Makalah Pembagian Waris (Faraidh)
Wednesday, September 28, 2016
Add Comment
Pembagian
Waris (Faraidh)
( makalah )
Diajukan sebagai pemenuhan tugas mata kuliah Praktek
Ibadah
Kelompok 8
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
MUHAMMADIYAH PRINGSEWU LAMPUNG (STKIP MPL)
Tahun Akademik 2013/2014
Alamat : Jln. Makam KH.Ghalib No. 112
Telp ((0729) 21359 Fax
(0729) 24002 Pringsewu 35373
Website: stkipmpringsewu-lpg.ac.id/
E-mail: contact@stkipmpringsewu-lpg.ac.id
Daftar
Kelompok
NO
|
NAMA
|
NPM
|
PARAF
|
1
|
HARIYO
HARDININGRAT
|
12020002
|
|
2
|
AKHMAD NUR MA’ARIF
|
12020007
|
|
3
|
TOPAN
NAPOLION
|
12020024
|
|
4
|
RIAN DWI
SAPUTRA
|
12020050
|
|
5
|
IQROM FIKRI
|
12020061
|
|
6
|
MARTA DINATA
|
12020
|
22 Februari 2014
Sutikno S.AG.
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatuh. Alhamdulillahirabbilalamin, banyak nikmat yang
Allah berikan, tetapi sedikit sekali yang kita ingat. Segala puji hanya layak
untuk Allah Tuhan seru sekalian alam atas segala berkat, rahmat, taufik, serta
hidayah-Nya yang tiada terkira besarnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah dengan judul ” Pembagian
Waris (Faraidh)”. Dalam penyusunannya, penulis
memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak, karena itu penulis mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: Kedua orang tua dan. Dari sanalah
semua kesuksesan ini berawal, semoga semua ini bisa memberikan sedikit
kebahagiaan dan menuntun pada langkah yang lebih baik lagi. Meskipun penulis
berharap isi dari makalah ini bebas dari kekurangan dan kesalahan, namun selalu
ada yang kurang. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun agar makalah ini dapat lebih baik lagi. Akhir kata penulis berharap
agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.
Pringsewu , 22 Februari 2014
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
DAFTAR ANGGOTA.............................................................................................. ii
KATA PENGANTAR.............................................................................................. iii
DAFTAR ISI............................................................................................................. iv
1. BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah........................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan...................................................................................... 2
2. BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Hukum Waris.................................................................. 3
B. Rukun dan Syarat-syarat
Warisan............................................................ 4
C. Ahli Waris dari Kalangan
Laki-laki......................................................... 6
D. Ahli Waris dari Kalangan
Perempuan...................................................... 7
E. Perbedaan Waris dan Hibah Serta Hukum Hibah................................... 10
3. BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.............................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
MASALAH
SYARIAT Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk
yang sangat teratur dan adil. Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi
setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan dengan cara yang legal. Syariat
Islam juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal
dunia kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan
antara laki-laki dan perempuan, besar atau kecil.
Al-Qur'an
menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak
kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus diterima semuanya
dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak,
ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara
seayah atau seibu.
Oleh karena itu, Al-Qur'an
merupakan acuan utama hukum dan penentuan pembagian waris, sedangkan ketetapan
tentang kewarisan yang diambil dari hadits Rasulullah saw. dan ijma' para ulama
sangat sedikit. Dapat dikatakan bahwa dalam hukum dan syariat Islam sedikit
sekali ayat Al-Qur'an yang merinci suatu hukum secara detail dan rinci, kecuali
hukum waris ini. Hal demikian disebabkan kewarisan merupakan salah satu bentuk
kepemilikan yang legal dan dibenarkan AlIah SWT. Di samping bahwa harta
merupakan tonggak penegak kehidupan baik bagi individu maupun kelompok
masyarakat.
B.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah di
atas, maka rumusan masalah dalam pembuatan tugas makalah ini adalah
“tentang Warisan dalam Hukum Islam”. Dari rumusan masalah tersebut dapat kami
uraikan menjadi sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pengertian warisan dalam hukum islam ?
2. Apa saja bentuk, rukun dan syarat warisan ?
3. Bagaimana pembagian waris dari
kalangan laki-laki ?
4. Bagaimana pembagian waris dari
kalangan perempuan ?
5. Apa perbedaan waris dan hibah
serta hukum seputar hibah ?
C.
TUJUAN PENULISAN
Tujuan pembuatan makalah
ini pada hakekatnya merupakan sesuatu yang hendak dicapai dan dapat memberikan
arahan dan penjelasan yang akan dilakukan. Berpijak pada rumusan
penelitian diatas, maka tujuan yang akan dicapai dalam makalah ini adalah
untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan warisan yang sesuai dengan
ketentuan hukum islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN DAN HUKUM WARIS
Ilmu waris adalah
kajian fikih yang berkaitan dengan permasalahan-permasalahan warisan, kajian
mengenai seseorang kapan dia menjadi ahli warisan dan kapan tidak mendapatkan
warisan, wacana mengenai ukuran yang harus dia dapatkan dari harta peninggalan
jika dia adalah ahli waris, dan ilmu yang membahas pembagia harta warisan
kepada ahli waris laki-laki dan pada ahli waris perempuan, serta segala hal
yang masih berkaita dengan warisan.
Mawaris
(adalah bentuk plural
dari mirats ( kata mirats dalam bahasa arab biasanya
digunakan untukdua makna, pertama al-baqo’
(kekal, dari sini pula Allah disebut dengan al-warits, maksudnya adalah yang maha kekal). Kedua, bermakna
perpindahan dari satukaum kekaum yang lain. Dalam syariat islam, al-warits biasanya didefinisikan sebagai
seseorang yang mempunyai hak tertentu setelah pemilik harta meninggal dunia
denga sebab-sebab tertentu dan dengan syarat tertentu pula.
Sementara fara’idh adalah bentuk plural faridhah. Dalam bahasa arab, kata faridhah bermakna takaran atau ukuran. Ia adalah bentuk subjek (fa’il),namun bermakna objek (maf’ul)). Kata tersebud adalah deriivasi
akar kata al-fardhu yang berate
ukuran tau takaran. Dalam syariat, ia memiliki definisi: “Bagian yang sudah
ditentukan secara syariat bagi para peneriam waris”
Ilmu waris atau ilmu
faraidh adalah ilmu yang dipelajar untuk mengetahui ukuran hak yang diterima
setiap ahli waris dari harta warisan.
Dalil-dalil akan
legalitas ilmu ini berasal dari Al-Qur’an, As-sunnah dan consensus ulama. Dalil
dari Al-Qur’an adalah ayat-ayat tentang warisan “Bagi tiap-tiap harta
peninggalan dari hartayang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, kami jadikan
pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia
dengan mereka, maka berilah bagiannya. Sesungguhnya allah menyaksikan segala
sesuatu.”(AN-NISAA’:33). Sementara
dalil dari sunnah adalah semisal sabda Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh
Al-Bukhari Muslim, “Berikanlah warisan kepada orang yang berhak, adapun
sisanya, maka prioritas utama adalah diberikan di beriakan kepada anak
laki-laki.”
Banyak hadis Nabi yang
mendorong untuk mempelajari ilmu ini. Di antaranya ada sabda Rasulullah yang
berbunyi, “Pelajari oleh kalian ilmu faraidh dan ajarkanlah ia kepada orang
banyak, karena aku akan meninggalkan dunia. Dan sesungguhnya
(dikhawatirkan)ilmu ini juga akan tercabud, sehingga akan muncul fitnah.
Sehingga ada dua orang yang bertikai tentang pembagia warisan, namun keduanya
tidak menemukan seseorany yang dapat member eputusan bagi keduanya.”
B.
RUKUN DAN SYARAT-SYARAT WARISAN.
Rukun waris ada
tiga:
1. Pewaris, yakni orang yang meninggal dunia, dan ahli warisnya berhak untuk mewarisi harta peninggalannya.
2. Ahli waris,
yaitu mereka yang berhak untuk menguasai atau menerima harta peninggalan
pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab) atau ikatan pernikahan,
atau lainnya.
3. Harta
warisan, yaitu segala jenis benda atau kepemilikan yang ditinggalkan pewaris,
baik berupa uang, tanah, dan sebagainya.
Syarat-syarat
yang harus dipenuhi sehingga warisan dianggap sah, ada tiga macam, yaitu :
SyaratPertama :
Orang
yang akan mewariskan telah meninggal dunia denga sebenar-benarnya, atau secara
legal, maupun berdasarkan pekiraan. Meninggalnya pewaris secara nyata dapat
diketahui dengan melihat secara langsung atau dengan mendapatkan bukti yang
dapat diterima secara syariat. Meninggalnya pewaris secara legal maksudnya
ialah seperti orang hilang, orang yang tidah ada berita dan tidak diketahui
apakah dia masih hidup atau sudah mati. Orang seperti ini harus ditunggu sampai
dia kembali dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan syariat islam.
Ketiak
waktu yang ditentukan sudah habis, maka persoalan tersebud bisa diadukan ke
pengadilan dan dihukumi dia telah meninggal. Sejak ia dihukumi sebagai orang
yang meninggal dunia, maka istrinya menjalani masa iddah istri yang ditinggalkan
mati suaminya, lalu harta peninggalanya dibagikan kepada ahli waris yang masih
hidup.
Ketika
tidak mengetahui secara pasti, mengenaiorang hilang yang hartanya akan dibagi
untuk kemudian istrinya diperintahkan untuk menjalani masa iddah, apakah dia benar-benar telah meninggal atau belum.
Kita hanya menyandarkan pada ketetapan hakim bahwa dia telah meninggal dunia.
Sementara
kematian berdasarkan perkiraan adalah seperti seorang ibu hamil dipukul
perutnya oleh seseorang, kemudia janin trsebudmengalami keguguran.
Syarat kedua :
Ahli waris masih hidup, ketika orang yang
memiliki warisan meninggal dengan sebenar-benarnya taua berdasakan perkiraan.
Maksud adari ahliwarisnya masih hidup adalah bisa disaksikan dengan mata secara
langsung atau dengan keterangan yangbisa diterima secara syari’.
Sedangkan
hidup berdasarkan perkiraan adalah seperti ahli warisnya masih berbentuk janin
berada di perud sang ibu, sementara ayahnya meninggal dunia. Apabial kehamilan
itu terjadi tatkala sang ayah meninggal dunia, dan janinnya masih berbentuk
segumpal darah atau sebongkah daging, maka hal demikian belum dikategorikan
hidup.
Syarat ketiga :
Pihak
yang akan mendapa waris (ahli waris) diketahui secara definitif. Misalkan si
fulan akan mendapatkan warisan dari si fulan yang sudah meninggal dunia
disebabkan dia adalah kerabatnya, yaitu sodara kandung si mayit, dan tidak ada
yang menghalangi dia untuk mendapatkan warisan. Syarat ini khusus di
pengadilan.
C.
AHLI WARIS DARI KALANGAN LAKI-LAKI
Para ulama syariat bersepakat mengenai
pewarisan lima belas dari kalangan laki-laki. Mereka itu adalah, anak
laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki kebawah dengan syarat antara dia
dengan si mayit tidak terhalang oleh
perempuan, ayah, kake ayah dari ayah keatas ddengan syarat antara dia dan si
mayit tidah ada prempuan, saudara laki-laki kandung, anak dari saudara
laki-laki kandung kebawah dengan syaratantara dia dengan simayit tidak ada
perempuan, saudara seayah, anak dari saudara seayah kebawahn dengan syarat
antara dia dengan si mayit tidak ada perempuan, saudara laki-laki seibu, paman
saudara ayah sekandung, anak paman saudara ayah sekandung kebawah dengan syarat
antara dia dengan si mayit tidak ada perempuan, paman saudara ayah seayah, anak
paman saudara ayah seayah kebawah denga
syarat antara dia dengansi mayit tidak ada perempuan, suami, maula al-mu’taq (tuan dari orang yang
membebaskan budak).
Jika anda memperhatikan
para ahli waris tersebud, anda akan melihat bahwa diantara mereka ada yang mendapatkan
warisan dikarenakan faktor ikatan
pernikahan, yaitu suami. Satu dari mereka dapat mewarisi karena faktor walak,
yaitu tuan yang membebaskan budak (maula al-mu’taq) tiga
belas lainnya mewarisi karena karena faktor hubungan kekerabatan. Mereka tentu
selain dari dua orang yang telah disebutkan. Jika anda melihat kembali orang
yang mendapatkan warisan karena faktor kekerabatan, anda akan melihat mereka
terbagi menjadi empat macam : Pertama, pokok dari simayit(usulul mayit), yaitu ada
dua: ayah dan kakek ayah dari ayah ke atas.
Kedua, cabang si mayit(furu’ al-mayit). Mereka juga ada dua,
yaitu anak laki-laki dan cucu laki-laki
kebawah. Ketiga cabang dari dua orang si mayit. Mereka ada lima yaitu, saudara
laki-laki dan sodaranya kebawah, sodara laki-laki seayah dan anaknya kebawah,
sodara laki-laki seibu. Keempat, cabang dari kakek simayit ayah dari ayah.
Mereka ada empat paman saudara laki-laki ayah laki-laki sekandung dananaknya
kebawahpamaan dari saudara laki-laki seayah dan anaknhya kebawah.
Mereka berbeda pendapat
mengenai dua macam klangan laki-laki ; pertama maula al-muwalah. Abu Hanifah
berpendapat bahwa dia dapat mewarisi. Sementara tiga imam yang lain berpendapat
bahwa dia tidak dapat mewarisi. Kedua, laki-laki dari dzawi al-arham seprti kake
ayah dari ibu, bibi dan anak laki-laki dari anak perempuan. Menurut Abu Hanifah
dan Ahmad bin Hambal serta ulama kontenporer Malikiyah dan Asy-Syafi’iyah bahwa laki-laki dzawi al-arham mendapat
warisan. Menurut Malik dan Syifii bahwa laki-laki dari dzawi al-arham tidak
mendapatkan warisan.
D.
AHLI WARIS PEREMPUAN
Para ulama’bersepakat
bahwa ada sepuluh orang dari kalangan wanita yang bisa mendapatkan warisan.
Mereka itu adalah, anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki kebawah,
ayah ayah dari anak perempuan dengan syarat angtara anak perempuan dengan si
mayit ad a seorang perempuan, ibu, nenek ibu dari ibu ke atas dengan syarat
silsilah nasab antara anak perempuan dengan si mayit semuanya adalah wanita,
nenek ibu dari ayah secara langsung, saudara perempuan kandung, saudara
perempuan seayah, saudara perempuan seibu, istri dan maulah al-mu’taqoh (tuan yang memerdekakan budak).
Jika anda melihat
kembali para wanita tersebud, anda akan mendapatkan bahwa salah satu dari
mereka mendapatkan warisan karena tali pernikahan, yaitu istri, satu dari mereka mewarisi karena
wala’, yaitu maula al-mu’taqah dan delapan wanita lainnya mendapatkan warisan
karena hubungan kekerabatan. Mereka tentu selain dari dua orang sebelumnya.
Jika anda melihat kembali delapan kelompok wanita tersebud yang mendapatkan
warisan karena hubungan kekerabatan, anda akan mendapatkan bahwa mereka dibagi
menjadi tiga; pertama, cabang dari si mayit. Kedua nya, anak perempuan dan cucu
dari anak perempuan ke bawah ayahnya. Kedua, pokokdari simayit. Mereka ada
tiga, yaitu ibu, nenek ibu dari ibu ke atas dengan syarat-syaratnya, nenek ibu
dari ayah. Anda tidak akan menemukan dari mereka itu cabang dari kake si mayit
karena semua cabang dari kakek nenek dari kalangan wanita seperti bibi saudara
perempuan ayah, bibi saudara perempuan ibu dan anaknya termasuk dari dzawi
al-arham.
Para ulama berbeda
pendapat mengenai tiga macam wanita; Pertama, wanita dari dzawat al-arham(kerabat dekat wanita), seperti bibi saudara
perempuan ayah, bibi saudara perempuan ibu,anak perempuan dari bibi saudara
perempuan ayah, anak perempuan dari bibi saudara perempuan ibu dan cucu dari
anak perempuan. Menurut Abu Hanifah, Ahmad, ulama-ulama madzhab Malik
kontenporer dan Asy-Syafi’iyah bahwa mereka bisa mendapatkan warisan. Menurut
imam Asy-Syafi’I dan Malik bahwa mereka tidak mendapatkan warisan. Bagian dua,
maulah al-muwalah, menurut Abu Hanifah bahwa dia mendapat warisan.
Sementara menurut tiga
imam lainnya diatidah mendapatkan
warisan. Bagian ketiga nenek dari ayah
jika antara dia dan ayah terdapat lebih dari satu perantara. Imam Malik
berkata, “jika antara dia dengan si mayit tidak ada laki-laki selain ayah si
mayit, maka diamendapat warisan seperti ibu ibu ayah dari si mayit dan ibu ibu
ibu ayahnya. Jika antara dia dan si mayit ada dua orang laki-laki maka dia
tidak mendapatkan warisan, seperti ibu ayah ayahnya dan ibu ibu ayah ayahnya.”
Ini adalah salah satu pendapa dari
Asy-Syafi’i.
Ahmad bin Hambal
berkata,”jika antara dia dan si mayit ayahnya atau kakeknya ayah dari ayanhnya,
maka dia mendapatkan warisan seperti ibu ibu ayah ayahnya dan ibu ibu ibu ibu
ayahnya. Jika antara dia dan si mayit lebih dari dua orang, maka dia tidak
mendapatkan warisan seperti ibu ayah ayah ayahnya.” Abu Hanifah dan Asy-syafi’I
berkata,” dalam pendapat yang kedua yaitu pendapat yang paling rajih, kakek
mendapatkan warisan dari sisi ayah meski ada perantara nasab antara dia dengan
si mayit dengan syarat antara dia dengan si mayit seorang laki-laki selain ahli
waris.
Seorang laki-laki
selain ahli waris tersebud adalah semua laki-laki yang terletak antaradua
wanita seperti ibu ayah ibu ayah si
mayit, jika seorang laki-laki tidak terletak antara dua wanita dalam silsilah
nasab yang sampai kepada mayit, maka dia termasuk ahli waris, seperti ibu
ayahnya ibu ibu ayahnya, ibu ayah ayahnya, ibu ibu ibu ayah ayahnya, ibu ayah
ayah ayahnya, dan ibu ibu ayah ayah ayahnya.
E. PERBEDAAN WARISAN DAN HIBAH SERTA HUKUM SEPUTAR HIBAH
Adapun
perbedaan tersebut dapat dilihat dari tabel perbedaan dibawah ini :
WARIS
|
HIBAH
|
|
WAKTU
|
Setelah wafat
|
Sebelum wafat
|
PENERIMA
|
Ahli waris
|
Ahli waris dan bukan
ahli waris
|
NILAI
|
Sesuai dengan faraidh
|
Bebas
|
HUKUM
|
Wajib
|
Sunnah
|
A. Warisan
Di dalam hukum syariah, yang namanya warisan hanya dibagi-bagi manakala ada seseorang yang meninggal dunia dengan meninggalkan harta yang punya nilai nominal. Harta tersebut kemudian dibagi kepada ahli warisnya dengan ketentuan pembagian langsung dari langit. Bukan hasil rekayasa dan pendekatan logika manusia. Di dalam Al Qur’an, Pembagian warisan telah dicantumkan secara jelas dalam Surat An-Nisa’ ayat 11 dan 12 (penjelasan mengenai pembagian hak waris dalam Islam akan dibahas dalam tulisan berikutnya). Agama Islam tidak pernah mengenal seseorang yang masih hidup segar bugar membagi-bagi hartanya kepada ahli warisnya. Karena syarat terjadinya waris yang pertama kali adalah meninggalnya seseorang yang hartanya akan dibagi waris.
B.
Hibah
Apabila ada orang yang masih hidup yang membagi-bagi hartanya, maka hal itu disebut hibah. Hibah adalah harta yang diberikan kepada pihak lain, baik ahli waris atau pun yang bukan ahli waris, berapa pun nilainya, semasa dia masih hidup. Konsekuensinya, pada saat pembagian itu pula harta tersebut sudah berpindah pemilik. Begitu dibagikan, harta hibah tersebut sudah bukan lagi milik yang memberi hibah, tetapi secara sah dan resmi telah menjadi milik orang yang diberi hibah.
Agar sebuah hibah menjadi sah dan
tidak berpotensi menimbulkan konflik di masa mendatang, maka haruslah dipenuhi
syarat-syarat berikut:
1.
Surat
Pernyataan Hibah
Orang yang akan memberikan
hartanya kepada orang lain sebagai hibah harus menandatangani surat pernyataan
di atas kertas bermaterai. Di atas pernyataan itu dijelaskan jenis hartanya,
nilainya, dan kepada siapa pemberian itu ditujukan.
Selain itu, pernyataan itu harus
mendapatkan persaksian dari pihak lain yang dipercaya. Dan terutama sekali juga
harus ditandatangani oleh para calon ahli waris si pemberi hibah agar tidak
muncul masalah di kemudian hari.
Jadi agar hibah tidak menimbulkan
konflik, surat pernyataan harus dibuat secara sah dan resmi.
2. Pengurusan Surat Kepemilikan
Setelah surat pernyataan hibah
ditandatangani oleh semua pihak yang terkait,selanjutnya harus dilengkapi
pengurusan surat bukti kepemilikan atas suatu harta.
Misalnya, ketika seorang ayah
menghibahkan rumah kepada anaknya, maka hibah itu baru sah dan resmi secara
hukum manakala surat-surat kepemilikan atas rumah itu sudah diselesaikan.
Misalnya, sertifikat tanah itu sudah dibalik-nama kepada anaknya.
Apabila yang dihibahkan berupa
kendaraan bermotor, maka STNK dan BPKB harus dibalik-nama pada saat penghibahan
itu.
3. Penyerahan Harta
Bila harta itu berupa uang tunai,
maka baru bisa disebut hibah kalau memang sudah diserahkan secara tunai, bukan
sekedar baru dijanjikan.
Sebagai pihak yang diberikan
hibah, sebaiknya jangan merasa sudah memiliki harta kalau harta itu secara
fisik belum diserahkan. Kalau baru sekedar omongan, janji, keinginan, niat dan
sejenisnya, harus disadari bahwa semua itu belum merupakan pemindahan
kepemilikan.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Harta warisan adalah harta yang
dalam istilah fara’id dinamakan Tirkah (peninggalan) merupakan sesuatu atau
harta kekayaan oleh yang meninggal, baik berupa uang atau materi lainya yang
dibenarkan oleh syariat islam untuk diwariskan kepada ahli warisnya.dan dalam
pelaksanaanya atau apa-apa yang yang ditinggalkan oleh yang meninggal harus
diartikan sedemikian luas sehingga mencakup hal-hal yang ada pada bagianya.
Kebendaan dan sifat-sifatnya yang mempunyai nilai kebendaan. hak-hak kebendaan
dan hak-hak yang bukan kebendaan dan benda-benda yang bersangkutan dengan hak
orang lain.
Pentingnya
pembagian warisan untuk orang-orang yang ditinggalkan dengan seadil-adilnya
sudah diatur dalam Islam, mencegah terjadinya konflik antar ahli waris dan
menghindari perpecahan ukhuwah persaudaraan antar sesama keluarga yang masih
hidup. Pembagian tersebut sudah di atur dalam al-quran dan al
hadist Namun ada beberapa ketentuan yang di sepakati dengan ijma’ dengan
seadil-adilnya.
DAFTAR PUSTAKA
Rifa’i, M. 1978. Ilmu fiqih islam
lengkap. Semarang : Penerbit PT Karya Toha Putra
alislamu.com/muamalah/15-waris/317-kitab-al-faraidh-warisan.html
http://mtmiftahulkhoir.wordpress.com/2008/06/17/pembagian-warisan-menurut-islam/
0 Response to "Makalah Pembagian Waris (Faraidh)"
Post a Comment