbangannya, MK menyatakan bahwa sumber daya air sebagai bagian dari hak asasi, sumber daya yang terdapat pada air juga diperlukan manusia untuk memenuhi kebutuhan lainnya, seperti untuk pengairan pertanian, pembangkit tenaga listrik, dan untuk keperluan industri, yang mempunyai andil penting bagi kemajuan kehidupan manusia dan menjadi faktor penting pula bagi manusia untuk dapat hidup layak.
“Persyaratan konstitusionalitas UU SDA tersebut adalah bahwa UU SDA dalam pelaksanaannya harus menjamin terwujudnya amanat konstitusi tentang hak penguasaan negara atas air. Hak penguasaan negara atas air itu dapat dikatakan ada bilamana negara, yang oleh UUD 1945 diberi mandat untuk membuat kebijakan (beleid), masih memegang kendali dalam melaksanakan tindakan pengurusan (bestuursdaad), tindakan pengaturan (regelendaad), tindakan pengelolaan (beheersdaad), dan tindakan pengawasan (toezichthoudensdaad),” jelas Anwar.
Selain dua aspek tersebut, jaminan bahwa negara masih tetap memegang hak penguasaannya atas air itu menjadi syarat yang tak dapat ditiadakan dalam menilai konstitusionalitas UU SDA. Jaminan ini terlihat dalam enam prinsip dasar pembatasan pengelolaan sumber daya air. Keenam prinsip dasar tersebut, yakni pengguna sumber daya air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan untuk pertanian rakyat tidak dibebani biaya jasa pengelolaan sumber daya air, sepanjang pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari dan untuk pertanian rakyat di atas diperoleh langsung dari sumber air.

Swasta Tidak Boleh Kuasai Pengelolaan Air
Kemudian, konsep hak dalam Hak Guna Air harus dibedakan dengan konsep hak dalam pengertian umum dan haruslah sejalan dengan konsep res commune yang tidak boleh menjadi objek harga secara ekonomi. Selain itu, Konsep Hak Guna Pakai Air dalam UU SDA harus ditafsirkan sebagai turunan (derivative) dari hak hidup yang dijamin oleh UUD 1945. Oleh karenanya, pemanfaatan air di luar Hak Guna Pakai Air, dalam hal ini Hak Guna Usaha Air, haruslah melalui permohonan izin kepada Pemerintah yang penerbitannya harus berdasarkan pada pola yang disusun dengan melibatkan peran serta masyarakat yang seluas-luasnya. Oleh karena itu, Hak Guna Usaha Air tidak boleh dimaksudkan sebagai pemberian hak penguasaan atas sumber air, sungai, danau, atau rawa.
Hak Guna Usaha Air merupakan instrumen dalam sistem perizinan yang digunakan Pemerintah untuk membatasi jumlah atau volume air yang dapat diperoleh atau diusahakan oleh yang berhak sehingga dalam konteks ini, izin harus dijadikan instrumen pengendalian, bukan instrumen penguasaan. “Dengan demikian, swasta tidak boleh melakukan penguasaan atas sumber air atau sumber daya air tetapi hanya dapat melakukan pengusahaan dalam jumlah atau alokasi tertentu saja sesuai dengan alokasi yang ditentukan dalam izin yang diberikan oleh negara secara ketat,” ujar Hakim Konstitusi Aswanto.

Petani Tidak Dikenai Biaya Pengelolaan SDA
Hal lain yang dipertimbangkan MK, terkait prinsip “penerima manfaat jasa pengelolaan sumber daya air wajib menanggung biaya pengelolaan” harus dimaknai sebagai prinsip yang tidak menempatkan air sebagai objek untuk dikenai harga secara ekonomi. Dengan demikian, tidak ada harga air sebagai komponen penghitungan jumlah yang harus dibayar oleh penerima manfaat. Di samping itu, prinsip ini harus dilaksanakan secara fleksibel dengan tidak mengenakan perhitungan secara sama tanpa mempertimbangkan macam pemanfaatan sumber daya air. “Oleh karena itu, petani pemakai air, pengguna air untuk keperluan pertanian rakyat dibebaskan dari kewajiban membiayai jasa pengelolaan sumber daya air,” sambung Aswanto.
Prinsip kelima, terkait hak ulayat masyarakat hukum adat yang masih hidup atas sumber daya air diakui, sesuai dengan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Adanya ketentuan tentang pengukuhan kesatuan masyarakat hukum adat yang masih hidup melalui Peraturan Daerah harus dimaknai tidak bersifat konstitutif melainkan bersifat deklaratif. Terakhir, lanjut Aswanto, pada prinsipnya pengusahaan air untuk negara lain tidak diizinkan. Pemerintah hanya dapat memberikan izin pengusahaan air untuk negara lain apabila penyediaan air untuk berbagai kebutuhan sendiri telah terpenuhi. Kebutuhan dimaksud, antara lain, kebutuhan pokok, sanitasi lingkungan, pertanian, ketenagaan, industri, pertambangan, perhubungan, kehutanan dan keanekaragaman hayati, olah raga, rekreasi dan pariwisata, ekosistem, estetika serta kebutuhan lain. “Berdasarkan seluruh pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas tampak bahwa hak penguasaan oleh negara atas air adalah ‘ruh’ atau ‘jantung’ dari Undang-Undang SDA sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945,” tuturnya.
Dengan alasan tersebut, MK pun memeriksa pelaksanaan dari UU SDA, dalam hal ini Peraturan Pemerintah terkait dengan pengujian UU SDA sehingga apabila maksud tersebut ternyata bertentangan dengan penafsiran yang diberikan oleh Mahkamah, hal itu menunjukkan bahwa Undang-Undang yang bersangkutan memang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Meskipun Pemerintah telah menetapkan enam Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan UU SDA a quo, namun menurut Mahkamah keenam Peraturan Pemerintah tersebut tidak memenuhi enam prinsip dasar pembatasan pengelolaan sumber daya air. Oleh karena permohonan para Pemohon berkaitan dengan jantung UU SDA maka permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Dalam pokok permohonannya, para pemohon menjelaskan ada penyelewengan terhadap pertimbangan MK dalam putusan perkara 58-59-60-63/PUU-II/2004 dan perkara 8/PUU-III/2005, perihal pengujian UU Nomor 7/2004 tentang Sumber Daya Air. Penyelewengan norma tersebut  berdampak dalam pelaksanaannya yang cenderung membuka peluang privatisasi dan komersialisasi yang merugikan masyarakat. Sejak terbitnya PP No. 16/2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (PP SPAM), semakin menegaskan kuatnya peran swasta dalam pengelolaan air. Padahal, UU SDA menegaskan, pengembangan SPAM merupakan tanggung jawab pemerintah pusat/pemerintah daerah, sehingga penyelenggaranya adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN)/Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Hak Guna Pakai Air menurut UU SDA hanya dinikmati oleh pengelola yang mengambil dari sumber air, bukan para konsumen yang menikmati air siap pakai yang sudah didistribusikan. (Lulu Anjarsari)


Roh korporasi terus merasuk ke sendi-sendi kehidupan negara, termasuk jiawa usaha yang sesuai dengan kegotongroyongan: koperasi. Gara-gara bernuansa korporasi, UU No. 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK). Tak tanggung-tanggung, yang dibatalkan adalah seluruh materi muatan Undang-Undang tersebut.

Selain karena berjiwa korporasi, UU Perkoperasian telah menghilangkan asas kekeluargaan dan gotong royong yang menjadi ciri khas koperasi. Menurut Mahkamah, UU Perkoperasian 2012 bertentangan dengan UUD 1945, dan menjadi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat setelah putusan ini.

Untuk menghindari kekosongan hukum, Mahkamah menyatakan berlaku kembali UU Perkoperasian 1992. ”
Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian berlaku untuk sementara waktu sampai dengan terbentuknya UU yang baru,” kata Ketua Majelis Hakim Hamdan Zoelva saat membacakan putusan bernomor 28/PUU-XI/2013 di ruang sidang MK, Rabu (28/5).

Permohonan ini 
diajukanGabungan Koperasi Pegawai Republik Indonesia (GPRI) Provinsi Jawa Timur, Pusat Koperasi Unit Desa (Puskud) Jawa Timur, Pusat Koperasi Wanita Jawa Timur (Puskowanjati), Pusat Koperasi An-Nisa Jawa Timur, Pusat Koperasi Bueka Assakinah Jawa Timur, Gabungan Koperasi Susu Indonesia, Agung Haryono, dan Mulyono. Mereka menguji Pasal 1 angka 1, Pasal 50 ayat (1), Pasal 55 ayat (1), Pasal 56 ayat (1), Pasal 66, Pasal 67, Pasal 68, Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, Pasal 72, Pasal 73, Pasal 74, Pasal 75, Pasal 76, Pasal 77, Pasal 80, Pasal 82, dan Pasal 83 UU Perkoperasian 2012.

Para pemohon menilai sejumlah pasal yang mengatur norma badan hukum koperasi, modal penyertaan dari luar anggota, kewenangan pengawas dan dewan koperasi itu dinilai mencabut roh kedaulatan rakyat, demokrasi ekonomi, asas kekeluargaan, kebersamaan yang dijamin konstitusi.

Misalnya, definisi koperasi menempatkan koperasi hanya sebagai ”badan hukum” dan/atau sebagai subjek berakibat pada korporatisasi koperasi. Membuka peluang modal penyertaan dari luar anggota yang akan dijadikan instrumen oleh pemerintah dan atau pemilik modal besar untuk diinvestasikan pada koperasi. Hal itu bentuk pengerusakan kemandirian koperasi. Karena itu, para pemohon meminta MK membatalkan pasal-pasal itu karena bertentangan dengan UUD 1945.

Mahkamah menilai Pasal 1 angka 1 UU Perkoperasian yang menyebut koperasi sebagai badan hukum tidak mengandung pengertian substantif, merujuk pada pengertian sebagai bangunan perusahaan khas. Hal tidak sejalan dengan koperasi seperti dimaksud Pasal 33 ayat (1) UUD 1945.

”Dalil pemohon bahwa pengertian koperasi mengandung individualisme, sehingga dalil pemohon beralasan menurut hukum,” kata anggota Majelis, Maria Farida Indrati saat membacakan pertimbangan hukumnya.

Pasal 50 ayat (1) huruf a, ayat (2), huruf a dan e dan Pasal 56 ayat (1) yang memberi tugas kepada pengawas untuk mengusulkan pengurus, menerima atau menolak anggota baru hingga memberhentikan anggota kontradiktif dengan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) yang menjadikan demokrasi dan persamaan sebagai nilai dasar kegiatan koperasi. ”Pasal itu bertentangan dengan prinsip demokrasi ekonomi,” tuturnya.

Maria melanjutkan Pasal 68 dan Pasal 69 yang mengharuskan anggota koperasi membeli sertipikat modal koperasi adalah norma yang tidak sesuai prinsip koperasi yang bersifat sukarela dan terbuka dan bertentangan dengan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. ”Ini berarti orientasi koperasi telah bergeser ke arah usaha bersama sebagai modal (materil dan finansial) utamanya,” lanjutnya.

Ditegaskan Mahkamah UU Perkoperasian mengutamakan skema permodalan materiil dan finansial yang mengesampingkan modal sosial yang justru menjadi ciri fundamental koperasi sebagai suatu entitas khas pelaku ekonomi berdasarkan UUD 1945.

Karenanya, filosofi UU Perkoperasian ternyata tidak sesuai dengan hakikat susunan perekonomian sebagai usaha bersama dan berdasarkan asas kekeluargaan yang termuat dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. ”Pengertian koperasi itu ternyata telah dielaborasi dalam pasal-pasal lain dalam UU Perkoperasian, sehingga mereduksi atau bahkan menegasikan hak dan kewajiban anggota dengan menjadikan kewenangan pengawas terlalu luas.”

Akibatnya, menurut Mahkamah, koperasi menjadi sama dan tidak berbeda dengan perseroan terbatas. Koperasi menjadi kehilangan roh konstitusionalnya sebagai entitas pelaku ekonomi khas bangsa yang berfilosofi gotong royong. Mahkamah berpendapat meskipun permohonan pemohon hanya mengenai pasal tertentu, namun karena pasal tersebut mengandung materi muatan norma subtansial yang menjadi jantung UU Perkoperasian, maka harus dibatalkan seluruhnya.

”Sehingga jika hanya pasal-pasal tersebut yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai hukum mengikat maka akan menjadikan pasal-pasal lain tidak dapat berfungsi lagi,” kata Maria.

Usai persidangan, salah satu pemohon Wigatiningsih mengungkapkan pembatalan UU Perkoperasian sudah sejalan dengan jati diri koperasi. Karena itu, sejak putusan adanya putusan ini saat ini koperasi bukan lagi berbadan hukum yang pengoperasiannya lebih condong seperti Perseroan Terbatas (PT).

Begitupula, modal pengelolaan koperasi pun berasal dari anggota, bukanlah dari non-anggota (pihak asing). “Jadi kalau ada pemodal dari luar tentunya keuntungan bukan lagi milik anggota, malah menjadi milik pemodal. Jadi ada kekuasaan tertentu, tidak sama dengan ’ruh’ koperasi terdahulu,” kata Wigatiningsih.

Pemohon menyatakan tetap konsisten terhadap UU Koperasi yang lama hingga terbitnya peraturan yang baru.

0 Response to "BEBERAPA UNDANG-UNDANG YANG SERING DIUJI DI MK DAN DI BATALKAN OLEH MK"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel