Makalah Pembagian Waris (Faraidh)



Pembagian  Waris (Faraidh)
( makalah )
Diajukan sebagai pemenuhan tugas mata kuliah Praktek Ibadah

Kelompok 8






SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
MUHAMMADIYAH PRINGSEWU LAMPUNG (STKIP MPL)
Tahun Akademik 2013/2014
Alamat : Jln. Makam KH.Ghalib No. 112 Telp ((0729) 21359 Fax (0729) 24002 Pringsewu 35373
Website: stkipmpringsewu-lpg.ac.id/ E-mail: contact@stkipmpringsewu-lpg.ac.id

Daftar Kelompok

NO
NAMA
NPM
PARAF
1
HARIYO HARDININGRAT
12020002

2
AKHMAD NUR MA’ARIF
12020007

3
TOPAN NAPOLION
12020024

4
RIAN DWI SAPUTRA
12020050

5
IQROM FIKRI
12020061

6
MARTA DINATA
12020



22 Februari 2014

Sutikno S.AG.












KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Alhamdulillahirabbilalamin, banyak nikmat yang Allah berikan, tetapi sedikit sekali yang kita ingat. Segala puji hanya layak untuk Allah Tuhan seru sekalian alam atas segala berkat, rahmat, taufik, serta hidayah-Nya yang tiada terkira besarnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul ” Pembagian  Waris (Faraidh)”. Dalam penyusunannya, penulis memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak, karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: Kedua orang tua dan. Dari sanalah semua kesuksesan ini berawal, semoga semua ini bisa memberikan sedikit kebahagiaan dan menuntun pada langkah yang lebih baik lagi. Meskipun penulis berharap isi dari makalah ini bebas dari kekurangan dan kesalahan, namun selalu ada yang kurang. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar makalah ini dapat lebih baik lagi. Akhir kata penulis berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.






Pringsewu , 22 Februari 2014


Penulis                                    




DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
DAFTAR ANGGOTA.............................................................................................. ii
KATA PENGANTAR.............................................................................................. iii
DAFTAR ISI............................................................................................................. iv
1. BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah........................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah.................................................................................... 2
C.     Tujuan Penulisan...................................................................................... 2
2. BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian dan Hukum Waris.................................................................. 3
B.     Rukun dan Syarat-syarat Warisan............................................................ 4
C.     Ahli Waris dari Kalangan Laki-laki......................................................... 6
D.    Ahli Waris dari Kalangan Perempuan...................................................... 7
E.     Perbedaan Waris dan  Hibah Serta Hukum Hibah................................... 10
3. BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan.............................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA








BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG MASALAH

SYARIAT  Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan adil. Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan dengan cara yang legal. Syariat Islam juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan, besar atau kecil.

Al-Qur'an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah atau seibu.

Oleh karena itu, Al-Qur'an merupakan acuan utama hukum dan penentuan pembagian waris, sedangkan ketetapan tentang kewarisan yang diambil dari hadits Rasulullah saw. dan ijma' para ulama sangat sedikit. Dapat dikatakan bahwa dalam hukum dan syariat Islam sedikit sekali ayat Al-Qur'an yang merinci suatu hukum secara detail dan rinci, kecuali hukum waris ini. Hal demikian disebabkan kewarisan merupakan salah satu bentuk kepemilikan yang legal dan dibenarkan AlIah SWT. Di samping bahwa harta merupakan tonggak penegak kehidupan baik bagi individu maupun kelompok masyarakat.





B.     RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam pembuatan tugas makalah  ini adalah “tentang Warisan dalam Hukum Islam”. Dari rumusan masalah tersebut dapat kami uraikan menjadi sebagai berikut:
1.      Bagaimanakah pengertian warisan dalam hukum islam ?
2.      Apa saja bentuk, rukun dan syarat warisan ?
3.      Bagaimana pembagian waris dari kalangan laki-laki ?
4.      Bagaimana pembagian waris dari kalangan perempuan ?
5.      Apa perbedaan waris dan hibah serta hukum seputar hibah ?

C.    TUJUAN PENULISAN

Tujuan pembuatan makalah ini pada hakekatnya merupakan sesuatu yang hendak dicapai dan dapat memberikan arahan dan penjelasan  yang akan dilakukan. Berpijak pada rumusan penelitian diatas, maka tujuan yang akan dicapai dalam makalah  ini adalah untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan warisan yang sesuai dengan ketentuan hukum islam.










BAB II
PEMBAHASAN

A.   PENGERTIAN DAN HUKUM WARIS

Ilmu waris adalah kajian fikih yang berkaitan dengan permasalahan-permasalahan warisan, kajian mengenai seseorang kapan dia menjadi ahli warisan dan kapan tidak mendapatkan warisan, wacana mengenai ukuran yang harus dia dapatkan dari harta peninggalan jika dia adalah ahli waris, dan ilmu yang membahas pembagia harta warisan kepada ahli waris laki-laki dan pada ahli waris perempuan, serta segala hal yang masih berkaita dengan warisan.
Mawaris (adalah bentuk plural dari mirats ( kata mirats dalam bahasa arab biasanya digunakan untukdua makna, pertama al-baqo’ (kekal, dari sini pula Allah disebut dengan al-warits, maksudnya adalah yang maha kekal). Kedua, bermakna perpindahan dari satukaum kekaum yang lain. Dalam syariat islam, al-warits biasanya didefinisikan sebagai seseorang yang mempunyai hak tertentu setelah pemilik harta meninggal dunia denga sebab-sebab tertentu dan dengan syarat tertentu pula.
Sementara fara’idh  adalah bentuk plural faridhah. Dalam bahasa arab, kata faridhah bermakna takaran atau ukuran. Ia adalah bentuk subjek (fa’il),namun bermakna objek (maf’ul)). Kata tersebud adalah deriivasi akar kata al-fardhu yang berate ukuran tau takaran. Dalam syariat, ia memiliki definisi: “Bagian yang sudah ditentukan secara syariat bagi para peneriam waris”
Ilmu waris atau ilmu faraidh adalah ilmu yang dipelajar untuk mengetahui ukuran hak yang diterima setiap ahli waris dari harta warisan.
Dalil-dalil akan legalitas ilmu ini berasal dari Al-Qur’an, As-sunnah dan consensus ulama. Dalil dari Al-Qur’an adalah ayat-ayat tentang warisan “Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari hartayang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah bagiannya. Sesungguhnya allah menyaksikan segala sesuatu.”(AN-NISAA’:33). Sementara dalil dari sunnah adalah semisal sabda Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari Muslim, “Berikanlah warisan kepada orang yang berhak, adapun sisanya, maka prioritas utama adalah diberikan di beriakan kepada anak laki-laki.”
Banyak hadis Nabi yang mendorong untuk mempelajari ilmu ini. Di antaranya ada sabda Rasulullah yang berbunyi, “Pelajari oleh kalian ilmu faraidh dan ajarkanlah ia kepada orang banyak, karena aku akan meninggalkan dunia. Dan sesungguhnya (dikhawatirkan)ilmu ini juga akan tercabud, sehingga akan muncul fitnah. Sehingga ada dua orang yang bertikai tentang pembagia warisan, namun keduanya tidak menemukan seseorany yang dapat member eputusan bagi keduanya.”
B.     RUKUN DAN SYARAT-SYARAT WARISAN.

Rukun waris ada tiga:

1. Pewaris, yakni orang yang meninggal dunia, dan ahli warisnya berhak untuk mewarisi harta peninggalannya.
2. Ahli waris, yaitu mereka yang berhak untuk menguasai atau menerima harta peninggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab) atau ikatan pernikahan, atau lainnya.
3. Harta warisan, yaitu segala jenis benda atau kepemilikan yang ditinggalkan pewaris, baik berupa uang, tanah, dan sebagainya.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi sehingga warisan dianggap sah, ada tiga macam,  yaitu :

SyaratPertama :
Orang yang akan mewariskan telah meninggal dunia denga sebenar-benarnya, atau secara legal, maupun berdasarkan pekiraan. Meninggalnya pewaris secara nyata dapat diketahui dengan melihat secara langsung atau dengan mendapatkan bukti yang dapat diterima secara syariat. Meninggalnya pewaris secara legal maksudnya ialah seperti orang hilang, orang yang tidah ada berita dan tidak diketahui apakah dia masih hidup atau sudah mati. Orang seperti ini harus ditunggu sampai dia kembali dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan syariat islam.
Ketiak waktu yang ditentukan sudah habis, maka persoalan tersebud bisa diadukan ke pengadilan dan dihukumi dia telah meninggal. Sejak ia dihukumi sebagai orang yang meninggal dunia, maka istrinya menjalani masa iddah istri yang ditinggalkan mati suaminya, lalu harta peninggalanya dibagikan kepada ahli waris yang masih hidup.
Ketika tidak mengetahui secara pasti, mengenaiorang hilang yang hartanya akan dibagi untuk kemudian istrinya diperintahkan untuk menjalani masa iddah, apakah  dia benar-benar telah meninggal atau belum. Kita hanya menyandarkan pada ketetapan hakim bahwa dia telah meninggal dunia.
Sementara kematian berdasarkan perkiraan adalah seperti seorang ibu hamil dipukul perutnya oleh seseorang, kemudia janin trsebudmengalami keguguran.
Syarat kedua :
 Ahli waris masih hidup, ketika orang yang memiliki warisan meninggal dengan sebenar-benarnya taua berdasakan perkiraan. Maksud adari ahliwarisnya masih hidup adalah bisa disaksikan dengan mata secara langsung atau dengan keterangan yangbisa diterima secara syari’.
Sedangkan hidup berdasarkan perkiraan adalah seperti ahli warisnya masih berbentuk janin berada di perud sang ibu, sementara ayahnya meninggal dunia. Apabial kehamilan itu terjadi tatkala sang ayah meninggal dunia, dan janinnya masih berbentuk segumpal darah atau sebongkah daging, maka hal demikian belum dikategorikan hidup.
Syarat ketiga :
Pihak yang akan mendapa waris (ahli waris) diketahui secara definitif. Misalkan si fulan akan mendapatkan warisan dari si fulan yang sudah meninggal dunia disebabkan dia adalah kerabatnya, yaitu sodara kandung si mayit, dan tidak ada yang menghalangi dia untuk mendapatkan warisan. Syarat ini khusus di pengadilan.

C.     AHLI WARIS DARI KALANGAN LAKI-LAKI
               
       Para ulama syariat bersepakat mengenai pewarisan lima belas dari kalangan laki-laki. Mereka itu adalah, anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki kebawah dengan syarat antara dia dengan si mayit tidak terhalang  oleh perempuan, ayah, kake ayah dari ayah keatas ddengan syarat antara dia dan si mayit tidah ada prempuan, saudara laki-laki kandung, anak dari saudara laki-laki kandung kebawah dengan syaratantara dia dengan simayit tidak ada perempuan, saudara seayah, anak dari saudara seayah kebawahn dengan syarat antara dia dengan si mayit tidak ada perempuan, saudara laki-laki seibu, paman saudara ayah sekandung, anak paman saudara ayah sekandung kebawah dengan syarat antara dia dengan si mayit tidak ada perempuan, paman saudara ayah seayah, anak paman saudara ayah seayah  kebawah denga syarat antara dia dengansi mayit tidak ada perempuan, suami, maula al-mu’taq (tuan dari orang yang membebaskan budak).
Jika anda memperhatikan para ahli waris tersebud, anda akan melihat bahwa diantara mereka ada yang mendapatkan warisan  dikarenakan faktor ikatan pernikahan, yaitu suami. Satu dari mereka dapat mewarisi karena faktor walak, yaitu  tuan  yang membebaskan budak (maula al-mu’taq) tiga belas lainnya mewarisi karena karena faktor hubungan kekerabatan. Mereka tentu selain dari dua orang yang telah disebutkan. Jika anda melihat kembali orang yang mendapatkan warisan karena faktor kekerabatan, anda akan melihat mereka terbagi menjadi empat macam : Pertama, pokok dari simayit(usulul mayit), yaitu  ada dua: ayah dan kakek ayah dari ayah ke atas.
Kedua, cabang si mayit(furu’ al-mayit). Mereka juga ada dua, yaitu anak laki-laki dan cucu  laki-laki kebawah. Ketiga cabang dari dua orang si mayit. Mereka ada lima yaitu, saudara laki-laki dan sodaranya kebawah, sodara laki-laki seayah dan anaknya kebawah, sodara laki-laki seibu. Keempat, cabang dari kakek simayit ayah dari ayah. Mereka ada empat paman saudara laki-laki ayah laki-laki sekandung dananaknya kebawahpamaan dari saudara laki-laki seayah dan anaknhya kebawah.
Mereka berbeda pendapat mengenai dua macam klangan laki-laki ; pertama maula al-muwalah. Abu Hanifah berpendapat bahwa dia dapat mewarisi. Sementara tiga imam yang lain berpendapat bahwa dia tidak dapat mewarisi. Kedua, laki-laki dari dzawi al-arham seprti kake ayah dari ibu, bibi dan anak laki-laki dari anak perempuan. Menurut Abu Hanifah dan Ahmad bin Hambal serta ulama kontenporer Malikiyah dan Asy-Syafi’iyah  bahwa laki-laki dzawi al-arham mendapat warisan. Menurut Malik dan Syifii bahwa laki-laki dari dzawi al-arham tidak mendapatkan warisan.

D.     AHLI WARIS PEREMPUAN


Para ulama’bersepakat bahwa ada sepuluh orang dari kalangan wanita yang bisa mendapatkan warisan. Mereka itu adalah, anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki kebawah, ayah ayah dari anak perempuan dengan syarat angtara anak perempuan dengan si mayit ad a seorang perempuan, ibu, nenek ibu dari ibu ke atas dengan syarat silsilah nasab antara anak perempuan dengan si mayit semuanya adalah wanita, nenek ibu dari ayah secara langsung, saudara perempuan kandung, saudara perempuan seayah, saudara perempuan seibu, istri dan maulah al-mu’taqoh (tuan yang memerdekakan budak).
Jika anda melihat kembali para wanita tersebud, anda akan mendapatkan bahwa salah satu dari mereka mendapatkan warisan karena tali pernikahan, yaitu  istri, satu dari mereka mewarisi karena wala’, yaitu maula al-mu’taqah dan delapan wanita lainnya mendapatkan warisan karena hubungan kekerabatan. Mereka tentu selain dari dua orang sebelumnya. Jika anda melihat kembali delapan kelompok wanita tersebud yang mendapatkan warisan karena hubungan kekerabatan, anda akan mendapatkan bahwa mereka dibagi menjadi tiga; pertama, cabang dari si mayit. Kedua nya, anak perempuan dan cucu dari anak perempuan ke bawah ayahnya. Kedua, pokokdari simayit. Mereka ada tiga, yaitu ibu, nenek ibu dari ibu ke atas dengan syarat-syaratnya, nenek ibu dari ayah. Anda tidak akan menemukan dari mereka itu cabang dari kake si mayit karena semua cabang dari kakek nenek dari kalangan wanita seperti bibi saudara perempuan ayah, bibi saudara perempuan ibu dan anaknya termasuk dari dzawi al-arham.
Para ulama berbeda pendapat mengenai tiga macam wanita; Pertama, wanita dari dzawat al-arham(kerabat dekat wanita), seperti bibi saudara perempuan ayah, bibi saudara perempuan ibu,anak perempuan dari bibi saudara perempuan ayah, anak perempuan dari bibi saudara perempuan ibu dan cucu dari anak perempuan. Menurut Abu Hanifah, Ahmad, ulama-ulama madzhab Malik kontenporer dan Asy-Syafi’iyah bahwa mereka bisa mendapatkan warisan. Menurut imam Asy-Syafi’I dan Malik bahwa mereka tidak mendapatkan warisan. Bagian dua, maulah al-muwalah, menurut Abu Hanifah bahwa dia mendapat warisan.
Sementara menurut tiga imam  lainnya diatidah mendapatkan warisan. Bagian ketiga nenek dari ayah  jika antara dia dan ayah terdapat lebih dari satu perantara. Imam Malik berkata, “jika antara dia dengan si mayit tidak ada laki-laki selain ayah si mayit, maka diamendapat warisan seperti ibu ibu ayah dari si mayit dan ibu ibu ibu ayahnya. Jika antara dia dan si mayit ada dua orang laki-laki maka dia tidak mendapatkan warisan, seperti ibu ayah ayahnya dan ibu ibu ayah ayahnya.” Ini adalah salah satu  pendapa dari Asy-Syafi’i.
Ahmad bin Hambal berkata,”jika antara dia dan si mayit ayahnya atau kakeknya ayah dari ayanhnya, maka dia mendapatkan warisan seperti ibu ibu ayah ayahnya dan ibu ibu ibu ibu ayahnya. Jika antara dia dan si mayit lebih dari dua orang, maka dia tidak mendapatkan warisan seperti ibu ayah ayah ayahnya.” Abu Hanifah dan Asy-syafi’I berkata,” dalam pendapat yang kedua yaitu pendapat yang paling rajih, kakek mendapatkan warisan dari sisi ayah meski ada perantara nasab antara dia dengan si mayit dengan syarat antara dia dengan si mayit seorang laki-laki selain ahli waris.
Seorang laki-laki selain ahli waris tersebud adalah semua laki-laki yang terletak antaradua wanita seperti ibu  ayah ibu ayah si mayit, jika seorang laki-laki tidak terletak antara dua wanita dalam silsilah nasab yang sampai kepada mayit, maka dia termasuk ahli waris, seperti ibu ayahnya ibu ibu ayahnya, ibu ayah ayahnya, ibu ibu ibu ayah ayahnya, ibu ayah ayah ayahnya, dan ibu ibu ayah ayah ayahnya.





E.       PERBEDAAN WARISAN DAN HIBAH SERTA HUKUM SEPUTAR HIBAH
Adapun perbedaan tersebut dapat dilihat dari tabel perbedaan dibawah ini :
           

WARIS
HIBAH
WAKTU
Setelah wafat
Sebelum wafat
PENERIMA
Ahli waris
Ahli waris dan bukan ahli waris
NILAI
Sesuai dengan faraidh
Bebas
HUKUM
Wajib
Sunnah

A.     Warisan

Di dalam hukum syariah, yang namanya warisan hanya dibagi-bagi manakala ada seseorang yang meninggal dunia dengan meninggalkan harta yang punya nilai nominal. Harta tersebut kemudian dibagi kepada ahli warisnya dengan ketentuan pembagian langsung dari langit. Bukan hasil rekayasa dan pendekatan logika manusia. Di dalam Al Qur’an, Pembagian warisan telah dicantumkan secara jelas dalam Surat An-Nisa’ ayat 11 dan 12 (penjelasan mengenai pembagian hak waris dalam Islam akan dibahas dalam tulisan berikutnya). Agama Islam tidak pernah mengenal seseorang yang masih hidup segar bugar membagi-bagi hartanya kepada ahli warisnya. Karena syarat terjadinya waris yang pertama kali adalah meninggalnya seseorang yang hartanya akan dibagi waris.
B.     Hibah

Apabila ada orang yang masih hidup yang membagi-bagi hartanya, maka hal itu disebut hibah. Hibah adalah harta yang diberikan kepada pihak lain, baik ahli waris atau pun yang bukan ahli waris, berapa pun nilainya, semasa dia masih hidup. Konsekuensinya, pada saat pembagian itu pula harta tersebut sudah berpindah pemilik. Begitu dibagikan, harta hibah tersebut sudah bukan lagi milik yang memberi hibah, tetapi secara sah dan resmi telah menjadi milik orang yang diberi hibah.

Agar sebuah hibah menjadi sah dan tidak berpotensi menimbulkan konflik di masa mendatang, maka haruslah dipenuhi syarat-syarat berikut:
1.      Surat Pernyataan Hibah
Orang yang akan memberikan hartanya kepada orang lain sebagai hibah harus menandatangani surat pernyataan di atas kertas bermaterai. Di atas pernyataan itu dijelaskan jenis hartanya, nilainya, dan kepada siapa pemberian itu ditujukan.
Selain itu, pernyataan itu harus mendapatkan persaksian dari pihak lain yang dipercaya. Dan terutama sekali juga harus ditandatangani oleh para calon ahli waris si pemberi hibah agar tidak muncul masalah di kemudian hari.
Jadi agar hibah tidak menimbulkan konflik, surat pernyataan harus dibuat secara sah dan resmi.
2. Pengurusan Surat Kepemilikan
Setelah surat pernyataan hibah ditandatangani oleh semua pihak yang terkait,selanjutnya harus dilengkapi pengurusan surat bukti kepemilikan atas suatu harta.
Misalnya, ketika seorang ayah menghibahkan rumah kepada anaknya, maka hibah itu baru sah dan resmi secara hukum manakala surat-surat kepemilikan atas rumah itu sudah diselesaikan. Misalnya, sertifikat tanah itu sudah dibalik-nama kepada anaknya.
Apabila yang dihibahkan berupa kendaraan bermotor, maka STNK dan BPKB harus dibalik-nama pada saat penghibahan itu.
3. Penyerahan Harta
Bila harta itu berupa uang tunai, maka baru bisa disebut hibah kalau memang sudah diserahkan secara tunai, bukan sekedar baru dijanjikan.
Sebagai pihak yang diberikan hibah, sebaiknya jangan merasa sudah memiliki harta kalau harta itu secara fisik belum diserahkan. Kalau baru sekedar omongan, janji, keinginan, niat dan sejenisnya, harus disadari bahwa semua itu belum merupakan pemindahan kepemilikan.






BAB III
PENUTUP


         A.    KESIMPULAN


Harta warisan adalah harta yang dalam istilah fara’id dinamakan Tirkah (peninggalan) merupakan sesuatu atau harta kekayaan oleh yang meninggal, baik berupa uang atau materi lainya yang dibenarkan oleh syariat islam untuk diwariskan kepada ahli warisnya.dan dalam pelaksanaanya atau apa-apa yang yang ditinggalkan oleh yang meninggal harus diartikan sedemikian luas sehingga mencakup hal-hal yang ada pada bagianya. Kebendaan dan sifat-sifatnya yang mempunyai nilai kebendaan. hak-hak kebendaan dan hak-hak yang bukan kebendaan dan benda-benda yang bersangkutan dengan hak orang lain.
Pentingnya pembagian warisan untuk orang-orang yang ditinggalkan dengan seadil-adilnya sudah diatur dalam Islam, mencegah terjadinya konflik antar ahli waris dan menghindari perpecahan ukhuwah persaudaraan antar sesama keluarga yang masih hidup. Pembagian tersebut sudah di atur dalam al-quran dan al hadist Namun ada beberapa ketentuan yang di sepakati dengan ijma’ dengan seadil-adilnya.





DAFTAR PUSTAKA

Rifa’i, M. 1978. Ilmu fiqih islam lengkap. Semarang : Penerbit PT Karya Toha Putra
alislamu.com/muamalah/15-waris/317-kitab-al-faraidh-warisan.html
http://mtmiftahulkhoir.wordpress.com/2008/06/17/pembagian-warisan-menurut-islam/


0 Response to "Makalah Pembagian Waris (Faraidh)"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel