Hukum Kewarisan Islam dan Penawarnya


KATA PENGANTAR
Puji Syukur saya panjatkan kepada Allah SWT Tuhan yang Maha Esa, karena atas berkah dan rahmat-Nya, saya bisa menyelaikan karya ilmiah ini. Penulisan karya ilmiah ini bertujuan untuh memenuhi salah satu tugas kuliah, yaitu mata kuliah Hukum Kewarisan Islam. Karya ilmiah ini saya sadari sangat jauh dari sempurna. Tanpa bantuan dari banyak pihak, tentunya penulisan karya ilmiah ini yang menyita banyak energi biaya dan waktu akan sulit terselesaikan. Oleh karena itu saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang namanya tidak bisa saya sebutkan satu per satu atas bantuannya dalam mengerjakan karya ilmiah ini.
Akhir kata, saya mohom maaf yang sebesar-besarnya, jika selama penulisan karya ilmiah ini ada salah kata atau perbuatan yang menyinggng semua pihak. Saya berharap Allah SWT membalas semua kebaikan para pihak yang telah membantu. Semoga karya ilmiah ini membawa manfaat bagi ilmu pengetahuan. Amin.
Pontianak, 20 November 2014
Penulis
i




DAFTAR ISI

Kata Pengantar
i
Daftar isi
ii
BAB I Pendahuluan
1
A. Latar Belakang
1
B. Rumusan Masalah
3
C. Tujuan
3
BAB II Pembahasan
4
A. Pengertian
4
B. Sumber Hukum Kewarisan Islam
5
C. Rukun, Syarat, Dan Azas – Azas Hukum Kewarisan
11
D. Sebab Dan Penghalang Kewarisan
21
E. Derajat Ahli Waris
28
F. Ahli Waris dan Penggolongannya
30
G. Pembagian waris
43
H. Ashabah
50
I.
Penghitungan dan Pentashihan
52
J.
Aul dan Radd
55
K. Hak Waris Banci dan Wanita Hamil
58
L. Hak Waris Orang Yang Hilang, Tenggelam dan Tertimbun
61
BAB III Penutup
66
Daftar Pustaka
iii
ii






BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum waris Islam merupakan ekspresi penting hukum keluarga Islam, ia merupakan separuh pengetahuan yang dimiliki manusia sebagaimana ditegaskan Nabi Muhammad SAW. Mengkaji dan mempelajari hukum waris Islam berarti mengkaji separuh pengetahuan yang dimiliki manusia yang telah dan terus hidup di tengah-tengah masyarakat muslim sejak masa awal Islam hingga abad pertengahan, zaman modern dan kontemporer serta di masa yang akan datang.
Sejak sejarah awalnya (origin) hingga pembentukan dan pembaharuannya (change and development) di masa kontemporer hukum waris Islam menunjukkan dinamika dan perkembangannya yang penting untuk dikaji dan diteliti oleh para pemerhati hukum Islam. Bukan suatu hal yang kebetulan jika ternyata telah banyak pemerhati yang menulis dan mengkaji perkembangan hukum waris Islam dari berbagai aspeknya. Kontak Islam dengan berbagai agama yang ada pada masa awal Islam hingga zaman kontemporer juga telah ikut mewarnai hubungan Islam dan non-Islam (baca: muslim dan non muslim). Bahkan juga mewarnai hukum Islam dalam relasinya dengan non muslim, termasuk di dalamnya hukum waris Islam.
Kewarisan beda agama merupakan salah satu dari persoalan kontemporer‟ dalam pemikiran hukum Islam kontemporer. Di satu sisi nas al- Qur an tidak menjelaskan tentang bagian ahli waris untuk non muslim sedangkan hadits tidak memberikan sedikitpun bagian harta bagi ahli waris non muslim, namun di sisi lain tuntutan keadaan dan kondisi menghendaki hal yang sebaliknya. Dialektika antara hukum dan tuntutan perkembangan zaman tersebut jelas menjadi problem besar bagi hukum kewarisan Islam.
Problematika kewarisan beda agama mencuat ketika relasi muslim dan non muslim kembali didiskusikan dan diwacanakan oleh berbagai
1.      kalangan. Bahkan hal tersebut telah menjadi perhatian para pemikir Islam sejak awal pembentukannya hingga zaman kontemporer. Hanya saja tuntutan zaman kontemporer yang didalamnya terdapat isu hubungan antar agama dan hak asasi manusia memaksa kembali untuk mendiskusikan kewarisan beda agama dalam perspektif hukum Islam.
Perubahan dan pembaharuan hukum waris Islam telah terjadi secara nyata dalam sejarah pemikiran hukum Islam, untuk menyebut contoh apa yang terjadi dalam perumusan hukum waris Islam di Indonesia dengan konsep ahli waris pengganti telah merubah dan memperbarui hukum waris Islam di Indonesia.
Sejarah juga menunjukkan bahwa pada sepanjang sejarah hukum Islam pemikiran hukum waris Islam tidaklah berhenti, walaupun ada yang beranggapan bahwa pintu ijtihad telah tertutup namun sesungguhnya pemikiran hukum Islam tetap dilakukan setidaknya oleh dua golongan penegak syariat Islam yaitu qadi/hakim dan mufti. Hakim melakukan pemikiran hukum Islam dengan jalan melaksanakan hukum melalui putusan pengadilan, sedangkan mufti melalui fatwa-fatwa hukum.
Hakim sebagai penegak hukum mempunyai posisi sentral dalam penerapan hukum. Hakim tidak hanya dituntut agar dapat berlaku adil tetapi ia juga harus mampu menafsirkan undang-undang secara aktual sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan yang terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat pencari keadilan dengan tetap mempertimbangan aspek keadilan, kepastian hukum dan nilai kemanfaatannya. Melalui putusan-putusannyaseorang hakim tidak hannya menerapkan hukum yang ada dalam teks undang- undang (hakim sebagai corong undang-undang) tetapi sesugguhnya ia juga melakukan pembaharuan-pembaharuan hukum ketika dihadapkan pada masalah-masalah yang diajukan kepadanya dan belum diatur dalam undang- undang ataupun telah ada aturan tetapi dipandang tidak relevan dengan keadaan dan kondisi yang ada (hakim menciptakan hukum baru/jadge made law).
Hakim di lingkungan peradilan agama di Indonesia sebagai salah satu penegak hukum Islam ternyata juga telah melaksanakan fungsi menetapkan
2.      putusan terhadap perkara-perkara yang diajukan kepadanya dengan terlebih dahulu mengemukakan pertimbangan-pertimbangan hukum pada putusannya tersebut. Dan melalui putusan tersebut tidak dapat disangkal bahwa ia telah turut berperan dalam pemikiran hukum Islam terlebih lagi ketika putusannya tersebut mengandung pembaharuan terhadap pemikiran hukum Islam.
Adanya perbedaan antara putusan Hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia tentang bagian harta bagi ahli waris non muslim dan status ahli waris non muslim dengan fiqh di atas, jelas menimbulkan pertanyaan mendasar tentang bagaimana dan mengapa putusan tersebut lahir, bukankah putusan tersebut tidak sejalan dengan fiqih dan bahkan tidak sejalan dengan kompilasi hukum Islam yang juga tidak memberikan bagian harta sedikitpun bagi ahli waris non muslim dan tidak memberikan status ahli waris dari pewaris muslim bagi ahli waris non muslim.
B. Rumusan Masalah
Adapun Rumusan Masalah yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu sebagai berikut :
1.Mencari dan memahami pegertian ilmu waris dan hal yang berkaitan dengannya dari berbagai sumber dan pendapat.
2.Mencari dan memahami berbagai macam ilmu waris yang ada di Indonesia dan juga cara pelaksanaannya.
3.Mencari sumber ilmu hukum waris baik yang berasal dari Al-Qur’anmaupun UU yang ada di indonesia.
4.Mengetahui cara pelaksanaan ilmu hukum waris di indonesia dengan agama dan suku yang beragam.
C.Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu :
1.Sebagai salah satu tugas Mata Kuliah Hukum Kewarisan Islam.
2.Dengan menulis makalah ini penulis dapat lebih memahami Ilmu Hukum Waris yang ada di Indonesia.
3.Dan yang terakhir, semoga makalah ini bermanfaat bagi teman mahasiswa.


BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengetian
Dalam beberapa literatur Hukum Islam ditemui beberapa istilah untuk menamakan Hukum Waris Islam, seperti fiqh mawaris, ilmu faraidh dan hukum kewarisan. Perbedaan dalam penamaan ini terjadi karena perbedaan arah yang dijadikan titik utama dalam pembahasan.
Pengertian Hukum Waris Menurut Islam adalah suatu disiplin ilmu yang membahas tentang harta peninggalan, tentang bagaimana proses pemindahan, siapa saja yang berhak menerima bagian harta warisan / peninggalan itu serta berapa masing-masing bagian harta waris menurut hukum waris islam.
Prof. T.M. Hasby As-Shid dalam bukunya hukum islam yang berjudul fiqh mawaris (Hukum Waris Islam) telah memberikan pemahaman tentang pengertian hukum waris menurut islam ialah:
"Ilmu yang dengan dia dapat diketahui orang-orang yang menjadi ahli waris dalam islam, orang yang tidak dapat mewarisi harta warisan menurut islam, kadar yang diterima oleh masing-masing ahli waris dalam islam serta cara pengambilannya"
Hukum Waris Islam kadang-kadang disebut juga dengan istilah Al- Faraidh bentuk jamak dari kata fardh, yang artinya kewajiban dan atau bagian tertentu. Apabila dihubungkan dngan ilmu, menjadi ilmu faraidh, maksudnya ialah ilmu untuk mengetahui cara membagi harta waris orang yang telah meninggal dunia kepada yang berhak menerimanya menurut hukum islam. Di dalam ketentuan Hukum Waris Menurut Islam yang terdapat dalam Al-quranlebih banyak yang ditentukan dibandingkan yang tidak ditentukan bagiannya.
4
Dalam literatur hukum di Indonesia digunakan pula beberapa nama keseluruhannya mengambil dari bahasa Arab, yaitu waris, warisan, pustaka dan hukum kewarisan. Yang menggunakan nama Hukum Waris Islam, memandang kepada orang yang berhak menerima harta waris menurut islam, yaitu yang menjadi subjek dari hukum ini. Adapun menggunakan nama warisan islam memandang kepada harta warisan yang menjadi objek dari hukum ini.
Syariat Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan adil. Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan dengan cara yang legal. Syariat Islam juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan, besar atau kecil.
Al-Qur’an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukumyang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah atau seibu.
Oleh karena itu, Al-Qur’an merupakan acuan utama hukum dan penentuan pembagian waris, sedangkan ketetapan tentang kewarisan yang
diambil dari hadits Rasulullah saw. dan ijma’ para ulama sangat sedikit. Dapat
dikatakan bahwa dalam hukum dan syariat Islam sedikit sekali ayat Al-Qur’anyang merinci suatu hukum secara detail dan rinci, kecuali hukum waris ini. Hal demikian disebabkan kewarisan merupakan salah satu bentuk kepemilikan yang legal dan dibenarkan AlIah SWT. Di samping bahwa harta merupakan tonggak penegak kehidupan baik bagi individu maupun kelompok masyarakat.




A. Ahli Waris Dan Penggolongannya
1) Pengertian Ahli Waris
Ahli waris adalah setiap orang yang berhak atas harta peninggalan pewaris dan berkewajiban menyelesaikan hutang – hutangnya. Hak dan kewajiban tersebut timbul setelah pewaris meninggal dunia. Hak waris itu didasarkan pada hubungan perkawinan, hubungan darah, dan surat wasiat, yang diatur dalam undang – undang. Tetapi legataris bukan ahli waris, walaupun ia berhak atas harta peninggalan pewaris, karena bagiannya terbatas pada hak atas benda tertentu tanpa kewajiban.
Dalam Pasal 833 ayat 1 KUHPdt dinyatakan bahwa sekalian ahli waris dengan sendirinya karena hukum memperoleh hak milik atas semua harta kekayaan orang yang meninggal dunia (pewaris). Dalam Pasal 874 KUHPdt juga dinyatakan bahwa segala harta kekayaan orang yang meninggal dunia adalah kepunyaan sekalian ahli warisnya menurut undang – undang, sekedar terhadap itu dengan surat wasiat tidak diambil suatu ketetapan yang sah.
Ketentuan Pasal – Pasal di atas pada dasarnya didasari oleh asas
“le mort saisit le vif”, yang telah disebut di atas. Yang artinya orang yang
mati berpegang pada orang yang masih hidup. Asas ini mengandung arti bahwa setiap benda harus ada pemiliknya.
Setiap ahli waris berhak menuntut dan memperjuangkan hak warisnya, menurut Pasal 834 B.W. seorang ahli waris berhak untuk menuntut upaya segala apa saja yang termasuk harta peninggalan si meninggal diserahkan padanya berdasarkan haknya sebagai ahli waris (heriditatis petito). Hak penuntutan ini menyerupai hak penuntutan seorang pemilik suatu benda, dan menurut maksudnya penuntutan itu harus ditujukan kepada orang yang menguasai satu benda warisan dengan maksud untuk memilikinya. Oleh karena itu, penuntutan tersebut tidak boleh ditujukan pada seorang yang hanya menjadi houder saja, yaitu menguasainya benda itu berdasarkan suatu hubungan hukum dengan si meninggal, misalnya menyewa. Penuntutan tersebut tidak dapat ditujukan
30
kepada seorang executeur – testamentair atau seorang curator atas suatu harta peninggalan yang tidak diurus. Seorang ahli waris yang menggunakan hak penuntutan tersebut, cukup dengan mengajukan dalam surat gugatannya, bahwa ia adalah ahli waris dari si meninggal den barang yang dimintanya kembali itu termasuk benda peninggalan.
Menurut Pasal 1066 ayat 2 KUHPdt setiap ahli waris dapat menuntut pembagian harta warisan walaupun ada larangan untuk melakukan itu. Jadi, harta warisan tidak mungkin dibiarkan dalam keadan tidak terbagi kecuali jika diperjanjikan tidak diadakan pembagian, dan inipun tidak lebih lama dari lima tahun.
Walaupu ahli waris itu berhak atas harta warisan, dimana pada asasnya tiap orang meskipun seorang bayi yang baru lahir adalah cakap untuk mewaris hanya oleh undang - undang telah ditetapkan ada morang orang yang karna perbuatannya, tidak patut (onwaardig) menerima warisan. Hal ini ditentukan dalam Pasal 838 KUHPdt yang dianggap tidak patut jadi ahli waris, sehingga dikecualikan dari pewarisan adalah :
a)mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh, atau mencoba membunuh pewaris;
b)mereka yang dengan putusan hakim dipersalahkan karena fitnah telah mengadikan pewaris bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat;
c)mereka yang dengan kekerasan telah mencegah pewaris membuat atau mencabut surat wasiat;
d)mereka yang telah menggelapkan, merusak, atau memalsukan surat wasiat pewaris.
Selain itu, oleh undang - undang telah ditetapkan bahwa ada orang – orang yang berhubungan dengan jabatan atau pekerjaannya, maupu hubungannya dengan si meninggal, tidak diperbolehkan menerima keuntungan dari suatu surat wasiat yang diperbuat oleh si meninggal. Mereka ini, diantaranya adalah notaries yang membuatkan surat wasiat itu
31
serta saksi – saksi yang menghadiri pembuatan testament itu, pendeta yang melayani atau dokter yang merawat si meninggal selama sakitnya yang terakhir. Bahkan pemberian waris dalam surat wasiat kepada orang orang mungkin menjadi perantara dari orang – orang ini (“tussenbiede komende
personen”) dapat dibatalkan. Sebagai orang – orang perantara ini oleh undang – undang diangap anak – anak dan isteri dari orang – orang yang tidak diperbolehkan menerima warisan dan tastement itu.
Selanjutnya dalam Pasal 912 ditetapkan alasan – alasan yang menurut pasal 838 tersebut diatas, menyebabkan seseorang tidak patut menjadi waris, berlaku juga sebagai halangan untuk dapat menerima pemberian – pemberian dalam suatu testament, kecuali dalam pasal 912 tidak disebutkan orang yang telah mencoba membunuh orang yang meninggalkan warisan. Jika si meninggal ini ternyata dalam surat wasiatnya masih juga memberikan warisan pada seorang yang telah
berbuat demikian, hal itu dianggap sebagai suatu “pengampunan” terhadap
orang itu.
2) Syarat – Syarat Ahli Waris
Dalam pasal 832 KUHPdt dinyatakan bahwa menurut undang - undang yang berhak menjadi ahli waris ialah, para keluarga sedarah, baik sah maupun luar kawin, dan si suami atau istri yang hidup terlama. Dalam hal, bilamana baik keluarga sedarah, maupun si yang hidup terlama di antara suami istri, tidak ada, maka segala harta peninggalan si yang meninggal, menjadi milik negara, yang mana berwajib akan melunasi segala hutangnya, sekedar harga harta peniggalan mencukupi untuk itu.
Kemudian menurt Pasal 874 KUHPdt dinyatakan segala harta peninggalan seseorang yang meninggal dunia, adalah kepunyaan sekalian ahli warisnya menurut undang – undang, sekedar terhadap itu dengan surat wasiat telah diambilnya suatu ketetapan yang sah.
Menurut Pasal 836 KUHPdt dinyatakan dengan mengingat akan ketentuan dalam Pasal 2 KUHPdt, supaya dapat bertindak sebagai waris, seorang harus telah lahir, pada saat warisan jatuh meluang. Dimana Pasal
32
2 KUHPdt menyatakan bahwa anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan, bila mana juga kepentingan si anak mengkehendakinya, namun apabila mati suatu dilahirkan, dianggaplah ia tak pernah telah ada.
Jadi menurut pasal – pasal tersebut di atas syarat – syarat ahli waris adalah sebagai berikut :
a.Mempunyai hak atas harta peninggalan si pewaris, yang timbul karena
1)Hubungan darah (Pasal 832 B.W.)
2)Karena wasiat (Pasal 874 B.W.)
b.Harus sudah ada dan masih ada ketika si pewaris meninggal dunia (Pasal 836 B.W.), dengan tetap memperhatikan ketentuan dari pasal 2 B.W.
c.Ahli waris bukan orang yang dinyatakan tidak patut menerima warisan atau orang yang menolak harta warisan, adapun Pasal yang mengatur mengenai orang yang tidak patut menjadi ahli waris yaitu Pasal 838 B.W. yang telah tersebut di atas dalam sub bab sebelumnya . Jika kita tinjau dari syarat pewarisan tersebut di atas, maka akan timbul suatu pertanyaan, bagaimanakah jika antara dua orang yang saling mewaris
meninggal dalam waktu yang sama?
Dari ketentuan Pasal 831 B.W. dapat diketahui jika terjadi dua orang atau lebih yang sama atau lebih yang saling mewaris itu meninggal dalam waktu yang sama atau dalam waktu yang hampir bersamaan namun tidak dapat dibuktikan siapa yang meninggal terlebih dahulu maka diantara keduanya tidak saling mewaris.
3) Hak dan Kewajiban Ahli Waris
Dalam rangka untuk mengetahui hak dan kewajiban ahli waris perlu kiranya untuk diketahui hak dan kewajiban pewaris. Hak pewaris timbul sebelum terbukanya harta peninggalan dalam arti bahwa pewaris sebelum meninggal dunia berhak menyatakan kehendaknya dalam sebuah testament atau wasiat. Isi dan wasiat tersebut dapat berupa :
33
a.Erfstelling, yaitu suatu penunjukan satu atau beberapa orang menjadi ahli waris untuk mendapatkan sebagian atau keseluruhan harta peninggalan. Orang yang ditunjuk dinamakan testamentair erfgenaam (ahli waris menurut wasiat).
b.Legaat, adalah pemberian hak kepada seseorang atas dasar tastement atau wasiat yang khusus. Pemberian itu dapat berupa :
1)Hak atas satu atau beberapa benda tertentu;
2)Hak atas seluruh dari satu macam benda tertentu;
3)Hak vruchtgebruik atas sebagian / seluruh warisan (Pasal 957 KUHpdt).
Kewajiban si pewaris adalah merupakan pembatsan terhadap haknya ditentukan undang – undang. Ia harus mengindahkan adanya legitieme portie, yaitu suatu bagian tertentu dari harta peninggalan yang tidak dapat dihapuskan oleh orang yang meninggalkan warisan. Hak ahli waris dapat diperinci sebagai berikut:
Setelah terbuka warisan, ahli waris diberikan hak untuk menentukan sikap:
a.Menerima secara penuh (zuivere aanvaarding), yaitu dapat dilakukan secara tegas atau secara lain. Dengan tegas yaitu jika penerimaan tersebut dituangkan dalam suatu akte yang memuat penerimaannya sebagai ahli waris. Secara diam – diam, jika ahli waris tersebut melakukan perbuatan penerimaannya sebagai ahli waris dan perbuatan tersebut harus mencerminkan perbuatan penerimaan terhadap warisan yang meluang, yaitu dengan mengambil, menjual atau melunasi hutang
– hutang pewaris.
b.Menerima dengan reserve (hak untuk menukar) Voorrecht van boedel beschriyving atau beneffeciare aanvaarding. Hal ini harus dinyatakan pada Panitera Pengadilan Negeri ditempat warin terbuka. Akibat yang terpenting dalam warisan secara beneficare ini adalah bahwa kewajiban untuk melunasi hutang – hutang dan beban lain si pewaris dibatasi sedemikian rupa sehingga pelunasannya dibatasi menurut kekuatan warisan, dalam hal ini berarti si ahli waris tersebut tidak usah
34
menanggunga pembayaran hutang dengan kekayaan sendiri, jika hutang pewaris lebuh besar dari harta bendanya. Adapun kewajiban – kewajiban seorang ahli waris beneficiair, ialah :
1.Melakukan pencatatan adanya harta peninggalan dalam waktu 4 (empat) bulan setelahnya ia menyatakan kehendaknya kepada Panitera Pengadilan Negeri, bahwa ia menerima warisan secara beneficiair.
2.Mengurus harta peninggalan sebaik – baiknya.
3.Selekas – lekasnya membereskan urusan warisan (“Dewa Made Suartha boedel tot effenheid brengen”).
4.Apabila diminta oleh semua orang berpiutang harus memberikan tanggungan untuk harga benda – benda yang bergerak beserta benda – benda yang tak bergerak yang tidak diserahkan kepada orang – orang berpiutang yang memegang hypothek.
5.Memberikan pertanggungan jawab kepada sekalian penagih hutang dan orang – orang yang menerima pemberian secara legaat. Pekerjaan ini berupa menghitung harga serta pendapatan – pendapatan yang mungkin akan diperoleh, jika barang – barang warisan dijual dan sampai berapa persen piutang – piutang dan legaten itu dapat dipenuhi.
6.Memanggil orang – orang berpiutang yang tidak terkenal,dalam surat kabar resmi.
c.Menolak warisan. Hal ini mungkin jika ternyata jumlah harta kekayaan yang berupa kewajiban membayar hutang lebih besar dari pada hak untuk menikmati harta peninggalan. Penolakan wajib dilakukan dengan suatu pernyataan kepada Panitera Pengadilan Negeri setempat. Kewajiban ahli waris, antara lain :
1.Memelihara harta keutuhan harta peninggalan sebelum harta peninggalan dibagi.
2.Mencari cara pembagian yang sesuai dengan ketentuan dan lain – lain.
35
3.Melunasi hutang pewaris jika pewaris meniggalkan hutang.
4.Melaksanakan wasiat jika ada.
4)Penggolongan Ahli Waris dan Bagiannya
Ada dua macam ahli waris yang diatur dalam undang - undang yaitu Ahli Waris berdasarkan hubungan perkawinan dan hubungan darah, dan Ahli Waris berdasarkan surat wasiat. Ahli Waris yang pertama disebut Ahli Waris ab intestato, sedangkan yang kedua disebut dengan Ahli Waris testamentair.
Ahli Waris ab intestato diatur dalam pasal 832 KUHPdt, dinyatakan bahwa yang berhak menjadi Ahli Waris adalah para keluarga sedarah dan istri (sumi) yang masiih hidup dan jika ini semua tidak ada, maka yang berhak menjadi Ahli Waris adalah Negara. Pertanyaannya adalah siapa sajakah yang termasuk dalam keluarga sedarah yang berhak mewaris itu?
Untuk menjawabnya kita dapat melihat dalam B.W., dimana Ahli Waris dibedakan menjadi 4 (empat) golongan ahli waris, yaitu: Golongan I : golongan ini terdiri dari anak dan keturunannya kebawah tanpa batas beserta janda atau duda.
Menurut ketentuan pasal 852 KUHPdt, anak – anak walaupun dilahirkan dari perkawinan yang berlainan dan waktu yang berlainan, laki
– laki atau perempuan mendapatkan bagian yang sama, mewaris kepala demi kepala. Anak – anak yang mewaris sebagai pengganti dari ayah (ibu) mewaris pancang demi pancang. Yang dimaksud dengan pancang adalah semua anak dari seorang yang berhak mewaris, tetapi telah meninggal terlebih dahulu.
Kemudian tetang anak adopsi, Ali Afandi, S.H. menyatakan bahwa anak adopsi kedudukannya sejajar seperti anak yang lahir dalam perkawinan orang yang mengadopsinya.
Menurut ketentuan pasal 852 a KUHPdt, bagian seorang istri (suami) jika ada anak dari parkawiannya dengan orang yang meninggal sama dengan bagian seorang anak yang meninggal. Jika perkawinan itu bukan
36
perkawinan yang pertama dan dari perkawinan yang dahulu ada juga anak, maka baigan dari istri (suami) itu tidak boleh lebih dari bagian terkecil dari anak – anak pewaris itu. Bagaimanapun juga seorang istri tidak boleh lebih
dari seperempat harta warisan. Yang dimaksud dengan “terkecil” itu
adalah bagian dari seorang anak yang dengan ketetapan surat wasiat dapat berbeda – beda, asal tidak kurang dari legitieme portie.
Selanjutnya dalam pasal 852 b KUHPdt, ditentukan bahwa apabila istri (suami) mewaris bersama – sama dengan orang – orang lain dari pada anak – anak atau keturunannya dari perkawinannya yang dulu, maka ia dapat menarik seluruh atau bagian prabot rumah tangga dalam kekuasannya. Yang dimaksud dengan “orang – orang lain dari pada anak
– anak” itu ialah orang – orang yang menjadi Ahli Waris karena ditetapkan dengan surat wasiat. Harga perabot rumah tangga itu harus dikurangkan dari bagian warisan istri (suami) itu. Jika harganya lebih basar dari pada harga bagian warisannya maka harga kelebihan itu harus dibayar lebih dahulu pada kawan warisnya.
Golongan II : golongan ini terdiri dari ayah dan / atau ibu si pewaris beserta saudara dan keturunannya sampai derajat ke 6 (enam). Menurut ketentuan pasal 854 KHUPdt,apabila seorang meninggal dunia tanpa meniggalkan keturunan maupun istri(suami), sedangkan bapak dan ibunya masih hidup, maka yang berhak mewarisi ialah bapak, ibu, dan saudara sebagai berikut :
a.Bapak dan ibu masing - masing mendapat sepertiga dari hrta warisan, jika yang meninggal itu hanya mempunyai seorang saudara, yang mana mendapat sepertida lebihnya,
b.Bapak dan ibu masing – masing mendapat seperempat dari harta
warisan, jika yang meninggal itu mempunyai lebih dari seorang saudara, yang mana mendapat dua seperempat lebihnya.
Selanjutnya dalam pasal 855 KUHPdt ditentukan bahwa apabila orang yang meninggal dunia itu tampa meninggalkan keturunan maupun istri (suami), sedangkan bapak atau ibunya masih hidup, maka :
37
a.Bapak atau ibu mendapat seperdua dari harta warisan, jika yang meninggal itu hanya mempunyai seorang saudara, yang mana mendapat seperdua lebihnya ;
b.Bapak atau ibu mendapat sepertiga dari harta warisan, jika yang meninggal itu mempunyai dua orang saudara yang mana mendapat duapertiga lebihnya ;
c.Bapak atau ibu mendapat seperempat dari harta warisan, jika yang meninggal itu mempunyai lebih dari dua orang saudara, yang mana
mendapat tigaperempat lebihnya.
Jika bapak dan ibu telah meninggal dunia, maka seluruh harta warisan menjadi bagian saudara – saudaranya (pasal 856 KUHPdt). Pembagian antara saudara – saudara adalah sama, jika mereka itu mempunyai bapak dan ibu yang sama. Apabila mereka berasal dari perkawinan yang berlainan (bapak sama tetapi lain ibu, atau ibu sama tetapi lain bapak), maka harta warisan dibagi dua. Bagian yang pertama adalah bagin bagi garis bapak dan bagian yang kedua adalah bagian bagi garis ibu. Saudara – saudara yang mempunyai bapak dan ibu yang sama mendapat bagian dari bagian dari garis bapak dan garis ibu. Saudara – saudara yang hanya sebapak atau seibu dapat baian dari bagian garis bapak atau garis ibu saja (Pasal 857).
Apabila orang yang mennggal dunia itu tidak meninggalkan keturunan istri atau suami, saudara, sedangkan bapak atau ibunya masih hidup. Maka bapak atau ibunya yang masih hidup itu mewarisi seluruh warisan anaknya yang meniggal dunia itu (pasal 859 KUHPdt).
Golongan III : golongan ini terdiri dari keluarga sedarah menurut garis lurus ke atas.
Menurut ketentuan Pasal 853 dan Pasal 858 KUHPdt apabila orang yang meninggal dunia itu tidak meninggalkan keturunan, maupun istri atau suami, saudara – saudara, ataupun orang tua, maka warisan jatuh kepada kakek dan nenek. Dalam hal ini warisan itu dibelah menjadi dua. Satu bagian diberikan kepada kakek dan nenek yang diturunkan bapak dan
38
satu bagian lagi diberikan kepada kakek dan nenek yug menurunkan ibu. Apabila kakek dan nenek tidak ada, maka warisan jatuh kepada orang tua kakek dan nenek (puyang). Apabila yang tidak ada itu hanya kakek dan nenek, maka bagian jatuh pada garis keturunannya, dan menjadi bagian yang masih hidup. Ahli waris yang terdekat derajatnya dalam garis lurus ke atas, mendapat setengah warisan dalam garisnya dengan menyampingkan semua ahli waris lainnya. Semua keluarga sedarah dalam garis lurus keatas dalam derajat yang sama mendapat begian kepala demi kepala (bagian yang sama).
Golongan IV : golongan ini terdiri dari keluarga sedarah dalam garis kesamping yang lebih jauh sampai derajat ke 6 (enam).
Apabila orang yang meninggal dunia itu tidak meninggalkan keturunan, istri atau suami, saudara – saudara, orangtua, nenek dan kakek, maka menurut ketentuan Pasal 853 dan Pasal 858 ayat 2 KUHPdt warisan jatuh pada Ahli Waris yang terdekat pada tiap garis. Jika ada beberapa orang yang derajatnya sama, maka warisan dibagi berdasarkan bagian yang sama.
Keluarga sedarah dalam garis menyimpang lebih dari derajat ke 6 (enam) tidak mewarisi. Jika dalam garis yang satu tidak ada keluarga yang sedarah dalam derajat yang mengijinkan untuk mewarisi, maka semua keluarga sedarah dalam garis yang lain memperoleh seluruh warisan (Pasal 861 KUHPdt).
Apabila semua orang yang berhak mewarisi tidak ada lagi, maka seluruh warisan dapat dituntut oleh anak luar kawin yang diakui. Apabila anak luar kawin inipun juga tidak ada, maka seluruh warisan jatuh pada Negara (Pasal 873 ayat 1 dan Pasal 832 ayat 2 KUHPdt).
Dengan berlakunya undang - undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 maka pewarisan anak luar kawin walaupun diakui, tidak relevan lagi. Undang - undang no. 1 tahun 1974 hanya mengenal anak sah dan anak luar kawin (tidak sah). Anak sah adalah Ahli Waris, sedangkan anak luar kawin
39
hanya berhak mewarisi dari ibu yang melahirkannya dan keluarga sedarah
dari pihak ibunya.
5) Ahli Waris Yang Tidak Berhak Mewaris
Menurut ketentuan Pasal 838 KUHPdt, yang dianggap tidak
patut menjadi Ahli Waris dan karenanya tidak berhak mewaris adalah :
1.Mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh pewaris.
2.Mereka yang dengan putusan hakim dipersalahkan karena dengan fitnah mengajajukan pengaduan terhadap pewaris mengenai suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara 5 (lima) tahun lamanya atau hukuman yang lebih berat.
3.Mereka yang dengan kekerasan telah mencegah pewaris membut atau mencabut surat wasiatnya.
4.Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan syrat
wasiat pewaris.
Bebeda dengan KUHPdt adalah hukum waris adat. Menurut uraian Prof. Hilman Adikusuma, S.H. (1980) seorang yang telah berdosa terhadap pewaris apabila dosanya itu diampuni, ia tetap menerima harta warisan, artinya masih berhak mewaris. Sedangkan menurut hukum waris Islam, orang yang tidak berhak mewaris adalah:
1.Pembunuh pewaris, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ap- Tirmidzi, Ibnmajah, Abu Dawud, Am-Masaai.
2.Orang yang murtad yaitu keluar dari Agama Islam, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bardah.
3.Orang yang berbeda agama dengan pewaris, yaitu orang bukan menganut Agama Islam atau Kafir, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari, Abu Dawud, Ibn Majah, At-Tirmidzi.
4.Anak zina, yaitu anak yang lahir karena hubungan diluar nikah, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi.
Tidak berhak mewaris terdapat juga pada ahli waris yang
menolak warisan dalam Pasal 1058 ditentukan bahwa seorang ahli waris
40
yang menolak warisan dianggap tidak pernah menjadi Ahli Waris. Penolakan itu berlaku surut sampai waktu meninggalnya pewaris. Menurut Pasal 1059 KUHPdt bagian dari Ahli Waris yang menolak itu jatuh pada ahli waris lainnya, seolah – olah ahli waris yang menolak itu tidak pernah ada. Menurut Pasal 1057 KUHPdt penolakan warisan harus dinyatakan dengan tegas dikepaniteraan Pengadilan Negeri. Menurut Pasal 1062 KUHPdt dinyatakan pula bahwa hak untuk menolak warisan tidak dapat gugur karena Daluarsa.
Penolakan warisan itu harus dengan suka rela atas kemauan sendiri, apabila penolakan itu terjadi na paksaan atau penipuan, maka menurut Pasal 1065 KUHPdt penolakan itu dapat dibatalkan (ditiadakan). Tetapi kesukarelaan penolakan itu tidak boleh dilakukan dengan alasan tidak mau membayar hutang. Jka terjadi demikian, menurut Pasal 1061 KUHPdt hakim dapat memberi kuasa kepada para kreditur dari ahli waris yang menolah itu untuk atas namanya menjadi pengganti menerima warisan.
6) Ahli Waris Pengganti
KUHPdt membedakan antara ahli waris “uit eigen hoofed” dan ahli waris “bij plaasvervulling”. Ahli Waris “uit eigen hoofed” adalah ahli
waris yang memperoleh warisan berdasarkan kedudukannya sendiri
terhadap pewaris,misalnya anak pewaris ,istri/suami pewaris. Ahli waris
“bij plaasvervulling”adalah ahli waris pengganti berhubung orang yang
berhak mewaris telah meninggal dunia lebih dahulu daripada pewaris. Misalnya seorang ayah meniggal lebih dahulu daripada kakek, maka anak- anak ayah yang meninggal itu menggantikan kedudukan ayahnya sebagai ahli waris dari kakek.
Penggantian ini terjadi dalam garis kebawah dan terjadi tanpa batas. Tiap ahli waris yang meninggal lebih dahulu digantikan oleh anak- anaknya. Jika lebih dari satu anak sebagai penggantinya, maka penggantian itu dihitung sebagai satu cabang, artinya semua anak yang menggantikan itu mendapatkan bagian yang sama. Penggantian dapat juga
41
terjadi pada keluarga dalam garis samping. Tiap saudara pewaris baik saudara kandung maupun saudara tiri, jika meninggal lebih dahulu, digantikan oleh anaknya. Penggantian ini juga dapat tanpa batas. Tiap penggantian dihitung sebagai satu cabang (bij staken).
Menurut ketentuan pasal 841 KUHPdt penggantian adalah hak yang memberikan kepada seseorang untuk menggantikan seorang Ahli Waris yang telah meninggal labih dahulu dari pada pewarisnya untuk bertindak sebagai pengganti dalam derajat dan dalam hak orang yang digantikannya. Pengganian ini menurut pasal 842 KUHPdt hanya terjadi dalam garis lurus ke bawah tanpa batas, sedangkan pasal 843 KUHPdt manyatakan dalam garis lurus ke atas tidak terdapat penggatian. Dalam hal ada penggantian, maka menurut pasal 846 KUHPdt pembagian dilakukan pancang demi pancang .
Dalam hal mengenai ada tidaknya istilah ahli waris pengganti dalam hukum adat, dalam uraiannya Prof. Hilman Hadikusuma, S. H. menyatakan dalam hukum adat dikenal juga ahli waris pengganti, hanya saja penggantian tersebut tergantung pada garis kekerabatan yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan (ptrilineal, matrilineal, dan parental). Dalam hukum islam dikenal juga Ahli Waris pengganti, yang disebut
“mawali”. Yang dimaksud dengan mawali adalah Ahli Waris yang
menggantikan seseorang untuk memperoleh bagian warisan yang tadinya akan diperoleh orang yang digantikan itu. sebabnya ialah bahwa orang yang digantikan itu ialah orang yang seharusnya menerima warisan kalau dia masih hidup, tetapi dalam kasus yang bersangkutan ia telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pada pewaris. Mewali itu adalah keturunan anak pewaris, keturunan saudara pewaris atau keturunan orang yang mengadakan perjanjian mewaris dengan pewaris.
42
B.Pembagian Waris
1.Menurut Al Qur’an
Jumlah bagian yang telah ditentukan Al-Qur'an ada enam macam, yaitu setengah (1/2), seperempat (1/4), seperdelapan (1/8), dua per tiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6). Kini mari kita kenali pembagiannya secara rinci, siapa saja ahli waris yang termasuk ashhabul furudh dengan bagian yang berhak ia terima.
a. Ashhabul Furudh yang Berhak Mendapat Setengah
Ashhabul furudh yang berhak mendapatkan separo dari harta waris peninggalan pewaris ada lima, satu dari golongan laki-laki dan empat lainnya perempuan. Kelima ashhabul furudh tersebut ialah suami, anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki,saudara kandung perempuan, dan saudara perempuan seayah. Rinciannya seperti berikut:
1)Seorang suami berhak untuk mendapatkan separo harta warisan, dengan syarat apabila pewaris tidak mempunyai keturunan, baik anak laki-laki maupun anak perempuan, baik anak keturunan itu dari suami tersebut ataupun bukan. Dalilnya adalah firman Allah:
"... dan bagi kalian (para suami) mendapat separo dari harta yang ditinggalkan istri-istri kalian, bila mereka (para istri) tidak mempunyai anak ..." (an-Nisa': 12)
2)Anak perempuan (kandung) mendapat bagian separo harta peninggalan pewaris, dengan dua syarat:
a.Pewaris tidak mempunyai anak laki-laki (berarti anak perempuan tersebut tidak mempunyai saudara laki-laki, penj.).
b.Apabila anak perempuan itu adalah anak tunggal. Dalilnya adalah firman Allah: "dan apabila ia (anak perempuan) hanya seorang, maka ia mendapat separo harta warisan yang ada". Bila kedua persyaratan tersebut tidak ada, maka anak perempuan pewaris tidak mendapat bagian setengah.
43
3)Cucu perempuan keturunan anak laki-laki akan mendapat bagian separo, dengan tiga syarat:
a.Apabila ia tidak mempunyai saudara laki-laki (yakni cucu laki- laki dari keturunan anak laki-laki).
b.Apabila hanya seorang (yakni cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki tersebut sebagai cucu tunggal).
c.Apabila pewaris tidak mempunyai anak perempuan ataupun anak laki-laki.
4)Saudara kandung perempuan akan mendapat bagian separo harta warisan, dengan tiga syarat:
a.Ia tidak mempunyai saudara kandung laki-laki.
b.Ia hanya seorang diri (tidak mempunyai saudara perempuan).
c.Pewaris tidak mempunyai ayah atau kakek, dan tidak pula mempunyai keturunan, baik keturunan laki-laki ataupun keturunan perempuan.
5)Saudara perempuan seayah akan mendapat bagian separo dari harta warisan peninggalan pewaris, dengan empat syarat:
a.Apabila ia tidak mempunyai saudara laki-laki.
b.Apabila ia hanya seorang diri.
c.Pewaris tidak mempunyai saudara kandung perempuan.
d.Pewaris tidak mempunyai ayah atau kakak, dan tidak pula anak, baik anak laki-laki maupun perempuan.
b.Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Seperempat
Adapun kerabat pewaris yang berhak mendapat seperempat
(1/4) dari harta peninggalannya hanya ada dua, yaitu suami dan istri.
Rinciannya sebagai berikut:
1)Seorang suami berhak mendapat bagian seperempat (1/4) dari harta peninggalan istrinya dengan satu syarat, yaitu bila sang istri mempunyai anak atau cucu laki-laki dari keturunan anak laki- lakinya, baik anak atau cucu tersebut dari darah dagingnya ataupun
44
dari suami lain (sebelumnya). Hal ini berdasarkan firman Allah berikut:
"... Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya É" (an -Nisa': 12)
2)Seorang istri akan mendapat bagian seperempat (1/4) dari harta peninggalan suaminya dengan satu syarat, yaitu apabila suami tidak mempunyai anak/cucu, baik anak tersebut lahir dari rahimnya ataupun dari rahim istri lainnya. Ketentuan ini berdasarkan firman Allah berikut:
"... Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak ..." (an-Nisa': 12)
c.Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Seperdelapan
Dari sederetan ashhabul furudh yang berhak memperoleh bagian seperdelapan (1/8) yaitu istri. Istri, baik seorang maupun lebih akan mendapatkan seperdelapan dari harta peninggalan suaminya, bila suami mempunyai anak atau cucu, baik anak tersebut lahir dari rahimnya atau dari rahim istri yang lain. Dalilnya adalah firman Allah SWT:
"... Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuh, wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu ..." (an- Nisa': 12)
d. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Bagian Dua per Tiga
Ahli waris yang berhak mendapat bagian dua per tiga (2/3) dari harta peninggalan pewaris ada empat, dan semuanya terdiri dari wanita:
1.Dua anak perempuan (kandung) atau lebih.
2.Dua orang cucu perempuan keturunan anak laki-laki atau lebih.
3.Dua orang saudara kandung perempuan atau lebih.
4.Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih.
Ketentuan ini terikat oleh syarat-syarat seperti berikut:
45
1)Dua anak perempuan (kandung) atau lebih itu tidak mempunyai saudara laki-laki, yakni anak laki-laki dari pewaris. Dalilnya firman Allah berikut:
"... dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua per tiga dari harta yang ditinggalkan ..." (an-Nisa': 11)
Ada satu hal penting yang mesti kita ketahui agar tidak tersesat dalam memahami hukum yang ada dalam Kitabullah. Makna "fauqa itsnataini" bukanlah 'anak perempuan lebih dari dua', melainkan 'dua anak perempuan atau lebih', hal ini merupakan kesepakatan para ulama. Mereka bersandar pada hadits Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim yang mengisahkan vonis Rasulullah terhadap pengaduan istri Sa'ad bin ar-Rabi' r.a. --sebagaimana diungkapkan dalam bab sebelum ini.
Hadits tersebut sangat jelas dan tegas menunjukkan bahwa makna ayat itsnataini adalah 'dua anak perempuan atau lebih'. Jadi, orang yang berpendapat bahwa maksud ayat tersebut adalah "anak perempuan lebih dari dua" jelas tidak benar dan menyalahi ijma' para ulama. Wallahu a'lam.
2)Dua orang cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki akan mendapatkan bagian dua per tiga (2/3), dengan persyaratan sebagai berikut:
a.Pewaris tidak mempunyai anak kandung, baik laki-laki atau perempuan.
b.Pewaris tidak mempunyai dua orang anak kandung perempuan.
c.Dua cucu putri tersebut tidak mempunyai saudara laki-laki.
3)Dua saudara kandung perempuan (atau lebih) akan mendapat bagian dua per tiga dengan persyaratan sebagai berikut:
a.Bila pewaris tidak mempunyai anak (baik laki-laki maupun perempuan), juga tidak mempunyai ayah atau kakek.
b.Dua saudara kandung perempuan (atau lebih) itu tidak mempunyai saudara laki-laki sebagai 'ashabah.
46
c.Pewaris tidak mempunyai anak perempuan, atau cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Dalilnya adalah firman Allah:
"... tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua per tiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal ..." (an-Nisa': 176)
4)Dua saudara perempuan seayah (atau lebih) akan mendapat bagian dua per tiga dengan syarat sebagai berikut:
a.Bila pewaris tidak mempunyai anak, ayah, atau kakek.
b.Kedua saudara perempuan seayah itu tidak mempunyai saudara laki-laki seayah.
c.Pewaris tidak mempunyai anak perempuan atau cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, atau saudara kandung (baik laki-laki maupun perempuan).
e. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Bagian Sepertiga
Adapun ashhabul furudh yang berhak mendapatkan warisan sepertiga bagian hanya dua, yaitu ibu dan dua saudara (baik laki-lakiataupun perempuan) yang seibu.
Seorang ibu berhak mendapatkan bagian sepertiga dengan syarat:
1)Pewaris tidak mempunyai anak atau cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki.
2)Pewaris tidak mempunyai dua orang saudara atau lebih (laki-lakimaupun perempuan), baik saudara itu sekandung atau seayah ataupun seibu. Dalilnya adalah firman Allah:
"... dan jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga..." (an-Nisa': 11)
Juga firman-Nya:
"... jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam..." (an-Nisa': 11)
47
f. Asbhabul Furudh yang Mendapat Bagian Seperenam
Adapun asbhabul furudh yang berhak mendapat bagian seperenam (1/6) ada tujuh orang. Mereka adalah (1) ayah, (2) kakek asli (bapak dari ayah), (3) ibu, (4) cucu perempuan keturunan anak laki-laki,
(5) saudara perempuan seayah, (6) nenek asli, (7) saudara laki-laki dan perempuan seibu.
2. Sistem Hukum kewarisan menurut KUH Perdata (BW).
Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata ada dua cara untuk mendapatkan warisan, yaitu:
1)Sebagai ahli waris menurut Undang-undang.
2)Karena ditunjuk dalam surat wasiat (testament).
Cara yang pertama dinamakan mewarisi menurut Undang-undang atau “ab
intestato” dan cara yang kedua dinamakan mewarisi secara “testamentair”.
Dalam hukum waris berlaku suatu asas, bahwa hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang dapat diwariskan. Dengan kata lain hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dapat dinilai dengan uang saja (Subekti, 1993: 95).
Bila orang yang meninggal dunia tidak membuat testamen, maka dalam Undang-undang Hukum Perdata ditetapkan pembagian warisan sebagai berikut:
a.Yang pertama berhak mendapat warisan yaitu suami atau isteri dananak-anak, masing – masing berhak mendapat bagian yang sama jumlahnya (pasal 852 BW).
b.Apabila tidak ada orang sebagaimana tersebut di dtas, maka yang kemudian berhak mendapat warisan adalah orang tua dan saudara dari orang tua yang meninggal dunia, dengan ketentuan bahwa orang tua masing-masing sekurang-kurangnya mendapat seperempat dari warisan (pasal 854 BW).
c.Apabila tidak ada orang sebagaimana tersebut di atas, maka warisan dibagi dua, separuh untuk keluarga pihak ibu dan separuh lagi untuk
48
pihak keluarga ayah dari yang meninggal dunia, keluarga yang paling dekat berhak mendapat warisan. Jika anak-anak atau saudara-saudaradari pewaris meninggal dunia sebelum pewaris, maka tempat mereka diganti oleh keturunan yang sah (pasal 853 BW).
Menurut ketentuan pasal 838 KUH Perdata, yang dianggap tidak patut menjadi ahli waris dan karenanya tidak berhak mewaris ialah:
a.Mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh pewaris.
b.Mereka yang dengan putusan hakim Pengadilan dipersalahkan karena dengan fitnah telah mengajukan pengaduan terhadap pewaris mengenai suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau hukuman yang lebih berat.
c.Mereka yang dengan kekerasan telah mencegah pewaris membuat atau mencabut surat wasiatnya.
d.Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat pewaris.
3.Persamaan dan perbedaan antara sistem hukum Islam dengan sistem KUH Perdata (BW).
Sistem hukum kewarisan menurut KUH Perdata tidak membedakan antara anak laki-laki dan anak perempuan, antara suami dan isteri, mereka berhak semua mewaris, dan bagian anak laki-laki sama dengan bagian anak perempuan, bagian seorang isteri atau suami sama
dengan bagian anak.
Apabila dihubungkan dengan sistem keturunan, maka KUH Perdata menganut system keturunan Bilateral, dimana setiap orang itu menghubungkan dirinya dengan keturunan ayah mapun ibunya, artinya ahli waris berhak mewaris dari ayah jika ayah meninggal dan berhak mewaris dari ibu jika ibu meninggal, berarti ini ada persamaan dengan hukum Islam. Persamaanya apabila dihubungkan antara sitem hukum waris menurut Islam dengan sistem kewarisan menurut KUH Perdata, baik menurut KUH Perdata maupun menurut hukum kewarisan Islam sama-sama menganut
49
system kewarisan individual, artinya sejak terbukanya waris (meninggalnya pewaris) harta warisan dapat dibagi-bagi pemilikannya antara ahli waris. Tiap ahli waris berhak menuntut bagian warisan yang menjadi haknya. Jadi sistem kewarisan yang dianut oleh KUH Perdata adalah sistem kewarisan individul bilateral (Subekti, 1953: 69), sedangkan perbedaannya adalah terletak pada saat pewaris meninggal dunia, maka harta tersebut harus dikurangi dulu pengluaran-pengluaranantara lain apakah harta tersebut sudah dikeluarkan zakatnya, kemudian dikurangi untuk membayar hutang atau merawat jenazahnya dulu, setelah bersih, baru dibagi kepada ahli waris, sedangkan menurut KUH Perdata tidak mengenal hal tersebut, perbedaan selanjutnya adalah terletak pada besar dan kecilnya bagian yang diterima para ahli waris masing-masing,yang menurut ketentuan KUH Perdata semua bagian ahli waris adalah sama, tidak membedakan apakah anak, atau saudara, atau ibu dan lain-lain, semua sama rata, sedangkan menurut hukum Islam dibedakan bagian antara ahli waris yang satu dengan yang ahli waris yang lain.
Persamaan tersebut disebabkan karena pola dan kebutuhan masyarakat yang universal itu adalah sama, sedangkan perbedaan- perbedaan itu disebabkan karena cara berfikir orang-orang barat adalah abstrak, analistis dan sistematis, dan pandangan hidup mereka adalah individulaistis dan materialistis, sedangkan hukum Islam dilatar belakangi oleh cara berfikir yang logis, riil dan konkrit, dan pandangan hidup dalam hukum Islam didasarkan pada sistem kekeluargaan dan bersifat rohani (magis).
C. Ashabah
Kata 'ashabab dalam bahasa Arab berarti kerabat seseorang dari pihak bapak. Disebut demikian, dikarenakan mereka --yakni kerabat bapak--menguatkan dan melindungi. Sedangkan pengertian 'ashabah menurut istilah para fuqaha ialah ahli waris yang tidak disebutkan banyaknya bagian di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan tegas. Pengertian 'ashabah yang sangat
50
masyhur di kalangan ulama faraid ialah orang yang menguasai harta waris karena ia menjadi ahli waris tunggal. Selain itu, ia juga menerima seluruh sisa harta warisan setelah ashhabul furudh menerima dan mengambil bagian masing-masing.
1) Macam-macam 'Ashabah
'Ashabah terbagi dua yaitu: 'ashabah nasabiyah (karena nasab) dan 'ashabah sababiyah (karena sebab). Jenis 'ashabah yang kedua ini disebabkan memerdekakan budak. Oleh sebab itu, seorang tuan (pemilik budak) dapat menjadi ahli waris bekas budak yang dimerdekakannya apabila budak tersebut tidak mempunyai keturunan.
Sedangkan 'ashabah nasabiyah terbagi tiga yaitu: (1) 'ashabah bin nafs (nasabnya tidak tercampur unsur wanita), (2) 'ashabah bil ghair (menjadi 'ashabah karena yang lain), dan (3) 'ashabah ma'al ghair (menjadi 'ashabah bersama-sama dengan yang lain).
a.'Ashabah bin nafs
1)Arah anak, mencakup seluruh laki-laki keturunan anak laki-lakimulai cucu, cicit, dan seterusnya.
2)Arah bapak, mencakup ayah, kakek, dan seterusnya, yang pasti hanya dari pihak laki-laki, misalnya ayah dari bapak, ayah dari kakak, dan seterusnya.
3)Arah saudara laki-laki, mencakup saudara kandung laki-laki,saudara laki-laki seayah, anak laki-laki keturunan saudara kandung laki-laki, anak laki-laki keturunan saudara laki-lakiseayah, dan seterusnya. Arah ini hanya terbatas pada saudara kandung laki-laki dan yang seayah, termasuk keturunan mereka, namun hanya yang laki-laki. Adapun saudara laki-laki yang seibu tidak termasuk 'ashabah disebabkan mereka termasuk ashhabul furudh.
4)Arah paman, mencakup paman (saudara laki-laki ayah) kandung maupun yang seayah, termasuk keturunan mereka, dan seterusnya.
51
b. 'Ashabah bi Ghairihi
'Ashabah bi ghairihi hanya terbatas pada empat orang ahli
waris yang kesemuanya wanita:
1)Anak perempuan, akan menjadi 'ashabah bila bersamaan dengan saudara laki-lakinya (yakni anak laki-laki).
2)Cucu perempuan keturunan anak laki-laki akan menjadi 'ashabah bila berbarengan dengan saudara laki-lakinya, atau anak laki-lakipamannya (yakni cucu laki-laki keturunan anak laki-laki), baik sederajat dengannya atau bahkan lebih di bawahnya.
3)Saudara kandung perempuan akan menjadi 'ashabah bila bersama saudara kandung laki-laki.
4)Saudara perempuan seayah akan menjadi 'ashabah bila bersamaan dengan saudara laki-lakinya, dan pembagiannya, bagian laki-laki dua kali lipat bagian perempuan.
c.'Ashabah ma'al Ghair
'Ashabah ma'al Ghair ini khusus bagi para saudara kandung perempuan maupun saudara perempuan seayah apabila mewarisi bersamaan dengan anak perempuan yang tidak mempunyai saudara laki-laki. Jadi, saudara kandung perempuan ataupun saudara perempuan seayah bila berbarengan dengan anak perempuan --ataucucu perempuan keturunan anak laki-laki dan seterusnya-- akan menjadi 'ashabah. Jenis 'ashabah ini di kalangan ulama dikenal dengan istilah 'ashabah ma'al ghair.
D. Penghitungan dan Pentashihan
Mengetahui pokok masalah merupakan suatu keharusan bagi kita yang mengkaji ilmu faraid. Hal ini agar kita dapat mengetahui secara pasti bagian setiap ahli waris, hingga pembagiannya benar-benar adil, tanpa mengurangi atau melebihkan hak masing-masing. Persoalan "pokok masalah" ini di kalangan ulama faraid dikenal dengan istilah at-ta'shil, yang berarti usaha untuk mengetahui pokok masalah. Dalam hal ini, yang perlu diketahui adalah
52
bagaimana dapat memperoleh angka pembagian hak setiap ahli waris tanpa melalui pemecahan yang rumit. Karena itu, para ulama ilmu faraid tidak mau menerima kecuali angka-angka yang jelas dan benar (maksudnya tanpa menyertakan angka-angka pecahan, penj.).
Untuk mengetahui pokok masalah, terlebih dahulu perlu kita ketahui siapa-siapa ahli warisnya. Artinya, kita harus mengetahui apakah ahli waris yang ada semuanya hanya termasuk 'ashabah, atau semuanya hanya dari ashhabul furudh, atau gabungan antara 'ashabah dengan ashhabul furudh.
Apabila seluruh ahli waris yang ada semuanya dari 'ashabah, maka pokok masalahnya dihitung per kepala --jika semuanya hanya dari laki-laki.Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan lima orang anak laki-laki, maka pokok masalahnya dari lima. Atau seseorang wafat meninggalkan sepuluh saudara kandung laki-laki, maka pokok masalahnya dari sepuluh.
Bila ternyata ahli waris yang ada terdiri dari anak laki-laki dan perempuan, maka satu anak laki-laki kita hitung dua kepala (hitungan), dan satu wanita satu kepala. Hal ini diambil dari kaidah qur'aniyah: bagian anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan. Pokok masalahnya juga dihitung dari jumlah per kepala.
Kaidah ini sangat mudah sekaligus mempermudah kita untuk memahami pokok masalah ketika ahli waris terdiri dari berbagai sahib fardh yang mempunyai bagian berbeda-beda.
Para ulama faraid membagi kaidah tersebut menjadi dua bagian: Pertama: bagian setengah (1/2), seperempat (1/4), dan seperdelapan (1/8). Kedua: bagian dua per tiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6).
Apabila para ashhabul furudh hanya terdiri dari bagian yang pertama saja (yakni 1/2, 1/4, 1/8), berarti pokok masalahnya dari angka yang paling besar. Misalnya, bila dalam suatu keadaan, ahli warisnya dari sahib fardh setengah (1/2) dan seperempat (1/4), maka pokok masalahnya dari empat (4).
Misal lain, bila dalam suatu keadaan ahli warisnya terdiri dari para sahib fardh setengah (1/2), seperempat (1/4), dan seperdelapan (1/8) --atauhanya seperempat dengan seperdelapan-- maka pokok masalahnya dari delapan
53
(8). Begitu juga bila dalam suatu keadaan ahli warisnya terdiri dari sahib fardh sepertiga (1/3) dengan seperenam (1/6) atau dua per tiga (2/3) dengan seperenam (1/6), maka pokok masalahnya dari enam (6). Sebab angka tiga merupakan bagian dari angka enam. Maka dalam hal ini hendaklah diambil angka penyebut yang terbesar.
Akan tetapi, jika dalam suatu keadaan ahli warisnya bercampur antara sahib fardh kelompok pertama (1/2, 1/4, dan 1/8) dengan kelompok kedua (2/3, 1/3, dan 1/6) diperlukan kaidah yang lain untuk mengetahui pokok masalahnya.
Pokok masalah dari enam (6)





Suami setengah (1/2)
3




Saudara laki-laki seibu seperenam (1/6)
1




Ibu sepertiga (1/3)
2




Paman kandung, sebagai 'ashabah
0




Pokok masalah dari dua belas (12)





Istri seperempat (1/4))
3




Ibu seperenam (1/6)
2




Dua saudara laki-laki seibu sepertiga (1/3)
4




Saudara kandung laki-laki sebagai 'ashabah (sisanya)
3




Pokok masalah dari 24







Bagian istri seperdelapan (1/8)
berarti
3





Bagian anak perempuan setengah (1/2)
berarti
12





Cucu perempuan dari anak laki-laki seperenam (1/6)
berarti
4





Bagian ibu seperenam (1/6)
berarti
4





Saudara kandung laki-laki, sebagai 'ashabah (sisa)

1




54
E.Aul dan Radd
1)Definisi al-'Aul
Al-'aul dalam bahasa Arab mempunyai banyak arti, di antaranya bermakna azh-zhulm (aniaya) dan tidak adil, seperti yang difirmankan- Nya:
"... Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya." (an-Nisa': 3)
Sedangkan definisi al-'aul menurut istilah fuqaha yaitu bertambahnya jumlah bagian fardh dan berkurangnya nashib (bagian) para ahli waris.
Hal ini terjadi ketika makin banyaknya ashhabul furudh sehingga harta yang dibagikan habis, padahal di antara mereka ada yang belum menerima bagian.
Misalnya bagian seorang suami yang semestinya mendapat setengah (1/2) dapat berubah menjadi sepertiga (1/3) dalam keadaan tertentu, seperti bila pokok masalahnya dinaikkan dari semula enam (6) menjadi sembilan (9). Maka dalam hal ini seorang suami yang semestinya mendapat bagian 3/6 (setengah) hanya memperoleh 3/9 (sepertiga). Begitu pula halnya dengan ashhabul furudh yang lain, bagian mereka dapat berkurang manakala pokok masalahnya naik atau bertambah.
2) Pokok Masalah yang Dapat dan Tidak Dapat Di-'aul- kan
Pokok masalah yang ada di dalam ilmu faraid ada tujuh. Tiga di antaranya dapat di-'aul-kan, sedangkan yang empat tidak dapat.
Ketiga pokok masalah yang dapat di-'aul-kan adalah enam (6), dua belas (12), dan dua puluh empat (24). Sedangkan pokok masalah yang tidak dapat di-'aul-kan ada empat, yaitu dua (2), tiga (3), empat (4), dan delapan
(8).
Sebagai contoh pokok yang dapat di-'aul-kan: seseorang wafat dan meninggalkan suami serta seorang saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya sebagai berikut: pokok masalahnya dari dua (2). Bagian suami setengah berarti satu (1), dan bagian saudara kandung perempuan
55
setengah, berarti mendapat bagian satu (1). Maka dalam masalah ini tidak menggunakan 'aul.
Sebagaimana telah saya sebutkan sebelumnya, angka-angkapokok masalah yang dapat di-'aul-kan ialah angka enam (6), dua belas (12), dan dua puluh empat (24). Namun, ketiga pokok masalah itu masing- masing berbeda dan mempunyai sifat tersendiri. Sebagai misal, angka enam (6) hanya dapat di-'aul-kan hingga angka sepuluh (10), yakni dapat naik menjadi tujuh, delapan, sembilan, atau sepuluh. Lebih dari angka itu tidak bisa. Berarti pokok masalah enam (6) hanya dapat dinaikkan empat kali saja.
Kemudian pokok masalah dua belas (12) hanya dapat dinaikkan hingga tujuh belas (17), namun hanya untuk angka ganjilnya. Lebih jelasnya, pokok masalah dua belas (12) hanya dapat dinaikkan ke tiga belas (13), lima belas (15), atau tujuh belas (17). Lebih dari itu tidak bisa. Maka angka dua belas (12) hanya dapat di-'aul-kan tiga kali saja.
Sedangkan pokok masalah dua puluh empat (24) hanya dapat di-'aul-kankepada dua puluh tujuh (27) saja, dan itu pun hanya pada satu masalah faraid yang memang masyhur di kalangan ulama faraid dengan sebutan "masalah al-mimbariyyah".
3) Definisi ar-Radd
Ar-radd dalam bahasa Arab berarti 'kembali/kembalikan' atau juga bermakna 'berpaling/palingkan'. Seperti terdapat dalam firman Allah berikut:
"Musa berkata: 'Itulah (tempat) yang kita cari.' Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. " (al-Kahfi: 64)
"Dan Allah menghalau orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereka penuh kejengkelan ..." (al-Ahzab: 25)
Dalam sebuah doa disebutkan "Allahumma radda kaidahum 'annii" (Ya Allah, palingkanlah/halaulah tipu daya mereka terhadapku).
56
Adapun ar-radd menurut istilah ulama ilmu faraid ialah berkurangnya pokok masalah dan bertambahnya/lebihnya jumlah bagian ashhabul furudh. Ar-radd merupakan kebalikan dari al-'aul.
Sebagai misal, dalam suatu keadaan (dalam pembagian hak waris) para ashhabul furudh telah menerima haknya masing-masing,tetapi ternyata harta warisan itu masih tersisa --sementara itu tidak ada sosok kerabat lain sebagai 'ashabah-- maka sisa harta waris itu diberikan atau dikembalikan lagi kepada para ashhabul furudh sesuai dengan bagian mereka masing-masing.
4) Syarat-syarat ar-Radd
Ar-radd tidak akan terjadi dalam suatu keadaan, kecuali bila terwujud tiga syarat seperti di bawah ini:
1)adanya ashhabul furudh
2)tidak adanya 'ashabah
3)ada sisa harta waris.
5)Ahli Waris yang Berhak Mendapat ar-Radd
Ar-radd dapat terjadi dan melibatkan semua ashhabul furudh, kecuali suami dan istri. Artinya, suami atau istri bagaimanapun keadaannya tidak mendapat bagian tambahan dari sisa harta waris yang ada.
Adapun ashhabul furudh yang dapat menerima ar-radd hanya ada delapan orang:
1)anak perempuan
2)cucu perempuan keturunan anak laki-laki
3)saudara kandung perempuan
4)saudara perempuan seayah
5)ibu kandung
6)nenek sahih (ibu dari bapak)
7)saudara perempuan seibu
8)saudara laki-laki seibu
57
6) Ahli Waris yang Tidak Mendapat ar-Radd
Adapun ahli waris dari ashhabul furudh yang tidak bisa mendapatkan ar-radd hanyalah suami dan istri. Hal ini disebabkan kekerabatan keduanya bukanlah karena nasab, akan tetapi karena kekerabatan sababiyah (karena sebab), yaitu adanya ikatan tali pernikahan. Dan kekerabatan ini akan putus karena kematian, maka dari itu mereka (suami dan istri) tidak berhak mendapatkan ar-radd. Mereka hanya mendapat bagian sesuai bagian yang menjadi hak masing-masing.Maka apabila dalam suatu keadaan pembagian waris terdapat kelebihan atau sisa dari harta waris, suami atau istri tidak mendapatkan bagian sebagai tambahan.
F. Hak Waris Banci Dan Wanita Hamil
1) Definisi Banci
Pengertian al-khuntsa (banci) dalam bahasa Arab diambil dari kata khanatsa berarti 'lunak' atau 'melunak'. Misalnya, khanatsa wa takhannatsa, yang berarti apabila ucapan atau cara jalan seorang laki-lakimenyerupai wanita: lembut dan melenggak-lenggok. Karenanya dalam hadits sahih dikisahkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
"Allah SWT melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki."
Adapun makna khanatsa menurut para fuqaha adalah orang yang mempunyai alat kelamin laki-laki dan kelamin wanita (hermaphrodit), atau bahkan tidak mempunyai alat kelamin sama sekali.
2) Perbedaan Ulama Mengenai Hak Waris Banci
Ada tiga pendapat yang masyhur di kalangan ulama mengenai pemberian hak waris kepada banci musykil ini:
a.Mazhab Hanafi berpendapat bahwa hak waris banci adalah yang paling (lebih) sedikit bagiannya di antara keadaannya sebagailaki-laki atau wanita. Dan ini merupakan salah satu pendapat Imam Syafi'i serta pendapat mayoritas sahabat.
58
b.Mazhab Maliki berpendapat, pemberian hak waris kepada para banci hendaklah tengah-tengah di antara kedua bagiannya. Maksudnya, mula-mula permasalahannya dibuat dalam dua keadaan, kemudian disatukan dan dibagi menjadi dua, maka hasilnya menjadi hak/bagian banci.
c.Mazhab Syafi'i berpendapat, bagian setiap ahli waris dan banci diberikan dalam jumlah yang paling sedikit. Karena pembagian seperti ini lebih meyakinkan bagi tiap-tiap ahli waris. Sedangkan sisanya (dari harta waris yang ada) untuk sementara tidak dibagikan kepada masing- masing ahli waris hingga telah nyata keadaan yang semestinya. Inilah pendapat yang dianggap paling rajih (kuat) di kalangan mazhab Syafi'i.
3) Hukum Banci dan Cara Pembagian Warisnya
Untuk banci --menurut pendapat yang paling rajih-- hak waris yang diberikan kepadanya hendaklah yang paling sedikit di antara dua keadaannya --keadaan bila ia sebagai laki-laki dan sebagai wanita. Kemudian untuk sementara sisa harta waris yang menjadi haknya dibekukan sampai statusnya menjadi jelas, atau sampai ada kesepakatan tertentu di antara ahli waris, atau sampai banci itu meninggal hingga bagiannya berpindah kepada ahli warisnya.
Makna pemberian hak banci dengan bagian paling sedikit menurut kalangan fuqaha mawarits mu'amalah bil adhar-- yaitu jika banci dinilai sebagai wanita bagiannya lebih sedikit, maka hak waris yang diberikan kepadanya adalah hak waris wanita; dan bila dinilai sebagai laki- laki dan bagiannya ternyata lebih sedikit, maka divonis sebagai laki-laki. Bahkan, bila ternyata dalam keadaan di antara kedua status harus ditiadakan haknya, maka diputuskan bahwa banci tidak mendapatkan hak waris.
Bahkan dalam mazhab Imam Syafi'i, bila dalam suatu keadaan salah seorang dari ahli waris gugur haknya dikarenakan adanya banci dalam salah satu dari dua status (yakni sebagai laki-laki atau wanita), maka gugurlah hak warisnya.
59
4) Definisi Hamil
Al-hamlu (hamil) dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata hamalat. Dikatakan: "al-mar'atu haamil ma haamilatun idsaa kaanat hublaa" (wanita itu hamil apabila ia sedang mengandung janin).
Allah berfirman dalam Al-Qur'an:
"Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu-bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula) ..." (al-Ahqaf: 15)
5) Syarat Hak Waris Janin dalam Kandungan
Janin dalam kandungan berhak menerima waris dengan memenuhi dua persyaratan:
a.Janin tersebut diketahui secara pasti keberadaannya dalam kandungan ibunya ketika pewaris wafat.
b.Bayi dalam keadaan hidup ketika keluar dari perut ibunya, sehingga dapat dipastikan sebagai anak yang berhak mendapat warisan.
Syarat pertama dapat terwujud dengan kelahiran bayi dalam keadaan hidup. Dan keluarnya bayi dari dalam kandungan maksimal dua tahun sejak kematian pewaris, jika bayi yang ada dalam kandungan itu anak pewaris. Hal ini berdasarkan pernyataan Aisyah r.a.:
"Tidaklah janin akan menetap dalam rahim ibunya melebihi dari dua tahun sekalipun berada dalam falkah mighzal."
Adapun mazhab Syafi'i dan Maliki berpendapat bahwa masa janin dalam kandungan maksimal empat tahun. Pendapat inilah yang paling akurat dalam mazhab Imam Ahmad, seperti yang disinyalir para ulama mazhab Hambali.
Adapun menurut mazhab Syafi'i dan Hambali, bayi yang baru keluar dari dalam rahim ibunya dinyatakan hidup bila melakukan gerakan yang lama hingga cukup menunjukkan adanya kehidupan. Bila gerakan itu hanya sejenak --seperti gerakan hewan yang dipotong-- maka tidak
60
dinyatakan sebagai bayi yang hidup. Dengan demikian, ia tidak berhak mewarisi. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.:
"Apabila bayi yang baru keluar dari rahim ibunya menangis (kemudian mati), maka hendaklah dishalati dan berhak mendapatkan warisan." (HR Nasa'i dan Tirmidzi)
Namun, apabila bayi yang keluar dari rahim ibunya dalam keadaan mati, atau ketika keluar separo badannya hidup tetapi kemudian mati, atau ketika keluar dalam keadaan hidup tetapi tidak stabil, maka tidak berhak mendapatkan waris, dan ia dianggap tidak ada.
6) Keadaan Janin
Ada lima keadaan bagi janin dalam kaitannya dengan hak mewarisi. Kelima keadaan tersebut:
a.Bukan sebagai ahli waris dalam keadaan apa pun, baik janin tersebut berkelamin laki-laki ataupun perempuan.
b.Sebagai ahli waris dalam keadaan memiliki kelamin (laki-laki atau perempuan), dan bukan sebagai ahli waris dalam keadaan berkelamin ganda (banci).
c.Sebagai ahli waris dalam segala keadaannya baik sebagai laki-lakimaupun perempuan.
d.Sebagai ahli waris yang tidak berbeda hak warisnya, baik sebagai laki- laki ataupun perempuan.
e.Sebagai ahli waris tunggal, atau ada ahli waris lain namun ia majhub (terhalang) hak warisnya karena adanya janin.
G.Hak Waris Orang Yang Hilang, Tenggelam dan Tertimbun
1) Definisi
Al-mafqud dalam bahasa Arab secara harfiah bermakna 'hilang'. Dikatakan faqadtu asy-syai'a idzaa adha'tuhu (saya kehilangan bila tidak mengetahui di mana sesuatu itu berada). Kita juga bisa simak firman Allah SWT berikut:
61
"Penyeru-penyeru itu berkata: 'Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya." (Yusuf: 72)
Sedangkan menurut istilah para fuqaha, al-mafqud berarti orang yang hilang, terputus beritanya, dan tidak diketahui rimbanya, apakah dia masih hidup atau sudah mati.
2) Hukum Orang yang Hilang
Para fuqaha telah menetapkan beberapa hukum yang berkenaan dengan orang yang hilang/menghilang, di antaranya: istrinya tidak boleh dinikahi/dinikahkan, hartanya tidak boleh diwariskan, dan hak kepemilikannya tidak boleh diusik, sampai benar-benar diketahui keadaannya dan jelas apakah ia masih hidup atau sudah mati. Atau telah berlalu selama waktu tertentu dan diperkirakan secara umum -- telah mati, dan hakim pun telah memvonisnya sebagai orang yang dianggap telah mati.
Kadang-kadang bisa juga ditetapkan sebagai orang yang masih hidup berdasarkan asalnya, hingga benar-benar tampak dugaan yang sebaliknya (yakni benar-benar sudah mati). Yang demikian itu berdasarkan ucapan Ali bin Abi Thalib r.a. tentang wanita yang suaminya hilang dan tidak diketahui rimbanya. Ali berkata: "Dia adalah seorang istri yang tengah diuji, maka hendaknya dia bersabar, dan tidak halal untuk dinikahi hingga ia mendapatkan berita yang meyakinkan akan kematian suaminya."
3) Batas Waktu untuk Menentukan bahwa Seseorang Hilang atau Mati
Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam masalah ini terutama para ulama dari mazhab yang empat.
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa orang yang hilang dan tidak dikenal rimbanya dapat dinyatakan sebagai orang yang sudah mati dengan melihat orang yang sebaya di wilayahnya --tempat dia tinggal. Apabila orang-orang yang sebaya dengannya sudah tidak ada, maka ia dapat diputuskan sebagai orang yang sudah meninggal. Dalam riwayat lain, dari
62
Abu Hanifah, menyatakan bahwa batasnya adalah sembilan pulah tahun (90).
Sedangkan mazhab Maliki berpendapat bahwa batasnya adalah tujuh puluh tahun (70). Hal ini didasarkan pada lafazh hadits secara umum yang menyatakan bahwa umur umat Muhammad saw. antara enam puluh hingga tujuh puluh tahun.
Dalam riwayat lain, dari Imam Malik, disebutkan bahwa istri dari orang yang hilang di wilayah Islam --hingga tidak dikenal rimbanya- - dibolehkan mengajukan gugatan kepada hakim guna mencari tahu kemungkinan-kemungkinan dan dugaan yang dapat mengenali keberadaannya atau mendapatkan informasi secara jelas melalui sarana dan prasarana yang ada. Apabila langkah tersebut mengalami jalan buntu, maka sang hakim memberikan batas bagi istrinya selama empat puluh tahun untuk menunggu. Bila masa empat puluh tahun telah usai dan yang hilang belum juga diketemukan atau dikenali rimbanya, maka mulailah ia untuk menghitung idahnya sebagaimana lazimaya istri yang ditinggal mati suaminya, yaitu empat bulan sepuluh hari. Bila usai masa idahuya, maka ia diperbolehkan untuk menikah lagi.
Sedangkan dalam mazhab Syafi'i dinyatakan bahwa batas waktu orang yang hilang adalah sembilan puluh tahun, yakni dengan melihat umur orang-orang yang sebaya di wilayahnya. Namun, pendapat yang paling sahih menurut anggapan Imam Syafi'i ialah bahwa batas waktu tersebut tidak dapat ditentukan atau dipastikan. Akan tetapi, cukup dengan apa yang dianggap dan dilihat oleh hakim, kemudian divonisnya sebagai orang yang telah mati. Karena menurut Imam Syafi'i, seorang hakim hendaknya berijtihad kemudian memvonis bahwa orang yang hilang dan tidak lagi dikenal rimbanya sebagai orang yang sudah mati, sesudah berlalunya waktu tertentu --kebanyakan orang tidak hidup melebihi waktu tersebut.
Sementara itu, mazhab Hambali berpendapat bahwa bila orang yang hilang itu dalam keadaan yang dimungkinkan kematiannya seperti
63
jika terjadi peperangan, atau menjadi salah seorang penumpang kapal yang tenggelam-- maka hendaknya dicari kejelasannya selama empat tahun. Apabila setelah empat tahun belum juga diketemukan atau belum diketahui beritanya, maka hartanya boleh dibagikan kepada ahli warisnya. Demikian juga istrinya, ia dapat menempuh masa idahnya, dan ia boleh menikah lagi setelah masa idah yang dijalaninya selesai.
Namun, apabila hilangnya orang itu bukan dalam kemungkinan meninggal, seperti pergi untuk berniaga, melancong, atau untuk menuntut ilmu, maka Imam Ahmad dalam hal ini memiliki dua pendapat. Pertama, menunggu sampai diperkirakan umurnya mencapai sembilan puluh tahun Sebab sebagian besar umur manusia tidak mencapai atau tidak melebihi sembilan puluh tahun. Kedua, menyerahkan seluruhnya kepada ijtihad hakim. Kapan saja hakim memvonisnya, maka itulah yang berlaku.
4) Hak Waris Orang Hilang
Apabila seseorang wafat dan mempunyai ahli waris, dan di antara ahli warisnya ada yang hilang tidak dikenal rimbanya, maka cara pemberian hak warisnya ada dua keadaan:
a.Ahli waris yang hilang sebagai hajib hirman bagi ahli waris yang lain.
b.Bukan sebagai hajib (penghalang) bagi ahli waris yang ada, tetapi bahkan sama berhak mendapat waris sesuai dengan bagian atau fardh-
nya (yakni termasuk ashhabul fardh)
Pada keadaan pertama: seluruh harta warisan peninggalan pewaris dibekukan --tidak diberikan kepada ahli waris-- untuk sementara hingga ahli waris yang hilang muncul atau diketahui tempatnya. Bila ahli waris yang hilang ternyata masih hidup, maka dialah yang berhak untuk menerima atau mengambil seluruh harta warisnya. Namun, bila ternyata hakim telah memvonisnya sebagai orang yang telah mati, maka harta waris tadi dibagikan kepada seluruh ahli waris yang ada dan masing-masing mendapatkan sesuai dengan bagian atau fardh-nya.
Sedangkan pada keadaan kedua, ahli waris yang ada berhak untuk menerima bagian yang paling sedikit di antara dua keadaan orang
64
yang hilang (sebagai ahli waris yang hidup atau yang mati, atau mirip dengan pembagian hak waris banci). Maksudnya, bila ahli waris yang ada --siapa saja di antara mereka-- yang dalam dua keadaan orang yang hilang tadi sama bagian hak warisnya, hendaknya ia diberi hak waris secara sempurna (tanpa dikurangi atau dilebihkan, atau tanpa ada yang dibekukan). Namun, bagi ahli waris yang berbeda bagian hak warisnya di antara dua keadaan ahli waris yang hilang tadi (yakni keadaan hidup dan matinya), maka mereka diberi lebih sedikit di antara kedua keadaan tadi. Namun, bagi siapa saja yang tidak berhak untuk mendapatkan waris dalam dua keadaan orang yang hilang, dengan sendirinya tidak berhak untuk mendapatkan harta waris sedikit pun.
5) Hak Waris Orang yang Tenggelam dan Tertimbun
Kaidah yang berlaku dalam pembagian hak waris orang yang tenggelam dan tertimbun yaitu dengan menentukan mana di antara mereka yang lebih dahulu meninggal. Apabila hal ini telah diketahui dengan pasti, pembagian waris lebih mudah dilaksanakan, yakni dengan memberikan hak waris kepada orang yang meninggal kemudian. Setelah orang kedua (yang meninggal kemudian) meninggal, maka kepemilikan harta waris tadi berpindah kepada ahli warisnya yang berhak. Begitulah seterusnya.
Sedangkan jika keduanya sama-sama tenggelam atau terbakar secara bersamaan kemudian mati tanpa diketahui mana yang lebih dahulu meninggal, maka tidak ada hak waris di antara keduanya atau mereka tidak saling mewarisi. Hal ini sesuai dengan kaidah yang telah ditetapkan oleh ulama faraidh yang menyebutkan: "Tidak ada hak saling mewarisi bagi kedua saudara yang mati karena tenggelam secara bersamaan, dan tidak pula bagi kedua saudara yang mati karena tertimbun reruntuhan, serta yang meninggal seketika karena kecelakaan dan bencana lainnya."
Hal demikian, menurut para ulama, disebabkan tidak terpenuhinya salah satu persyaratan dalam mendapatkan hak waris. Maka seluruh harta peninggalan yang ada segera dibagikan kepada ahli waris dari kerabat yang masih hidup.
65


BAB III
Penutup
A. Kesimpulan
Harta warisan adalah harta yang dalam istilah fara’id dinamakan
Tirkah (peninggalan) merupakan sesuatu atau harta kekayaan oleh yang meninggal, baik berupa uang atau materi lainya yang dibenarkan oleh syariat islam untuk diwariskan kepada ahli warisnya.dan dalam pelaksanaanya atau apa-apa yang yang ditinggalkan oleh yang meninggal harus diartikan sedemikian luas sehingga mencakup hal-hal yang ada pada bagianya. Kebendaan dan sifat-sifatnya yang mempunyai nilai kebendaan. hak-hakkebendaan dan hak-hak yang bukan kebendaan dan benda-benda yang bersangkutan dengan hak orang lain.
Pentingnya pembagian warisan untuk orang-orang yang ditinggalkan dengan seadil-adilnya sudah diatur dalam Islam, mencegah terjadinya konflik antar ahli waris dan menghindari perpecahan ukhuwah persaudaraan antar sesama keluarga yang masih hidup. Pembagian tersebut sudah di atur dalam al-quran dan al hadist Namun ada beberapa ketentuan yang di sepakati dengan ijma’ dengan seadil-adilnya.
66
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Abdul Gani. (1994). Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Gema Insani Press.
Wicaksono, F. Satrio. (2011). Hukum Waris (Cara Mudah Dan Tepat Membagi Harta Waris). Jakarta: Tranmedia Pustaka.
Fuad, Mansun (2004). Hukum Islam Indonesia. Yogyakarta: LkiS Yogyakarta.
A Karim, Muchith (2010). Pelaksanaan Hukum Waris Di Kalangan Umat Islam Indonesia. Jakarta: Maloho Jaya Abadi Press.
Khalifah, Muhammad Thaha Abul Ela (2007). Pembagian Warisan Berdasarkan Syariat Islam. Solo: Tiga Serangkai.
Sabiq, As-Sayyid. (1988). Faroidh. Bandung: Ama’arif.
Sarwat, Ahmad. Fiqih Mawaris. DU Center
iii


0 Response to "Hukum Kewarisan Islam dan Penawarnya"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel