Hukum Kewarisan Islam dan Penawarnya
Thursday, February 7, 2019
Add Comment
KATA PENGANTAR
Puji Syukur saya panjatkan kepada Allah SWT
Tuhan yang Maha Esa, karena atas berkah dan rahmat-Nya, saya bisa
menyelaikan karya ilmiah ini. Penulisan karya ilmiah ini bertujuan untuh
memenuhi salah satu tugas kuliah, yaitu mata kuliah Hukum Kewarisan Islam.
Karya ilmiah ini saya sadari sangat jauh dari sempurna. Tanpa bantuan dari
banyak pihak, tentunya penulisan karya ilmiah ini yang menyita banyak energi
biaya dan waktu akan sulit terselesaikan. Oleh karena itu saya ingin mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang namanya tidak bisa saya sebutkan satu per
satu atas bantuannya dalam mengerjakan karya ilmiah ini.
Akhir kata, saya mohom maaf yang sebesar-besarnya, jika
selama penulisan karya ilmiah ini ada salah kata atau perbuatan yang menyinggng
semua pihak. Saya berharap Allah SWT membalas semua kebaikan para pihak yang
telah membantu. Semoga karya ilmiah ini membawa manfaat bagi ilmu pengetahuan.
Amin.
Pontianak, 20 November 2014
Penulis
i
|
DAFTAR
ISI
|
|
Kata
Pengantar
|
i
|
|
Daftar
isi
|
ii
|
|
BAB
I Pendahuluan
|
1
|
|
A.
Latar Belakang
|
1
|
|
B.
Rumusan Masalah
|
3
|
|
C.
Tujuan
|
3
|
|
BAB
II Pembahasan
|
4
|
|
A.
Pengertian
|
4
|
|
B.
Sumber Hukum Kewarisan Islam
|
5
|
|
C.
Rukun, Syarat, Dan Azas – Azas
Hukum Kewarisan
|
11
|
|
D.
Sebab Dan Penghalang Kewarisan
|
21
|
|
E.
Derajat Ahli Waris
|
28
|
|
F.
Ahli Waris dan Penggolongannya
|
30
|
|
G.
Pembagian waris
|
43
|
|
H.
Ashabah
|
50
|
|
I.
|
Penghitungan
dan Pentashihan
|
52
|
J.
|
Aul
dan Radd
|
55
|
K.
Hak Waris Banci dan Wanita Hamil
|
58
|
|
L.
Hak Waris Orang Yang Hilang, Tenggelam dan Tertimbun
|
61
|
|
BAB
III Penutup
|
66
|
|
Daftar
Pustaka
|
iii
|
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum waris Islam merupakan ekspresi penting hukum keluarga Islam,
ia merupakan separuh pengetahuan yang dimiliki manusia sebagaimana ditegaskan
Nabi Muhammad SAW. Mengkaji dan mempelajari hukum waris Islam berarti mengkaji
separuh pengetahuan yang dimiliki manusia yang telah dan terus hidup
di tengah-tengah masyarakat muslim sejak masa awal Islam hingga abad
pertengahan, zaman modern dan kontemporer serta di masa yang akan datang.
Sejak sejarah awalnya (origin) hingga
pembentukan dan pembaharuannya (change and development) di masa
kontemporer hukum waris Islam menunjukkan dinamika dan perkembangannya yang
penting untuk dikaji dan diteliti oleh para pemerhati hukum Islam. Bukan suatu
hal yang kebetulan jika ternyata telah banyak pemerhati yang menulis dan
mengkaji perkembangan hukum waris Islam dari berbagai aspeknya. Kontak Islam
dengan berbagai agama yang ada pada masa awal Islam hingga zaman kontemporer
juga telah ikut mewarnai hubungan Islam dan non-Islam (baca: muslim
dan non muslim). Bahkan juga mewarnai hukum Islam dalam relasinya dengan non
muslim, termasuk di dalamnya hukum waris Islam.
Kewarisan beda agama merupakan salah satu dari
persoalan kontemporer‟ dalam pemikiran hukum Islam kontemporer. Di satu sisi nas al-
Qur an tidak menjelaskan tentang bagian ahli waris untuk non muslim sedangkan
hadits tidak memberikan sedikitpun bagian harta bagi ahli waris non muslim,
namun di sisi lain tuntutan keadaan dan kondisi menghendaki hal yang
sebaliknya. Dialektika antara hukum dan tuntutan perkembangan zaman tersebut
jelas menjadi problem besar bagi hukum kewarisan Islam.
Problematika kewarisan beda agama mencuat ketika
relasi muslim dan non muslim kembali didiskusikan dan diwacanakan oleh berbagai
1. kalangan. Bahkan hal tersebut telah menjadi perhatian para pemikir
Islam sejak awal pembentukannya hingga zaman kontemporer. Hanya saja tuntutan
zaman kontemporer yang didalamnya terdapat isu hubungan antar agama dan hak
asasi manusia memaksa kembali untuk mendiskusikan kewarisan beda agama dalam
perspektif hukum Islam.
Perubahan dan pembaharuan hukum waris Islam
telah terjadi secara nyata dalam sejarah pemikiran hukum Islam, untuk menyebut
contoh apa yang terjadi dalam perumusan hukum waris Islam di Indonesia dengan
konsep ahli waris pengganti telah merubah dan memperbarui hukum waris Islam di
Indonesia.
Sejarah juga menunjukkan bahwa pada sepanjang
sejarah hukum Islam pemikiran hukum waris Islam tidaklah berhenti, walaupun ada
yang beranggapan bahwa pintu ijtihad telah tertutup namun sesungguhnya
pemikiran hukum Islam tetap dilakukan setidaknya oleh dua golongan penegak
syariat Islam yaitu qadi/hakim dan mufti. Hakim melakukan pemikiran
hukum Islam dengan jalan melaksanakan hukum melalui putusan pengadilan, sedangkan
mufti melalui fatwa-fatwa hukum.
Hakim sebagai penegak hukum mempunyai posisi
sentral dalam penerapan hukum. Hakim tidak hanya dituntut agar dapat berlaku
adil tetapi ia juga harus mampu menafsirkan undang-undang secara
aktual sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan yang terjadi
di tengah-tengah kehidupan masyarakat pencari keadilan dengan tetap
mempertimbangan aspek keadilan, kepastian hukum dan nilai kemanfaatannya.
Melalui putusan-putusannyaseorang hakim tidak hannya menerapkan hukum yang
ada dalam teks undang- undang (hakim sebagai
corong undang-undang) tetapi sesugguhnya ia juga
melakukan pembaharuan-pembaharuan hukum ketika dihadapkan
pada masalah-masalah yang diajukan kepadanya dan belum diatur dalam
undang- undang ataupun telah ada aturan tetapi dipandang tidak relevan dengan
keadaan dan kondisi yang ada (hakim menciptakan hukum baru/jadge made law).
Hakim di lingkungan peradilan agama di Indonesia
sebagai salah satu penegak hukum Islam ternyata juga telah melaksanakan fungsi
menetapkan
2. putusan terhadap perkara-perkara yang diajukan kepadanya
dengan terlebih dahulu mengemukakan pertimbangan-pertimbangan hukum
pada putusannya tersebut. Dan melalui putusan tersebut tidak dapat disangkal
bahwa ia telah turut berperan dalam pemikiran hukum Islam terlebih lagi ketika
putusannya tersebut mengandung pembaharuan terhadap pemikiran hukum Islam.
Adanya perbedaan antara putusan Hakim Mahkamah
Agung Republik Indonesia tentang bagian harta bagi ahli waris non muslim dan
status ahli waris non muslim dengan fiqh di atas, jelas menimbulkan pertanyaan
mendasar tentang bagaimana dan mengapa putusan tersebut lahir, bukankah putusan
tersebut tidak sejalan dengan fiqih dan bahkan tidak sejalan dengan kompilasi
hukum Islam yang juga tidak memberikan bagian harta sedikitpun bagi ahli waris
non muslim dan tidak memberikan status ahli waris dari pewaris muslim bagi ahli
waris non muslim.
B. Rumusan Masalah
Adapun Rumusan Masalah yang akan dibahas dalam
makalah ini yaitu sebagai berikut :
1.Mencari dan memahami
pegertian ilmu waris dan hal yang berkaitan dengannya dari berbagai sumber dan
pendapat.
2.Mencari dan memahami
berbagai macam ilmu waris yang ada di Indonesia dan juga cara pelaksanaannya.
3.Mencari sumber ilmu hukum waris baik yang
berasal dari Al-Qur’anmaupun UU yang ada di
indonesia.
4.Mengetahui cara
pelaksanaan ilmu hukum waris di indonesia dengan agama dan suku yang beragam.
C.Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu :
1.Sebagai salah satu tugas Mata Kuliah Hukum Kewarisan Islam.
2.Dengan menulis makalah
ini penulis dapat lebih memahami Ilmu Hukum Waris yang ada di Indonesia.
3.Dan yang terakhir, semoga makalah ini bermanfaat bagi teman
mahasiswa.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengetian
Dalam beberapa literatur Hukum Islam ditemui
beberapa istilah untuk menamakan Hukum Waris Islam, seperti fiqh mawaris, ilmu
faraidh dan hukum kewarisan. Perbedaan dalam penamaan ini terjadi karena
perbedaan arah yang dijadikan titik utama dalam pembahasan.
Pengertian Hukum Waris Menurut Islam adalah
suatu disiplin ilmu yang membahas tentang harta peninggalan, tentang bagaimana
proses pemindahan, siapa saja yang berhak menerima bagian harta warisan /
peninggalan itu serta berapa masing-masing bagian harta waris menurut
hukum waris islam.
Prof. T.M. Hasby As-Shid dalam bukunya
hukum islam yang berjudul fiqh mawaris (Hukum Waris Islam) telah memberikan
pemahaman tentang pengertian hukum waris menurut islam ialah:
"Ilmu yang dengan dia dapat
diketahui orang-orang yang menjadi ahli waris dalam islam, orang yang
tidak dapat mewarisi harta warisan menurut islam, kadar yang diterima
oleh masing-masing ahli waris dalam islam serta cara
pengambilannya"
Hukum Waris
Islam kadang-kadang disebut juga dengan istilah Al- Faraidh bentuk
jamak dari kata fardh, yang artinya kewajiban dan atau bagian tertentu. Apabila
dihubungkan dngan ilmu, menjadi ilmu faraidh, maksudnya ialah ilmu untuk
mengetahui cara membagi harta waris orang yang telah meninggal dunia kepada
yang berhak menerimanya menurut hukum islam. Di dalam ketentuan Hukum Waris
Menurut Islam yang terdapat dalam Al-quranlebih banyak yang ditentukan
dibandingkan yang tidak ditentukan bagiannya.
4
Dalam literatur hukum di
Indonesia digunakan pula beberapa nama keseluruhannya mengambil dari bahasa
Arab, yaitu waris, warisan, pustaka dan hukum kewarisan. Yang menggunakan nama
Hukum Waris Islam, memandang kepada orang yang berhak menerima harta waris
menurut islam, yaitu yang menjadi subjek dari hukum ini. Adapun menggunakan
nama warisan islam memandang kepada harta warisan yang menjadi objek dari hukum
ini.
Syariat Islam menetapkan aturan waris dengan
bentuk yang sangat teratur dan adil. Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan
harta bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan dengan
cara yang legal. Syariat Islam juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan
seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat
dan nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan, besar
atau kecil.
Al-Qur’an menjelaskan dan merinci secara
detail hukum-hukumyang berkaitan dengan
hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus diterima
semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai
anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas
saudara seayah atau seibu.
Oleh karena itu, Al-Qur’an merupakan
acuan utama hukum dan penentuan pembagian waris, sedangkan ketetapan
tentang kewarisan yang
diambil dari hadits
Rasulullah saw. dan ijma’ para ulama sangat sedikit. Dapat
dikatakan bahwa dalam hukum dan syariat Islam sedikit sekali
ayat Al-Qur’anyang merinci suatu hukum secara detail dan rinci, kecuali hukum
waris ini. Hal demikian disebabkan kewarisan merupakan salah satu bentuk
kepemilikan yang legal dan dibenarkan AlIah SWT. Di samping bahwa harta
merupakan tonggak penegak kehidupan baik bagi individu maupun kelompok
masyarakat.
A. Ahli Waris Dan Penggolongannya
1) Pengertian Ahli Waris
Ahli waris adalah setiap orang yang berhak atas
harta peninggalan pewaris dan berkewajiban menyelesaikan hutang – hutangnya. Hak dan kewajiban tersebut timbul setelah pewaris
meninggal dunia. Hak waris itu didasarkan pada hubungan perkawinan, hubungan
darah, dan surat wasiat, yang diatur dalam undang – undang. Tetapi legataris bukan ahli waris, walaupun ia berhak atas
harta peninggalan pewaris, karena bagiannya terbatas pada hak atas benda
tertentu tanpa kewajiban.
Dalam Pasal 833 ayat 1 KUHPdt dinyatakan bahwa
sekalian ahli waris dengan sendirinya karena hukum memperoleh hak milik atas
semua harta kekayaan orang yang meninggal dunia (pewaris). Dalam Pasal 874
KUHPdt juga dinyatakan bahwa segala harta kekayaan orang yang meninggal dunia
adalah kepunyaan sekalian ahli warisnya menurut undang – undang, sekedar terhadap itu dengan surat wasiat tidak diambil
suatu ketetapan yang sah.
Ketentuan Pasal – Pasal di atas pada dasarnya
didasari oleh asas
“le mort saisit le vif”, yang telah disebut di
atas. Yang artinya orang yang
mati berpegang pada orang yang masih hidup. Asas ini mengandung
arti bahwa setiap benda harus ada pemiliknya.
Setiap ahli waris berhak menuntut dan
memperjuangkan hak warisnya, menurut Pasal 834 B.W. seorang ahli waris berhak
untuk menuntut upaya segala apa saja yang termasuk harta peninggalan si
meninggal diserahkan padanya berdasarkan haknya sebagai ahli waris (heriditatis
petito). Hak penuntutan ini menyerupai hak penuntutan seorang pemilik suatu
benda, dan menurut maksudnya penuntutan itu harus ditujukan kepada orang yang
menguasai satu benda warisan dengan maksud untuk memilikinya. Oleh karena itu,
penuntutan tersebut tidak boleh ditujukan pada seorang yang hanya menjadi
houder saja, yaitu menguasainya benda itu berdasarkan suatu hubungan hukum
dengan si meninggal, misalnya menyewa. Penuntutan tersebut tidak dapat
ditujukan
30
kepada seorang
executeur – testamentair atau seorang
curator atas suatu harta peninggalan yang tidak diurus. Seorang ahli waris yang
menggunakan hak penuntutan tersebut, cukup dengan mengajukan dalam surat
gugatannya, bahwa ia adalah ahli waris dari si meninggal den barang yang
dimintanya kembali itu termasuk benda peninggalan.
Menurut Pasal 1066 ayat 2 KUHPdt setiap ahli
waris dapat menuntut pembagian harta warisan walaupun ada larangan untuk
melakukan itu. Jadi, harta warisan tidak mungkin dibiarkan dalam keadan tidak
terbagi kecuali jika diperjanjikan tidak diadakan pembagian, dan inipun tidak
lebih lama dari lima tahun.
Walaupu ahli waris itu berhak atas harta
warisan, dimana pada asasnya tiap orang meskipun seorang bayi yang baru lahir
adalah cakap untuk mewaris hanya oleh undang - undang telah ditetapkan ada
morang orang yang karna perbuatannya, tidak patut (onwaardig) menerima warisan.
Hal ini ditentukan dalam Pasal 838 KUHPdt yang dianggap tidak patut jadi ahli
waris, sehingga dikecualikan dari pewarisan adalah :
a)mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan
telah membunuh, atau mencoba membunuh pewaris;
b)mereka yang dengan putusan hakim dipersalahkan
karena fitnah telah mengadikan pewaris bahwa pewaris telah melakukan suatu
kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang
lebih berat;
c)mereka yang dengan kekerasan telah mencegah
pewaris membuat atau mencabut surat wasiat;
d)mereka yang telah menggelapkan, merusak, atau
memalsukan surat wasiat pewaris.
Selain itu, oleh undang - undang telah
ditetapkan bahwa ada orang – orang yang berhubungan
dengan jabatan atau pekerjaannya, maupu hubungannya dengan si meninggal, tidak
diperbolehkan menerima keuntungan dari suatu surat wasiat yang diperbuat oleh
si meninggal. Mereka ini, diantaranya adalah notaries yang membuatkan surat
wasiat itu
31
serta saksi – saksi yang menghadiri pembuatan testament itu, pendeta yang
melayani atau dokter yang merawat si meninggal selama sakitnya yang terakhir.
Bahkan pemberian waris dalam surat wasiat kepada orang –orang mungkin menjadi perantara dari orang – orang ini
(“tussenbiede komende
personen”) dapat
dibatalkan. Sebagai orang – orang perantara ini oleh undang – undang diangap anak – anak dan isteri dari
orang – orang yang tidak diperbolehkan menerima warisan dan tastement itu.
Selanjutnya dalam Pasal 912
ditetapkan alasan – alasan yang menurut pasal
838 tersebut diatas, menyebabkan seseorang tidak patut menjadi waris, berlaku
juga sebagai halangan untuk dapat menerima pemberian – pemberian dalam suatu testament, kecuali dalam pasal 912 tidak
disebutkan orang yang telah mencoba membunuh orang yang meninggalkan warisan.
Jika si meninggal ini ternyata dalam surat wasiatnya masih juga memberikan
warisan pada seorang yang telah
berbuat demikian, hal
itu dianggap sebagai suatu “pengampunan” terhadap
orang
itu.
2) Syarat – Syarat
Ahli Waris
Dalam pasal 832 KUHPdt dinyatakan bahwa menurut
undang - undang yang berhak menjadi ahli waris ialah, para keluarga sedarah,
baik sah maupun luar kawin, dan si suami atau istri yang hidup terlama. Dalam
hal, bilamana baik keluarga sedarah, maupun si yang hidup terlama di antara
suami istri, tidak ada, maka segala harta peninggalan si yang meninggal,
menjadi milik negara, yang mana berwajib akan melunasi segala hutangnya, sekedar
harga harta peniggalan mencukupi untuk itu.
Kemudian menurt Pasal 874 KUHPdt dinyatakan segala harta
peninggalan seseorang yang meninggal dunia, adalah kepunyaan sekalian ahli
warisnya menurut undang – undang, sekedar terhadap
itu dengan surat wasiat telah diambilnya suatu ketetapan yang sah.
Menurut Pasal 836 KUHPdt dinyatakan dengan
mengingat akan ketentuan dalam Pasal 2 KUHPdt, supaya dapat bertindak sebagai
waris, seorang harus telah lahir, pada saat warisan jatuh meluang. Dimana Pasal
32
2 KUHPdt menyatakan bahwa
anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah
dilahirkan, bila mana juga kepentingan si anak mengkehendakinya, namun apabila
mati suatu dilahirkan, dianggaplah ia tak pernah telah ada.
Jadi menurut pasal – pasal tersebut di atas
syarat – syarat ahli waris adalah sebagai berikut :
a.Mempunyai hak atas harta peninggalan si pewaris, yang timbul
karena
1)Hubungan darah (Pasal 832 B.W.)
2)Karena wasiat (Pasal 874 B.W.)
b.Harus sudah ada dan masih ada ketika si
pewaris meninggal dunia (Pasal 836 B.W.), dengan tetap memperhatikan ketentuan
dari pasal 2 B.W.
c.Ahli waris bukan orang yang dinyatakan tidak
patut menerima warisan atau orang yang menolak harta warisan, adapun Pasal yang
mengatur mengenai orang yang tidak patut menjadi ahli waris yaitu Pasal 838
B.W. yang telah tersebut di atas dalam sub bab sebelumnya . Jika kita tinjau
dari syarat pewarisan tersebut di atas, maka akan timbul suatu pertanyaan,
bagaimanakah jika antara dua orang yang saling mewaris
meninggal dalam waktu yang sama?
Dari ketentuan Pasal 831 B.W. dapat diketahui
jika terjadi dua orang atau lebih yang sama atau lebih yang saling mewaris itu
meninggal dalam waktu yang sama atau dalam waktu yang hampir bersamaan namun
tidak dapat dibuktikan siapa yang meninggal terlebih dahulu maka diantara
keduanya tidak saling mewaris.
3) Hak dan Kewajiban Ahli Waris
Dalam rangka untuk mengetahui hak dan kewajiban
ahli waris perlu kiranya untuk diketahui hak dan kewajiban pewaris. Hak pewaris
timbul sebelum terbukanya harta peninggalan dalam arti bahwa pewaris sebelum
meninggal dunia berhak menyatakan kehendaknya dalam sebuah testament atau
wasiat. Isi dan wasiat tersebut dapat berupa :
33
a.Erfstelling, yaitu suatu
penunjukan satu atau beberapa orang menjadi ahli waris untuk mendapatkan
sebagian atau keseluruhan harta peninggalan. Orang yang ditunjuk dinamakan
testamentair erfgenaam (ahli waris menurut wasiat).
b.Legaat, adalah pemberian hak kepada seseorang
atas dasar tastement atau wasiat yang khusus. Pemberian itu dapat berupa :
1)Hak atas satu atau beberapa benda tertentu;
2)Hak atas seluruh dari satu macam benda tertentu;
3)Hak vruchtgebruik atas sebagian / seluruh
warisan (Pasal 957 KUHpdt).
Kewajiban si pewaris adalah merupakan pembatsan
terhadap haknya ditentukan undang – undang. Ia harus
mengindahkan adanya legitieme portie, yaitu suatu bagian tertentu dari harta
peninggalan yang tidak dapat dihapuskan oleh orang yang meninggalkan warisan.
Hak ahli waris dapat diperinci sebagai berikut:
Setelah
terbuka warisan, ahli waris diberikan hak untuk menentukan sikap:
a.Menerima secara penuh (zuivere aanvaarding),
yaitu dapat dilakukan secara tegas atau secara lain. Dengan tegas yaitu jika
penerimaan tersebut dituangkan dalam suatu akte yang memuat penerimaannya
sebagai ahli waris. Secara diam – diam, jika ahli waris tersebut
melakukan perbuatan penerimaannya sebagai ahli waris dan perbuatan tersebut
harus mencerminkan perbuatan penerimaan terhadap warisan yang meluang, yaitu
dengan mengambil, menjual atau melunasi hutang
– hutang pewaris.
b.Menerima dengan reserve (hak untuk menukar)
Voorrecht van boedel beschriyving atau beneffeciare aanvaarding. Hal ini harus
dinyatakan pada Panitera Pengadilan Negeri ditempat warin terbuka. Akibat yang
terpenting dalam warisan secara beneficare ini adalah bahwa kewajiban untuk
melunasi hutang – hutang dan beban lain si
pewaris dibatasi sedemikian rupa sehingga pelunasannya dibatasi menurut
kekuatan warisan, dalam hal ini berarti si ahli waris tersebut tidak usah
34
menanggunga pembayaran
hutang dengan kekayaan sendiri, jika hutang pewaris lebuh besar dari harta
bendanya. Adapun kewajiban – kewajiban seorang ahli
waris beneficiair, ialah :
1.Melakukan pencatatan adanya harta peninggalan
dalam waktu 4 (empat) bulan setelahnya ia menyatakan kehendaknya kepada
Panitera Pengadilan Negeri, bahwa ia menerima warisan secara beneficiair.
2.Mengurus harta peninggalan sebaik – baiknya.
3.Selekas – lekasnya membereskan urusan
warisan (“Dewa Made Suartha boedel tot effenheid brengen”).
4.Apabila diminta oleh semua orang berpiutang
harus memberikan tanggungan untuk harga benda – benda yang bergerak beserta benda – benda yang tak bergerak yang tidak diserahkan kepada orang – orang berpiutang yang memegang hypothek.
5.Memberikan pertanggungan jawab kepada sekalian
penagih hutang dan orang – orang yang menerima
pemberian secara legaat. Pekerjaan ini berupa menghitung harga serta
pendapatan – pendapatan yang mungkin
akan diperoleh, jika barang – barang warisan dijual dan
sampai berapa persen piutang – piutang dan legaten itu
dapat dipenuhi.
6.Memanggil orang – orang berpiutang yang tidak terkenal,dalam surat kabar resmi.
c.Menolak warisan. Hal ini mungkin jika ternyata
jumlah harta kekayaan yang berupa kewajiban membayar hutang lebih besar dari
pada hak untuk menikmati harta peninggalan. Penolakan wajib dilakukan dengan
suatu pernyataan kepada Panitera Pengadilan Negeri setempat. Kewajiban ahli
waris, antara lain :
1.Memelihara harta keutuhan harta peninggalan
sebelum harta peninggalan dibagi.
2.Mencari cara pembagian yang sesuai dengan
ketentuan dan lain – lain.
35
3.Melunasi hutang pewaris
jika pewaris meniggalkan hutang.
4.Melaksanakan wasiat jika ada.
4)Penggolongan Ahli Waris dan Bagiannya
Ada dua macam ahli waris yang diatur dalam
undang - undang yaitu Ahli Waris berdasarkan hubungan perkawinan dan hubungan
darah, dan Ahli Waris berdasarkan surat wasiat. Ahli Waris yang pertama disebut
Ahli Waris ab intestato, sedangkan yang kedua disebut dengan Ahli Waris
testamentair.
Ahli Waris ab intestato diatur dalam pasal 832
KUHPdt, dinyatakan bahwa yang berhak menjadi Ahli Waris adalah para keluarga
sedarah dan istri (sumi) yang masiih hidup dan jika ini semua tidak ada, maka
yang berhak menjadi Ahli Waris adalah Negara. Pertanyaannya adalah siapa
sajakah yang termasuk dalam keluarga sedarah yang berhak mewaris itu?
Untuk menjawabnya kita dapat melihat dalam B.W., dimana Ahli Waris
dibedakan menjadi 4 (empat) golongan ahli waris, yaitu: Golongan I : golongan
ini terdiri dari anak dan keturunannya kebawah tanpa batas beserta janda atau
duda.
Menurut ketentuan pasal 852 KUHPdt, anak – anak walaupun dilahirkan dari perkawinan yang berlainan dan waktu
yang berlainan, laki
– laki atau perempuan mendapatkan bagian yang sama, mewaris kepala
demi kepala. Anak – anak yang mewaris sebagai
pengganti dari ayah (ibu) mewaris pancang demi pancang. Yang dimaksud dengan
pancang adalah semua anak dari seorang yang berhak mewaris, tetapi telah
meninggal terlebih dahulu.
Kemudian tetang anak adopsi, Ali Afandi, S.H.
menyatakan bahwa anak adopsi kedudukannya sejajar seperti anak yang lahir dalam
perkawinan orang yang mengadopsinya.
Menurut ketentuan pasal 852 a KUHPdt, bagian seorang istri (suami)
jika ada anak dari parkawiannya dengan orang yang meninggal sama dengan bagian
seorang anak yang meninggal. Jika perkawinan itu bukan
36
perkawinan yang pertama dan
dari perkawinan yang dahulu ada juga anak, maka baigan dari istri (suami) itu
tidak boleh lebih dari bagian terkecil dari anak – anak pewaris itu. Bagaimanapun juga seorang istri tidak boleh
lebih
dari seperempat harta
warisan. Yang dimaksud dengan “terkecil” itu
adalah bagian dari seorang anak yang dengan ketetapan surat wasiat
dapat berbeda – beda, asal tidak kurang
dari legitieme portie.
Selanjutnya dalam pasal 852 b KUHPdt, ditentukan
bahwa apabila istri (suami) mewaris bersama – sama dengan orang – orang lain dari pada anak – anak atau keturunannya dari
perkawinannya yang dulu, maka ia dapat menarik seluruh atau bagian prabot rumah
tangga dalam kekuasannya. Yang dimaksud dengan “orang – orang lain dari pada anak
– anak” itu ialah orang
– orang yang menjadi Ahli Waris karena ditetapkan dengan surat
wasiat. Harga perabot rumah tangga itu harus dikurangkan dari bagian warisan
istri (suami) itu. Jika harganya lebih basar dari pada harga bagian warisannya
maka harga kelebihan itu harus dibayar lebih dahulu pada kawan warisnya.
Golongan II : golongan ini terdiri dari ayah dan / atau ibu si
pewaris beserta saudara dan keturunannya sampai derajat ke 6 (enam). Menurut
ketentuan pasal 854 KHUPdt,apabila seorang meninggal dunia tanpa meniggalkan
keturunan maupun istri(suami), sedangkan bapak dan ibunya masih hidup, maka
yang berhak mewarisi ialah bapak, ibu, dan saudara sebagai berikut :
a.Bapak dan ibu masing - masing mendapat
sepertiga dari hrta warisan, jika yang meninggal itu hanya mempunyai seorang
saudara, yang mana mendapat sepertida lebihnya,
b.Bapak dan ibu masing – masing mendapat seperempat
dari harta
warisan, jika yang meninggal itu mempunyai lebih dari seorang
saudara, yang mana mendapat dua seperempat lebihnya.
Selanjutnya dalam pasal 855 KUHPdt ditentukan bahwa apabila orang
yang meninggal dunia itu tampa meninggalkan keturunan maupun istri (suami),
sedangkan bapak atau ibunya masih hidup, maka :
37
a.Bapak atau ibu mendapat
seperdua dari harta warisan, jika yang meninggal itu hanya mempunyai seorang
saudara, yang mana mendapat seperdua lebihnya ;
b.Bapak atau ibu mendapat sepertiga dari harta
warisan, jika yang meninggal itu mempunyai dua orang saudara yang mana mendapat
duapertiga lebihnya ;
c.Bapak atau ibu mendapat seperempat dari harta
warisan, jika yang meninggal itu mempunyai lebih dari dua orang saudara, yang
mana
mendapat tigaperempat lebihnya.
Jika bapak dan ibu telah meninggal dunia, maka
seluruh harta warisan menjadi bagian saudara – saudaranya (pasal 856 KUHPdt). Pembagian antara saudara – saudara adalah sama, jika mereka itu mempunyai bapak dan ibu yang
sama. Apabila mereka berasal dari perkawinan yang berlainan (bapak sama tetapi
lain ibu, atau ibu sama tetapi lain bapak), maka harta warisan dibagi dua.
Bagian yang pertama adalah bagin bagi garis bapak dan bagian yang kedua adalah
bagian bagi garis ibu. Saudara – saudara yang mempunyai
bapak dan ibu yang sama mendapat bagian dari bagian dari garis bapak dan garis
ibu. Saudara – saudara yang hanya sebapak
atau seibu dapat baian dari bagian garis bapak atau garis ibu saja (Pasal 857).
Apabila orang yang mennggal dunia itu tidak
meninggalkan keturunan istri atau suami, saudara, sedangkan bapak atau ibunya
masih hidup. Maka bapak atau ibunya yang masih hidup itu mewarisi seluruh
warisan anaknya yang meniggal dunia itu (pasal 859 KUHPdt).
Golongan III : golongan ini terdiri dari keluarga sedarah menurut
garis lurus ke atas.
Menurut ketentuan Pasal 853 dan Pasal 858 KUHPdt
apabila orang yang meninggal dunia itu tidak meninggalkan keturunan, maupun
istri atau suami, saudara – saudara, ataupun orang tua,
maka warisan jatuh kepada kakek dan nenek. Dalam hal ini warisan itu dibelah
menjadi dua. Satu bagian diberikan kepada kakek dan nenek yang diturunkan bapak
dan
38
satu bagian lagi diberikan
kepada kakek dan nenek yug menurunkan ibu. Apabila kakek dan nenek tidak ada,
maka warisan jatuh kepada orang tua kakek dan nenek (puyang). Apabila yang
tidak ada itu hanya kakek dan nenek, maka bagian jatuh pada garis keturunannya,
dan menjadi bagian yang masih hidup. Ahli waris yang terdekat derajatnya dalam
garis lurus ke atas, mendapat setengah warisan dalam garisnya dengan
menyampingkan semua ahli waris lainnya. Semua keluarga sedarah dalam garis
lurus keatas dalam derajat yang sama mendapat begian kepala demi kepala (bagian
yang sama).
Golongan IV : golongan ini terdiri dari keluarga
sedarah dalam garis kesamping yang lebih jauh sampai derajat ke 6 (enam).
Apabila orang yang meninggal dunia itu tidak
meninggalkan keturunan, istri atau suami, saudara – saudara, orangtua, nenek dan kakek, maka menurut ketentuan Pasal
853 dan Pasal 858 ayat 2 KUHPdt warisan jatuh pada Ahli Waris yang terdekat
pada tiap garis. Jika ada beberapa orang yang derajatnya sama, maka warisan
dibagi berdasarkan bagian yang sama.
Keluarga sedarah dalam garis menyimpang lebih
dari derajat ke 6 (enam) tidak mewarisi. Jika dalam garis yang satu tidak ada
keluarga yang sedarah dalam derajat yang mengijinkan untuk mewarisi, maka semua
keluarga sedarah dalam garis yang lain memperoleh seluruh warisan (Pasal 861
KUHPdt).
Apabila semua orang yang berhak mewarisi tidak
ada lagi, maka seluruh warisan dapat dituntut oleh anak luar kawin yang diakui.
Apabila anak luar kawin inipun juga tidak ada, maka seluruh warisan jatuh pada
Negara (Pasal 873 ayat 1 dan Pasal 832 ayat 2 KUHPdt).
Dengan berlakunya undang - undang perkawinan No.
1 Tahun 1974 maka pewarisan anak luar kawin walaupun diakui, tidak relevan
lagi. Undang - undang no. 1 tahun 1974 hanya mengenal anak sah dan anak luar
kawin (tidak sah). Anak sah adalah Ahli Waris, sedangkan anak luar kawin
39
hanya berhak mewarisi dari ibu yang melahirkannya dan keluarga
sedarah
dari
pihak ibunya.
5) Ahli Waris Yang Tidak Berhak Mewaris
Menurut ketentuan Pasal 838 KUHPdt, yang dianggap tidak
patut
menjadi Ahli Waris dan karenanya tidak berhak mewaris adalah :
1.Mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan
telah membunuh atau mencoba membunuh pewaris.
2.Mereka yang dengan putusan hakim dipersalahkan
karena dengan fitnah mengajajukan pengaduan terhadap pewaris mengenai suatu
kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara 5 (lima) tahun lamanya atau
hukuman yang lebih berat.
3.Mereka yang dengan kekerasan telah mencegah
pewaris membut atau mencabut surat wasiatnya.
4.Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan syrat
wasiat
pewaris.
Bebeda dengan KUHPdt adalah hukum waris adat.
Menurut uraian Prof. Hilman Adikusuma, S.H. (1980) seorang yang telah berdosa
terhadap pewaris apabila dosanya itu diampuni, ia tetap menerima harta warisan,
artinya masih berhak mewaris. Sedangkan menurut hukum waris Islam, orang yang
tidak berhak mewaris adalah:
1.Pembunuh pewaris, berdasarkan hadis yang
diriwayatkan oleh Ap- Tirmidzi, Ibnmajah, Abu Dawud, Am-Masaai.
2.Orang yang murtad yaitu keluar dari Agama
Islam, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bardah.
3.Orang yang berbeda agama dengan pewaris, yaitu
orang bukan menganut Agama Islam atau Kafir, berdasarkan hadis yang
diriwayatkan oleh Bukhari, Abu Dawud, Ibn Majah, At-Tirmidzi.
4.Anak zina, yaitu anak yang lahir karena
hubungan diluar nikah, berdasarkan hadis yang diriwayatkan
oleh At-Tirmidzi.
Tidak berhak mewaris terdapat juga pada ahli waris yang
menolak warisan dalam Pasal 1058 ditentukan bahwa seorang ahli
waris
40
yang menolak warisan
dianggap tidak pernah menjadi Ahli Waris. Penolakan itu berlaku surut sampai
waktu meninggalnya pewaris. Menurut Pasal 1059 KUHPdt bagian dari Ahli Waris
yang menolak itu jatuh pada ahli waris lainnya, seolah – olah ahli waris yang menolak itu tidak pernah ada. Menurut Pasal
1057 KUHPdt penolakan warisan harus dinyatakan dengan tegas dikepaniteraan
Pengadilan Negeri. Menurut Pasal 1062 KUHPdt dinyatakan pula bahwa hak untuk
menolak warisan tidak dapat gugur karena Daluarsa.
Penolakan warisan itu harus dengan suka rela
atas kemauan sendiri, apabila penolakan itu terjadi na paksaan atau penipuan,
maka menurut Pasal 1065 KUHPdt penolakan itu dapat dibatalkan (ditiadakan). Tetapi
kesukarelaan penolakan itu tidak boleh dilakukan dengan alasan tidak mau
membayar hutang. Jka terjadi demikian, menurut Pasal 1061 KUHPdt hakim dapat
memberi kuasa kepada para kreditur dari ahli waris yang menolah itu untuk atas
namanya menjadi pengganti menerima warisan.
6) Ahli Waris Pengganti
KUHPdt
membedakan antara ahli waris “uit eigen hoofed” dan ahli waris “bij
plaasvervulling”. Ahli Waris “uit eigen hoofed” adalah ahli
waris yang memperoleh warisan berdasarkan kedudukannya sendiri
terhadap pewaris,misalnya anak pewaris ,istri/suami pewaris. Ahli
waris
“bij
plaasvervulling”adalah ahli waris pengganti berhubung orang yang
berhak mewaris telah meninggal dunia lebih dahulu daripada
pewaris. Misalnya seorang ayah meniggal lebih dahulu daripada kakek, maka anak-
anak ayah yang meninggal itu menggantikan kedudukan ayahnya sebagai ahli waris
dari kakek.
Penggantian ini terjadi dalam garis kebawah dan
terjadi tanpa batas. Tiap ahli waris yang meninggal lebih dahulu digantikan
oleh anak- anaknya. Jika lebih dari satu anak sebagai penggantinya, maka
penggantian itu dihitung sebagai satu cabang, artinya semua anak yang
menggantikan itu mendapatkan bagian yang sama. Penggantian dapat juga
41
terjadi pada keluarga dalam
garis samping. Tiap saudara pewaris baik saudara kandung maupun saudara tiri,
jika meninggal lebih dahulu, digantikan oleh anaknya. Penggantian ini juga
dapat tanpa batas. Tiap penggantian dihitung sebagai satu cabang (bij staken).
Menurut ketentuan pasal 841 KUHPdt penggantian
adalah hak yang memberikan kepada seseorang untuk menggantikan seorang Ahli
Waris yang telah meninggal labih dahulu dari pada pewarisnya untuk bertindak
sebagai pengganti dalam derajat dan dalam hak orang yang digantikannya.
Pengganian ini menurut pasal 842 KUHPdt hanya terjadi dalam garis lurus ke
bawah tanpa batas, sedangkan pasal 843 KUHPdt manyatakan dalam garis lurus ke
atas tidak terdapat penggatian. Dalam hal ada penggantian, maka menurut pasal
846 KUHPdt pembagian dilakukan pancang demi pancang .
Dalam hal mengenai ada tidaknya istilah ahli
waris pengganti dalam hukum adat, dalam uraiannya Prof. Hilman Hadikusuma, S.
H. menyatakan dalam hukum adat dikenal juga ahli waris pengganti, hanya saja
penggantian tersebut tergantung pada garis kekerabatan yang dianut oleh
masyarakat yang bersangkutan (ptrilineal, matrilineal, dan parental). Dalam
hukum islam dikenal juga Ahli Waris pengganti, yang disebut
“mawali”. Yang dimaksud dengan mawali adalah
Ahli Waris yang
menggantikan seseorang untuk memperoleh bagian warisan yang
tadinya akan diperoleh orang yang digantikan itu. sebabnya ialah bahwa orang
yang digantikan itu ialah orang yang seharusnya menerima warisan kalau dia
masih hidup, tetapi dalam kasus yang bersangkutan ia telah meninggal dunia
terlebih dahulu dari pada pewaris. Mewali itu adalah keturunan anak pewaris,
keturunan saudara pewaris atau keturunan orang yang mengadakan perjanjian
mewaris dengan pewaris.
42
B.Pembagian Waris
1.Menurut Al Qur’an
Jumlah bagian yang telah
ditentukan Al-Qur'an ada enam macam, yaitu setengah (1/2), seperempat
(1/4), seperdelapan (1/8), dua per tiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam
(1/6). Kini mari kita kenali pembagiannya secara rinci, siapa saja ahli waris
yang termasuk ashhabul furudh dengan bagian yang berhak ia terima.
a. Ashhabul Furudh yang Berhak Mendapat Setengah
Ashhabul furudh yang berhak mendapatkan separo
dari harta waris peninggalan pewaris ada lima, satu dari
golongan laki-laki dan empat lainnya perempuan. Kelima ashhabul
furudh tersebut ialah suami, anak perempuan, cucu perempuan keturunan
anak laki-laki,saudara kandung perempuan, dan saudara perempuan seayah.
Rinciannya seperti berikut:
1)Seorang suami berhak untuk mendapatkan separo
harta warisan, dengan syarat apabila pewaris tidak mempunyai keturunan, baik
anak laki-laki maupun anak perempuan, baik anak keturunan itu dari
suami tersebut ataupun bukan. Dalilnya adalah firman Allah:
"... dan bagi kalian (para suami) mendapat separo dari harta
yang ditinggalkan istri-istri kalian, bila mereka (para istri) tidak
mempunyai anak ..." (an-Nisa': 12)
2)Anak perempuan (kandung) mendapat bagian
separo harta peninggalan pewaris, dengan dua syarat:
a.Pewaris tidak mempunyai
anak laki-laki (berarti anak perempuan tersebut tidak mempunyai
saudara laki-laki, penj.).
b.Apabila anak perempuan itu adalah anak
tunggal. Dalilnya adalah firman Allah: "dan apabila ia (anak perempuan)
hanya seorang, maka ia mendapat separo harta warisan yang ada". Bila kedua
persyaratan tersebut tidak ada, maka anak perempuan pewaris tidak mendapat
bagian setengah.
43
3)Cucu perempuan keturunan
anak laki-laki akan mendapat bagian separo, dengan tiga syarat:
a.Apabila ia tidak mempunyai
saudara laki-laki (yakni cucu laki- laki dari keturunan
anak laki-laki).
b.Apabila hanya seorang (yakni cucu perempuan
dari keturunan anak laki-laki tersebut sebagai cucu tunggal).
c.Apabila pewaris tidak mempunyai anak perempuan
ataupun anak laki-laki.
4)Saudara kandung perempuan akan mendapat bagian
separo harta warisan, dengan tiga syarat:
a.Ia tidak mempunyai saudara kandung laki-laki.
b.Ia hanya seorang diri (tidak mempunyai saudara perempuan).
c.Pewaris tidak mempunyai ayah atau kakek, dan
tidak pula mempunyai keturunan, baik keturunan laki-laki ataupun
keturunan perempuan.
5)Saudara perempuan seayah akan mendapat bagian
separo dari harta warisan peninggalan pewaris, dengan empat syarat:
a.Apabila ia tidak mempunyai saudara laki-laki.
b.Apabila ia hanya seorang diri.
c.Pewaris tidak mempunyai saudara kandung perempuan.
d.Pewaris tidak mempunyai ayah atau kakak, dan
tidak pula anak, baik anak laki-laki maupun perempuan.
b.Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Seperempat
Adapun kerabat pewaris yang berhak mendapat seperempat
(1/4)
dari harta peninggalannya hanya ada dua, yaitu suami dan istri.
Rinciannya sebagai berikut:
1)Seorang suami berhak mendapat bagian
seperempat (1/4) dari harta peninggalan istrinya dengan satu syarat, yaitu bila
sang istri mempunyai anak atau cucu laki-laki dari keturunan anak
laki- lakinya, baik anak atau cucu tersebut dari darah dagingnya ataupun
44
dari suami lain (sebelumnya). Hal ini berdasarkan firman Allah
berikut:
"... Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka
kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya É"
(an -Nisa': 12)
2)Seorang istri akan mendapat bagian seperempat
(1/4) dari harta peninggalan suaminya dengan satu syarat, yaitu apabila suami
tidak mempunyai anak/cucu, baik anak tersebut lahir dari rahimnya ataupun dari
rahim istri lainnya. Ketentuan ini berdasarkan firman Allah berikut:
"... Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu
tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak ..." (an-Nisa': 12)
c.Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Seperdelapan
Dari sederetan ashhabul furudh yang berhak
memperoleh bagian seperdelapan (1/8) yaitu istri. Istri, baik seorang maupun
lebih akan mendapatkan seperdelapan dari harta peninggalan suaminya, bila suami
mempunyai anak atau cucu, baik anak tersebut lahir dari rahimnya atau dari
rahim istri yang lain. Dalilnya adalah firman Allah SWT:
"... Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuh, wasiat yang kamu
buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu ..." (an- Nisa':
12)
d. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Bagian Dua per Tiga
Ahli waris yang berhak mendapat bagian dua per tiga
(2/3) dari harta peninggalan pewaris ada empat, dan semuanya terdiri dari
wanita:
1.Dua anak perempuan (kandung) atau lebih.
2.Dua orang cucu perempuan keturunan anak laki-laki atau
lebih.
3.Dua orang saudara kandung perempuan atau lebih.
4.Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih.
Ketentuan
ini terikat oleh syarat-syarat seperti berikut:
45
1)Dua anak perempuan
(kandung) atau lebih itu tidak mempunyai saudara laki-laki, yakni
anak laki-laki dari pewaris. Dalilnya firman Allah berikut:
"... dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua,
maka bagi mereka dua per tiga dari harta yang ditinggalkan
..." (an-Nisa': 11)
Ada satu hal penting yang mesti kita ketahui
agar tidak tersesat dalam memahami hukum yang ada dalam Kitabullah. Makna
"fauqa itsnataini" bukanlah 'anak perempuan lebih dari dua',
melainkan 'dua anak perempuan atau lebih', hal ini merupakan kesepakatan para
ulama. Mereka bersandar pada hadits Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari dan Imam Muslim yang mengisahkan vonis Rasulullah terhadap pengaduan
istri Sa'ad bin ar-Rabi' r.a. --sebagaimana diungkapkan
dalam bab sebelum ini.
Hadits tersebut sangat jelas dan tegas
menunjukkan bahwa makna ayat itsnataini adalah 'dua anak perempuan atau lebih'.
Jadi, orang yang berpendapat bahwa maksud ayat tersebut adalah "anak
perempuan lebih dari dua" jelas tidak benar dan menyalahi ijma' para
ulama. Wallahu a'lam.
2)Dua orang cucu perempuan dari keturunan
anak laki-laki akan mendapatkan bagian dua per tiga (2/3), dengan
persyaratan sebagai berikut:
a.Pewaris tidak mempunyai anak kandung,
baik laki-laki atau perempuan.
b.Pewaris tidak mempunyai dua orang anak kandung perempuan.
c.Dua cucu putri tersebut tidak mempunyai saudara laki-laki.
3)Dua saudara kandung perempuan (atau lebih)
akan mendapat bagian dua per tiga dengan persyaratan sebagai berikut:
a.Bila pewaris tidak mempunyai anak
(baik laki-laki maupun perempuan), juga tidak mempunyai ayah atau
kakek.
b.Dua saudara kandung perempuan (atau lebih) itu
tidak mempunyai saudara laki-laki sebagai 'ashabah.
46
c.Pewaris tidak mempunyai
anak perempuan, atau cucu perempuan dari keturunan
anak laki-laki. Dalilnya adalah firman Allah:
"... tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi
keduanya dua per tiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal
..." (an-Nisa': 176)
4)Dua saudara perempuan seayah (atau lebih) akan
mendapat bagian dua per tiga dengan syarat sebagai berikut:
a.Bila pewaris tidak mempunyai anak, ayah, atau kakek.
b.Kedua saudara perempuan seayah itu tidak
mempunyai saudara laki-laki seayah.
c.Pewaris tidak mempunyai anak perempuan atau
cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, atau saudara kandung
(baik laki-laki maupun perempuan).
e. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Bagian Sepertiga
Adapun ashhabul furudh yang berhak mendapatkan
warisan sepertiga bagian hanya dua, yaitu ibu dan dua saudara
(baik laki-lakiataupun perempuan) yang seibu.
Seorang ibu berhak mendapatkan bagian sepertiga dengan syarat:
1)Pewaris tidak mempunyai anak atau
cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki.
2)Pewaris tidak mempunyai dua orang saudara atau
lebih (laki-lakimaupun perempuan), baik saudara itu sekandung atau seayah
ataupun seibu. Dalilnya adalah firman Allah:
"... dan jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan
ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat
sepertiga..." (an-Nisa': 11)
Juga firman-Nya:
"... jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka
ibunya mendapat seperenam..." (an-Nisa': 11)
47
f. Asbhabul Furudh yang Mendapat Bagian Seperenam
Adapun asbhabul furudh yang berhak mendapat
bagian seperenam (1/6) ada tujuh orang. Mereka adalah (1) ayah, (2) kakek asli
(bapak dari ayah), (3) ibu, (4) cucu perempuan keturunan anak laki-laki,
(5) saudara perempuan seayah, (6) nenek asli, (7)
saudara laki-laki dan perempuan seibu.
2. Sistem Hukum kewarisan menurut KUH Perdata (BW).
Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata ada dua cara
untuk mendapatkan warisan, yaitu:
1)Sebagai ahli waris menurut Undang-undang.
2)Karena ditunjuk dalam surat wasiat (testament).
Cara yang pertama dinamakan mewarisi menurut Undang-undang atau “ab
intestato” dan cara yang kedua dinamakan
mewarisi secara “testamentair”.
Dalam hukum waris berlaku suatu asas, bahwa
hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan
hukum kekayaan harta benda saja yang dapat diwariskan. Dengan kata lain
hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dapat dinilai
dengan uang saja (Subekti, 1993: 95).
Bila orang yang meninggal dunia tidak membuat
testamen, maka dalam Undang-undang Hukum Perdata ditetapkan pembagian
warisan sebagai berikut:
a.Yang pertama berhak mendapat warisan yaitu
suami atau isteri dananak-anak, masing – masing berhak mendapat
bagian yang sama jumlahnya (pasal 852 BW).
b.Apabila tidak ada orang sebagaimana tersebut
di dtas, maka yang kemudian berhak mendapat warisan adalah orang tua dan
saudara dari orang tua yang meninggal dunia, dengan ketentuan bahwa orang
tua masing-masing sekurang-kurangnya mendapat seperempat dari
warisan (pasal 854 BW).
c.Apabila tidak ada orang sebagaimana tersebut
di atas, maka warisan dibagi dua, separuh untuk keluarga pihak ibu dan separuh
lagi untuk
48
pihak keluarga ayah dari
yang meninggal dunia, keluarga yang paling dekat berhak mendapat warisan.
Jika anak-anak atau saudara-saudaradari pewaris meninggal dunia
sebelum pewaris, maka tempat mereka diganti oleh keturunan yang sah (pasal 853
BW).
Menurut ketentuan pasal 838 KUH Perdata, yang dianggap tidak patut
menjadi ahli waris dan karenanya tidak berhak mewaris ialah:
a.Mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan
telah membunuh atau mencoba membunuh pewaris.
b.Mereka yang dengan putusan hakim Pengadilan
dipersalahkan karena dengan fitnah telah mengajukan pengaduan terhadap pewaris
mengenai suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara lima tahun lamanya
atau hukuman yang lebih berat.
c.Mereka yang dengan kekerasan telah mencegah
pewaris membuat atau mencabut surat wasiatnya.
d.Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau
memalsukan surat wasiat pewaris.
3.Persamaan dan perbedaan antara sistem hukum
Islam dengan sistem KUH Perdata (BW).
Sistem hukum kewarisan
menurut KUH Perdata tidak membedakan antara anak laki-laki dan anak
perempuan, antara suami dan isteri, mereka berhak semua mewaris, dan bagian
anak laki-laki sama dengan bagian anak perempuan, bagian seorang
isteri atau suami sama
dengan bagian anak.
Apabila dihubungkan dengan sistem keturunan,
maka KUH Perdata menganut system keturunan Bilateral, dimana setiap orang itu
menghubungkan dirinya dengan keturunan ayah mapun ibunya, artinya ahli waris
berhak mewaris dari ayah jika ayah meninggal dan berhak mewaris dari ibu jika
ibu meninggal, berarti ini ada persamaan dengan hukum Islam. Persamaanya
apabila dihubungkan antara sitem hukum waris menurut Islam dengan sistem
kewarisan menurut KUH Perdata, baik menurut KUH Perdata maupun menurut hukum
kewarisan Islam sama-sama menganut
49
system kewarisan
individual, artinya sejak terbukanya waris (meninggalnya pewaris) harta warisan
dapat dibagi-bagi pemilikannya antara ahli waris. Tiap ahli waris
berhak menuntut bagian warisan yang menjadi haknya. Jadi sistem kewarisan yang
dianut oleh KUH Perdata adalah sistem kewarisan individul bilateral (Subekti,
1953: 69), sedangkan perbedaannya adalah terletak pada saat pewaris meninggal
dunia, maka harta tersebut harus dikurangi dulu pengluaran-pengluaranantara
lain apakah harta tersebut sudah dikeluarkan zakatnya, kemudian dikurangi untuk
membayar hutang atau merawat jenazahnya dulu, setelah bersih, baru dibagi
kepada ahli waris, sedangkan menurut KUH Perdata tidak mengenal hal tersebut,
perbedaan selanjutnya adalah terletak pada besar dan kecilnya bagian yang
diterima para ahli waris masing-masing,yang menurut ketentuan KUH Perdata
semua bagian ahli waris adalah sama, tidak membedakan apakah anak, atau
saudara, atau ibu dan lain-lain, semua sama rata, sedangkan menurut
hukum Islam dibedakan bagian antara ahli waris yang satu dengan yang ahli waris
yang lain.
Persamaan tersebut disebabkan karena pola dan
kebutuhan masyarakat yang universal itu adalah sama, sedangkan perbedaan-
perbedaan itu disebabkan karena cara berfikir orang-orang barat
adalah abstrak, analistis dan sistematis, dan pandangan hidup mereka adalah
individulaistis dan materialistis, sedangkan hukum Islam dilatar belakangi oleh
cara berfikir yang logis, riil dan konkrit, dan pandangan hidup dalam hukum
Islam didasarkan pada sistem kekeluargaan dan bersifat rohani (magis).
C. Ashabah
Kata 'ashabab dalam bahasa Arab berarti kerabat
seseorang dari pihak bapak. Disebut demikian, dikarenakan
mereka --yakni kerabat bapak--menguatkan dan melindungi. Sedangkan
pengertian 'ashabah menurut istilah para fuqaha ialah ahli waris yang tidak
disebutkan banyaknya bagian di
dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan tegas. Pengertian
'ashabah yang sangat
50
masyhur di kalangan ulama
faraid ialah orang yang menguasai harta waris karena ia menjadi ahli waris
tunggal. Selain itu, ia juga menerima seluruh sisa harta warisan setelah
ashhabul furudh menerima dan mengambil bagian masing-masing.
1) Macam-macam 'Ashabah
'Ashabah terbagi dua yaitu: 'ashabah nasabiyah
(karena nasab) dan 'ashabah sababiyah (karena sebab). Jenis 'ashabah yang kedua
ini disebabkan memerdekakan budak. Oleh sebab itu, seorang tuan (pemilik budak)
dapat menjadi ahli waris bekas budak yang dimerdekakannya apabila budak
tersebut tidak mempunyai keturunan.
Sedangkan 'ashabah nasabiyah terbagi tiga yaitu: (1) 'ashabah bin
nafs (nasabnya tidak tercampur unsur wanita), (2) 'ashabah bil ghair (menjadi
'ashabah karena yang lain), dan (3) 'ashabah ma'al ghair (menjadi
'ashabah bersama-sama dengan yang lain).
a.'Ashabah bin nafs
1)Arah anak, mencakup
seluruh laki-laki keturunan anak laki-lakimulai cucu, cicit, dan
seterusnya.
2)Arah bapak, mencakup ayah, kakek, dan
seterusnya, yang pasti hanya dari pihak laki-laki, misalnya ayah dari
bapak, ayah dari kakak, dan seterusnya.
3)Arah saudara laki-laki, mencakup
saudara kandung laki-laki,saudara laki-laki seayah,
anak laki-laki keturunan saudara
kandung laki-laki, anak laki-laki keturunan
saudara laki-lakiseayah, dan seterusnya. Arah ini hanya terbatas pada
saudara kandung laki-laki dan yang seayah, termasuk keturunan mereka,
namun hanya yang laki-laki. Adapun saudara laki-laki yang
seibu tidak termasuk 'ashabah disebabkan mereka termasuk ashhabul furudh.
4)Arah paman, mencakup paman
(saudara laki-laki ayah) kandung maupun yang seayah, termasuk
keturunan mereka, dan seterusnya.
51
b. 'Ashabah bi Ghairihi
'Ashabah
bi ghairihi hanya terbatas pada empat orang ahli
waris yang kesemuanya wanita:
1)Anak perempuan, akan menjadi 'ashabah bila
bersamaan dengan saudara laki-lakinya (yakni anak laki-laki).
2)Cucu perempuan keturunan
anak laki-laki akan menjadi 'ashabah bila berbarengan dengan
saudara laki-lakinya, atau anak laki-lakipamannya (yakni
cucu laki-laki keturunan anak laki-laki), baik sederajat
dengannya atau bahkan lebih di bawahnya.
3)Saudara kandung perempuan akan menjadi
'ashabah bila bersama saudara kandung laki-laki.
4)Saudara perempuan seayah akan menjadi 'ashabah
bila bersamaan dengan saudara laki-lakinya, dan pembagiannya,
bagian laki-laki dua kali lipat bagian perempuan.
c.'Ashabah ma'al Ghair
'Ashabah ma'al Ghair ini khusus bagi para
saudara kandung perempuan maupun saudara perempuan seayah apabila mewarisi
bersamaan dengan anak perempuan yang tidak mempunyai
saudara laki-laki. Jadi, saudara kandung perempuan ataupun saudara
perempuan seayah bila berbarengan dengan anak perempuan --ataucucu
perempuan keturunan anak laki-laki dan seterusnya-- akan
menjadi 'ashabah. Jenis 'ashabah ini di kalangan ulama dikenal dengan istilah
'ashabah ma'al ghair.
D. Penghitungan dan Pentashihan
Mengetahui pokok masalah merupakan suatu
keharusan bagi kita yang mengkaji ilmu faraid. Hal ini agar kita dapat
mengetahui secara pasti bagian setiap ahli waris, hingga pembagiannya benar-benar adil,
tanpa mengurangi atau melebihkan hak masing-masing. Persoalan
"pokok masalah" ini di kalangan ulama faraid dikenal dengan
istilah at-ta'shil, yang berarti usaha untuk mengetahui pokok
masalah. Dalam hal ini, yang perlu diketahui adalah
52
bagaimana dapat memperoleh
angka pembagian hak setiap ahli waris tanpa melalui pemecahan yang rumit.
Karena itu, para ulama ilmu faraid tidak mau menerima
kecuali angka-angka yang jelas dan benar (maksudnya tanpa menyertakan angka-angka pecahan,
penj.).
Untuk mengetahui pokok masalah, terlebih dahulu
perlu kita ketahui siapa-siapa ahli warisnya. Artinya, kita harus
mengetahui apakah ahli waris yang ada semuanya hanya termasuk 'ashabah, atau
semuanya hanya dari ashhabul furudh, atau gabungan antara 'ashabah dengan
ashhabul furudh.
Apabila seluruh ahli waris yang ada semuanya
dari 'ashabah, maka pokok masalahnya dihitung per
kepala --jika semuanya hanya dari laki-laki.Misalnya, seseorang
wafat dan meninggalkan lima orang anak laki-laki, maka pokok
masalahnya dari lima. Atau seseorang wafat meninggalkan sepuluh saudara
kandung laki-laki, maka pokok masalahnya dari sepuluh.
Bila ternyata ahli waris yang ada terdiri dari
anak laki-laki dan perempuan, maka satu anak laki-laki kita
hitung dua kepala (hitungan), dan satu wanita satu kepala. Hal ini diambil dari
kaidah qur'aniyah: bagian anak laki-laki dua kali bagian anak
perempuan. Pokok masalahnya juga dihitung dari jumlah per kepala.
Kaidah ini sangat mudah sekaligus mempermudah
kita untuk memahami pokok masalah ketika ahli waris terdiri dari berbagai sahib
fardh yang mempunyai bagian berbeda-beda.
Para
ulama faraid membagi kaidah tersebut menjadi dua bagian: Pertama: bagian
setengah (1/2), seperempat (1/4), dan seperdelapan (1/8). Kedua: bagian dua per
tiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6).
Apabila para ashhabul furudh hanya terdiri dari
bagian yang pertama saja (yakni 1/2, 1/4, 1/8), berarti pokok masalahnya dari
angka yang paling besar. Misalnya, bila dalam suatu keadaan, ahli warisnya dari
sahib fardh setengah (1/2) dan seperempat (1/4), maka pokok masalahnya dari
empat (4).
Misal lain, bila dalam suatu keadaan ahli
warisnya terdiri dari para sahib fardh setengah (1/2), seperempat (1/4), dan
seperdelapan (1/8) --atauhanya seperempat
dengan seperdelapan-- maka pokok masalahnya dari delapan
53
(8). Begitu juga bila dalam
suatu keadaan ahli warisnya terdiri dari sahib fardh sepertiga (1/3) dengan
seperenam (1/6) atau dua per tiga (2/3) dengan seperenam (1/6), maka pokok
masalahnya dari enam (6). Sebab angka tiga merupakan bagian dari angka enam.
Maka dalam hal ini hendaklah diambil angka penyebut yang terbesar.
Akan tetapi, jika dalam suatu keadaan ahli
warisnya bercampur antara sahib fardh kelompok pertama (1/2, 1/4, dan 1/8)
dengan kelompok kedua (2/3, 1/3, dan 1/6) diperlukan kaidah yang lain untuk
mengetahui pokok masalahnya.
Pokok
masalah dari enam (6)
|
|
|
|
|
|
|
Suami
setengah (1/2)
|
3
|
|
|
|
|
Saudara laki-laki seibu
seperenam (1/6)
|
1
|
|
|
|
|
Ibu
sepertiga (1/3)
|
2
|
|
|
|
|
Paman
kandung, sebagai 'ashabah
|
0
|
|
|
|
Pokok
masalah dari dua belas (12)
|
|
|
|
|
|
|
Istri
seperempat (1/4))
|
3
|
|
|
|
|
Ibu
seperenam (1/6)
|
2
|
|
|
|
|
Dua
saudara laki-laki seibu sepertiga (1/3)
|
4
|
|
|
|
|
Saudara
kandung laki-laki sebagai 'ashabah (sisanya)
|
3
|
|
|
|
Pokok
masalah dari 24
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian
istri seperdelapan (1/8)
|
berarti
|
3
|
|
|
|
|
|
Bagian
anak perempuan setengah (1/2)
|
berarti
|
12
|
|
|
|
|
|
Cucu
perempuan dari anak laki-laki seperenam (1/6)
|
berarti
|
4
|
|
|
|
|
|
Bagian
ibu seperenam (1/6)
|
berarti
|
4
|
|
|
|
|
|
Saudara
kandung laki-laki, sebagai 'ashabah (sisa)
|
|
1
|
|
|
|
|
54
E.Aul dan Radd
1)Definisi al-'Aul
Al-'aul dalam bahasa Arab mempunyai banyak
arti, di antaranya bermakna azh-zhulm (aniaya) dan tidak adil,
seperti yang difirmankan- Nya:
"... Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya." (an-Nisa': 3)
Sedangkan definisi al-'aul menurut
istilah fuqaha yaitu bertambahnya jumlah bagian fardh dan berkurangnya nashib
(bagian) para ahli waris.
Hal ini terjadi ketika makin banyaknya ashhabul furudh sehingga
harta yang dibagikan habis, padahal di antara mereka ada yang belum menerima
bagian.
Misalnya bagian seorang suami yang semestinya
mendapat setengah (1/2) dapat berubah menjadi sepertiga (1/3) dalam keadaan
tertentu, seperti bila pokok masalahnya dinaikkan dari semula enam (6) menjadi
sembilan (9). Maka dalam hal ini seorang suami yang semestinya mendapat bagian
3/6 (setengah) hanya memperoleh 3/9 (sepertiga). Begitu pula halnya dengan
ashhabul furudh yang lain, bagian mereka dapat berkurang manakala pokok
masalahnya naik atau bertambah.
2) Pokok Masalah yang Dapat dan Tidak Dapat Di-'aul- kan
Pokok masalah yang ada di dalam ilmu faraid ada
tujuh. Tiga di antaranya dapat di-'aul-kan, sedangkan yang empat
tidak dapat.
Ketiga pokok masalah yang dapat di-'aul-kan adalah enam
(6), dua belas (12), dan dua puluh empat (24). Sedangkan pokok masalah yang
tidak dapat di-'aul-kan ada empat, yaitu dua (2), tiga (3), empat
(4), dan delapan
(8).
Sebagai contoh pokok yang
dapat di-'aul-kan: seseorang wafat dan meninggalkan suami serta
seorang saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya sebagai berikut: pokok
masalahnya dari dua (2). Bagian suami setengah berarti satu (1), dan bagian
saudara kandung perempuan
55
setengah, berarti mendapat
bagian satu (1). Maka dalam masalah ini tidak menggunakan 'aul.
Sebagaimana telah saya sebutkan
sebelumnya, angka-angkapokok masalah yang
dapat di-'aul-kan ialah angka enam (6), dua belas (12), dan dua puluh
empat (24). Namun, ketiga pokok masalah itu masing- masing berbeda dan
mempunyai sifat tersendiri. Sebagai misal, angka enam (6) hanya
dapat di-'aul-kan hingga angka sepuluh (10), yakni dapat naik menjadi
tujuh, delapan, sembilan, atau sepuluh. Lebih dari angka itu tidak bisa.
Berarti pokok masalah enam (6) hanya dapat dinaikkan empat kali saja.
Kemudian pokok masalah dua belas (12) hanya
dapat dinaikkan hingga tujuh belas (17), namun hanya untuk angka ganjilnya.
Lebih jelasnya, pokok masalah dua belas (12) hanya dapat dinaikkan ke tiga
belas (13), lima belas (15), atau tujuh belas (17). Lebih dari itu tidak bisa.
Maka angka dua belas (12) hanya dapat di-'aul-kan tiga kali saja.
Sedangkan pokok masalah dua puluh empat (24) hanya
dapat di-'aul-kankepada dua puluh tujuh (27) saja, dan itu pun hanya pada
satu masalah faraid yang memang masyhur di kalangan ulama faraid dengan sebutan
"masalah al-mimbariyyah".
3) Definisi ar-Radd
Ar-radd dalam bahasa Arab berarti 'kembali/kembalikan'
atau juga bermakna 'berpaling/palingkan'. Seperti terdapat dalam firman Allah
berikut:
"Musa berkata: 'Itulah (tempat) yang kita cari.' Lalu
keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula.
" (al-Kahfi: 64)
"Dan Allah menghalau orang-orang yang kafir itu
yang keadaan mereka penuh kejengkelan ..." (al-Ahzab: 25)
Dalam sebuah doa disebutkan "Allahumma radda kaidahum
'annii" (Ya Allah, palingkanlah/halaulah tipu daya mereka terhadapku).
56
Adapun ar-radd menurut
istilah ulama ilmu faraid ialah berkurangnya pokok masalah dan
bertambahnya/lebihnya jumlah bagian ashhabul
furudh. Ar-radd merupakan kebalikan dari al-'aul.
Sebagai misal, dalam suatu keadaan (dalam
pembagian hak waris) para ashhabul furudh telah menerima
haknya masing-masing,tetapi ternyata harta warisan itu masih
tersisa --sementara itu tidak ada sosok kerabat lain
sebagai 'ashabah-- maka sisa harta waris itu diberikan atau
dikembalikan lagi kepada para ashhabul furudh sesuai dengan bagian
mereka masing-masing.
4) Syarat-syarat ar-Radd
Ar-radd tidak akan terjadi dalam suatu
keadaan, kecuali bila terwujud tiga syarat seperti di bawah ini:
1)adanya ashhabul furudh
2)tidak adanya 'ashabah
3)ada sisa harta waris.
5)Ahli Waris yang Berhak Mendapat ar-Radd
Ar-radd dapat terjadi dan melibatkan semua
ashhabul furudh, kecuali suami dan istri. Artinya, suami atau istri
bagaimanapun keadaannya tidak mendapat bagian tambahan dari sisa harta waris
yang ada.
Adapun ashhabul furudh yang dapat menerima ar-radd hanya
ada delapan orang:
1)anak perempuan
2)cucu perempuan keturunan anak laki-laki
3)saudara kandung perempuan
4)saudara perempuan seayah
5)ibu kandung
6)nenek sahih (ibu dari bapak)
7)saudara perempuan seibu
8)saudara laki-laki seibu
57
6) Ahli Waris yang Tidak Mendapat ar-Radd
Adapun ahli waris dari ashhabul furudh yang
tidak bisa mendapatkan ar-radd hanyalah suami dan istri. Hal ini
disebabkan kekerabatan keduanya bukanlah karena nasab, akan tetapi karena
kekerabatan sababiyah (karena sebab), yaitu adanya ikatan tali pernikahan. Dan
kekerabatan ini akan putus karena kematian, maka dari itu mereka (suami dan
istri) tidak berhak mendapatkan ar-radd. Mereka hanya mendapat bagian
sesuai bagian yang menjadi hak masing-masing.Maka apabila dalam suatu
keadaan pembagian waris terdapat kelebihan atau sisa dari harta waris, suami
atau istri tidak mendapatkan bagian sebagai tambahan.
F. Hak Waris Banci Dan Wanita Hamil
1) Definisi Banci
Pengertian al-khuntsa (banci) dalam
bahasa Arab diambil dari kata khanatsa berarti 'lunak' atau 'melunak'.
Misalnya, khanatsa wa takhannatsa, yang berarti apabila ucapan atau cara jalan
seorang laki-lakimenyerupai wanita: lembut
dan melenggak-lenggok. Karenanya dalam hadits sahih dikisahkan bahwa
Rasulullah saw. bersabda:
"Allah SWT melaknat laki-laki yang menyerupai
wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki."
Adapun makna khanatsa menurut para fuqaha adalah
orang yang mempunyai alat kelamin laki-laki dan kelamin wanita
(hermaphrodit), atau bahkan tidak mempunyai alat kelamin sama sekali.
2) Perbedaan Ulama Mengenai Hak Waris Banci
Ada tiga pendapat yang masyhur di kalangan ulama
mengenai pemberian hak waris kepada banci musykil ini:
a.Mazhab Hanafi berpendapat bahwa hak waris
banci adalah yang paling (lebih) sedikit bagiannya di antara keadaannya
sebagailaki-laki atau wanita. Dan ini merupakan salah satu pendapat Imam
Syafi'i serta pendapat mayoritas sahabat.
58
b.Mazhab Maliki
berpendapat, pemberian hak waris kepada para banci
hendaklah tengah-tengah di antara kedua bagiannya.
Maksudnya, mula-mula permasalahannya dibuat dalam dua keadaan,
kemudian disatukan dan dibagi menjadi dua, maka hasilnya menjadi hak/bagian
banci.
c.Mazhab Syafi'i berpendapat, bagian setiap ahli
waris dan banci diberikan dalam jumlah yang paling sedikit. Karena pembagian
seperti ini lebih meyakinkan bagi tiap-tiap ahli waris. Sedangkan
sisanya (dari harta waris yang ada) untuk sementara tidak dibagikan kepada
masing- masing ahli waris hingga telah nyata keadaan yang semestinya. Inilah
pendapat yang dianggap paling rajih (kuat) di kalangan mazhab Syafi'i.
3) Hukum Banci dan Cara Pembagian Warisnya
Untuk banci --menurut pendapat yang
paling rajih-- hak waris yang diberikan kepadanya hendaklah yang
paling sedikit di antara dua keadaannya --keadaan bila ia
sebagai laki-laki dan sebagai wanita. Kemudian untuk sementara sisa
harta waris yang menjadi haknya dibekukan sampai statusnya menjadi jelas, atau
sampai ada kesepakatan tertentu di antara ahli waris, atau sampai banci itu
meninggal hingga bagiannya berpindah kepada ahli warisnya.
Makna pemberian hak banci dengan bagian paling
sedikit menurut kalangan fuqaha mawarits mu'amalah bil adhar-- yaitu
jika banci dinilai sebagai wanita bagiannya lebih sedikit, maka hak waris yang
diberikan kepadanya adalah hak waris wanita; dan bila dinilai sebagai laki-
laki dan bagiannya ternyata lebih sedikit, maka divonis
sebagai laki-laki. Bahkan, bila ternyata dalam keadaan di antara
kedua status harus ditiadakan haknya, maka diputuskan bahwa banci tidak
mendapatkan hak waris.
Bahkan dalam mazhab Imam Syafi'i, bila dalam
suatu keadaan salah seorang dari ahli waris gugur haknya dikarenakan adanya
banci dalam salah satu dari dua status (yakni sebagai laki-laki atau
wanita), maka gugurlah hak warisnya.
59
4) Definisi Hamil
Al-hamlu (hamil) dalam bahasa Arab adalah
bentuk mashdar (infinitif) dari kata hamalat.
Dikatakan: "al-mar'atu haamil ma haamilatun idsaa kaanat
hublaa" (wanita itu hamil apabila ia sedang mengandung janin).
Allah berfirman dalam Al-Qur'an:
"Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada
dua orang ibu-bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan
melahirkannya dengan susah payah (pula) ..." (al-Ahqaf: 15)
5) Syarat Hak Waris Janin dalam Kandungan
Janin dalam kandungan berhak menerima waris dengan
memenuhi dua persyaratan:
a.Janin tersebut diketahui secara pasti
keberadaannya dalam kandungan ibunya ketika pewaris wafat.
b.Bayi dalam keadaan hidup ketika keluar dari
perut ibunya, sehingga dapat dipastikan sebagai anak yang berhak mendapat warisan.
Syarat pertama dapat terwujud dengan kelahiran bayi dalam keadaan
hidup. Dan keluarnya bayi dari dalam kandungan maksimal dua tahun sejak
kematian pewaris, jika bayi yang ada dalam kandungan itu anak pewaris. Hal ini
berdasarkan pernyataan Aisyah r.a.:
"Tidaklah janin akan menetap dalam rahim ibunya melebihi dari
dua tahun sekalipun berada dalam falkah mighzal."
Adapun mazhab Syafi'i dan Maliki berpendapat bahwa masa janin
dalam kandungan maksimal empat tahun. Pendapat inilah yang paling akurat dalam
mazhab Imam Ahmad, seperti yang disinyalir para ulama mazhab Hambali.
Adapun menurut mazhab Syafi'i dan Hambali, bayi
yang baru keluar dari dalam rahim ibunya dinyatakan hidup bila melakukan
gerakan yang lama hingga cukup menunjukkan adanya kehidupan. Bila gerakan itu
hanya sejenak --seperti gerakan hewan yang dipotong-- maka
tidak
60
dinyatakan sebagai bayi
yang hidup. Dengan demikian, ia tidak berhak mewarisi. Hal ini berdasarkan
sabda Rasulullah saw.:
"Apabila bayi yang baru keluar dari rahim ibunya menangis
(kemudian mati), maka hendaklah dishalati dan berhak mendapatkan warisan."
(HR Nasa'i dan Tirmidzi)
Namun, apabila bayi yang keluar dari rahim
ibunya dalam keadaan mati, atau ketika keluar separo badannya hidup tetapi
kemudian mati, atau ketika keluar dalam keadaan hidup tetapi tidak stabil, maka
tidak berhak mendapatkan waris, dan ia dianggap tidak ada.
6) Keadaan Janin
Ada lima keadaan bagi janin dalam kaitannya
dengan hak mewarisi. Kelima keadaan tersebut:
a.Bukan sebagai ahli waris dalam keadaan apa
pun, baik janin tersebut berkelamin laki-laki ataupun perempuan.
b.Sebagai ahli waris dalam keadaan memiliki
kelamin (laki-laki atau perempuan), dan bukan sebagai ahli waris
dalam keadaan berkelamin ganda (banci).
c.Sebagai ahli waris dalam segala keadaannya
baik sebagai laki-lakimaupun perempuan.
d.Sebagai ahli waris yang tidak berbeda hak
warisnya, baik sebagai laki- laki ataupun perempuan.
e.Sebagai ahli waris tunggal, atau ada ahli
waris lain namun ia majhub (terhalang) hak warisnya karena adanya janin.
G.Hak Waris Orang Yang Hilang, Tenggelam dan Tertimbun
1) Definisi
Al-mafqud dalam bahasa Arab secara harfiah
bermakna 'hilang'. Dikatakan faqadtu asy-syai'a idzaa adha'tuhu (saya
kehilangan bila tidak mengetahui di mana sesuatu itu berada). Kita juga bisa
simak firman Allah SWT berikut:
61
"Penyeru-penyeru itu
berkata: 'Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya
akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin
terhadapnya." (Yusuf: 72)
Sedangkan menurut istilah para fuqaha, al-mafqud berarti
orang yang hilang, terputus beritanya, dan tidak diketahui rimbanya, apakah dia
masih hidup atau sudah mati.
2) Hukum Orang yang Hilang
Para fuqaha telah menetapkan beberapa hukum yang
berkenaan dengan orang yang hilang/menghilang, di antaranya: istrinya tidak
boleh dinikahi/dinikahkan, hartanya tidak boleh diwariskan, dan hak
kepemilikannya tidak boleh diusik, sampai benar-benar diketahui
keadaannya dan jelas apakah ia masih hidup atau sudah mati. Atau telah berlalu
selama waktu tertentu dan diperkirakan secara umum -- telah mati, dan
hakim pun telah memvonisnya sebagai orang yang dianggap telah mati.
Kadang-kadang bisa juga ditetapkan sebagai
orang yang masih hidup berdasarkan asalnya, hingga benar-benar tampak
dugaan yang sebaliknya (yakni benar-benar sudah mati). Yang demikian
itu berdasarkan ucapan Ali bin Abi Thalib r.a. tentang wanita yang suaminya
hilang dan tidak diketahui rimbanya. Ali berkata: "Dia adalah seorang
istri yang tengah diuji, maka hendaknya dia bersabar, dan tidak halal untuk
dinikahi hingga ia mendapatkan berita yang meyakinkan akan kematian
suaminya."
3) Batas Waktu untuk Menentukan bahwa Seseorang Hilang atau Mati
Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam
masalah ini terutama para ulama dari mazhab yang empat.
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa orang yang
hilang dan tidak dikenal rimbanya dapat dinyatakan sebagai orang yang sudah
mati dengan melihat orang yang sebaya di wilayahnya --tempat dia
tinggal. Apabila orang-orang yang sebaya dengannya sudah tidak ada,
maka ia dapat diputuskan sebagai orang yang sudah meninggal. Dalam riwayat
lain, dari
62
Abu Hanifah, menyatakan
bahwa batasnya adalah sembilan pulah tahun (90).
Sedangkan mazhab Maliki berpendapat bahwa
batasnya adalah tujuh puluh tahun (70). Hal ini didasarkan pada lafazh hadits
secara umum yang menyatakan bahwa umur umat Muhammad saw. antara enam puluh
hingga tujuh puluh tahun.
Dalam riwayat lain, dari Imam Malik, disebutkan
bahwa istri dari orang yang hilang di wilayah Islam --hingga tidak
dikenal rimbanya- - dibolehkan mengajukan gugatan kepada hakim guna mencari
tahu kemungkinan-kemungkinan dan dugaan yang dapat mengenali
keberadaannya atau mendapatkan informasi secara jelas melalui sarana dan
prasarana yang ada. Apabila langkah tersebut mengalami jalan buntu, maka sang
hakim memberikan batas bagi istrinya selama empat puluh tahun untuk menunggu.
Bila masa empat puluh tahun telah usai dan yang hilang belum juga diketemukan
atau dikenali rimbanya, maka mulailah ia untuk menghitung idahnya sebagaimana
lazimaya istri yang ditinggal mati suaminya, yaitu empat bulan sepuluh hari.
Bila usai masa idahuya, maka ia diperbolehkan untuk menikah lagi.
Sedangkan dalam mazhab Syafi'i dinyatakan bahwa
batas waktu orang yang hilang adalah sembilan puluh tahun, yakni dengan melihat
umur orang-orang yang sebaya di wilayahnya. Namun, pendapat yang
paling sahih menurut anggapan Imam Syafi'i ialah bahwa batas waktu tersebut
tidak dapat ditentukan atau dipastikan. Akan tetapi, cukup dengan apa yang
dianggap dan dilihat oleh hakim, kemudian divonisnya sebagai orang yang telah
mati. Karena menurut Imam Syafi'i, seorang hakim hendaknya berijtihad kemudian
memvonis bahwa orang yang hilang dan tidak lagi dikenal rimbanya sebagai orang
yang sudah mati, sesudah berlalunya waktu tertentu --kebanyakan orang
tidak hidup melebihi waktu tersebut.
Sementara itu, mazhab Hambali berpendapat bahwa
bila orang yang hilang itu dalam keadaan yang dimungkinkan kematiannya seperti
63
jika terjadi peperangan,
atau menjadi salah seorang penumpang kapal yang tenggelam-- maka
hendaknya dicari kejelasannya selama empat tahun. Apabila setelah empat tahun
belum juga diketemukan atau belum diketahui beritanya, maka hartanya boleh
dibagikan kepada ahli warisnya. Demikian juga istrinya, ia dapat menempuh masa
idahnya, dan ia boleh menikah lagi setelah masa idah yang dijalaninya selesai.
Namun, apabila hilangnya orang itu bukan dalam
kemungkinan meninggal, seperti pergi untuk berniaga, melancong, atau untuk
menuntut ilmu, maka Imam Ahmad dalam hal ini memiliki dua pendapat. Pertama,
menunggu sampai diperkirakan umurnya mencapai sembilan puluh tahun Sebab
sebagian besar umur manusia tidak mencapai atau tidak melebihi sembilan puluh
tahun. Kedua, menyerahkan seluruhnya kepada ijtihad hakim. Kapan saja hakim
memvonisnya, maka itulah yang berlaku.
4) Hak Waris Orang Hilang
Apabila seseorang wafat dan mempunyai ahli
waris, dan di antara ahli warisnya ada yang hilang tidak dikenal rimbanya, maka
cara pemberian hak warisnya ada dua keadaan:
a.Ahli waris yang hilang sebagai hajib hirman bagi ahli waris yang
lain.
b.Bukan sebagai hajib (penghalang) bagi ahli
waris yang ada, tetapi bahkan sama berhak mendapat waris sesuai dengan bagian
atau fardh-
nya (yakni termasuk ashhabul fardh)
Pada keadaan pertama: seluruh harta warisan
peninggalan pewaris dibekukan --tidak diberikan kepada
ahli waris-- untuk sementara hingga ahli waris yang hilang muncul
atau diketahui tempatnya. Bila ahli waris yang hilang ternyata masih hidup,
maka dialah yang berhak untuk menerima atau mengambil seluruh harta warisnya.
Namun, bila ternyata hakim telah memvonisnya sebagai orang yang telah mati,
maka harta waris tadi dibagikan kepada seluruh ahli waris yang ada
dan masing-masing mendapatkan sesuai dengan bagian
atau fardh-nya.
Sedangkan pada keadaan kedua, ahli waris yang
ada berhak untuk menerima bagian yang paling sedikit di antara dua keadaan
orang
64
yang hilang (sebagai ahli
waris yang hidup atau yang mati, atau mirip dengan pembagian hak waris banci).
Maksudnya, bila ahli waris yang ada --siapa saja di
antara mereka-- yang dalam dua keadaan orang yang hilang tadi sama
bagian hak warisnya, hendaknya ia diberi hak waris secara sempurna (tanpa
dikurangi atau dilebihkan, atau tanpa ada yang dibekukan). Namun, bagi ahli
waris yang berbeda bagian hak warisnya di antara dua keadaan ahli waris yang
hilang tadi (yakni keadaan hidup dan matinya), maka mereka diberi lebih sedikit
di antara kedua keadaan tadi. Namun, bagi siapa saja yang tidak berhak untuk
mendapatkan waris dalam dua keadaan orang yang hilang, dengan sendirinya tidak
berhak untuk mendapatkan harta waris sedikit pun.
5) Hak Waris Orang yang Tenggelam dan Tertimbun
Kaidah yang berlaku dalam pembagian hak waris
orang yang tenggelam dan tertimbun yaitu dengan menentukan mana di antara
mereka yang lebih dahulu meninggal. Apabila hal ini telah diketahui dengan
pasti, pembagian waris lebih mudah dilaksanakan, yakni dengan memberikan hak
waris kepada orang yang meninggal kemudian. Setelah orang kedua (yang meninggal
kemudian) meninggal, maka kepemilikan harta waris tadi berpindah kepada ahli
warisnya yang berhak. Begitulah seterusnya.
Sedangkan jika keduanya sama-sama tenggelam
atau terbakar secara bersamaan kemudian mati tanpa diketahui mana yang lebih
dahulu meninggal, maka tidak ada hak waris di antara keduanya atau mereka tidak
saling mewarisi. Hal ini sesuai dengan kaidah yang telah ditetapkan oleh ulama
faraidh yang menyebutkan: "Tidak ada hak saling mewarisi bagi kedua
saudara yang mati karena tenggelam secara bersamaan, dan tidak pula bagi kedua
saudara yang mati karena tertimbun reruntuhan, serta yang meninggal seketika
karena kecelakaan dan bencana lainnya."
Hal demikian, menurut para ulama, disebabkan
tidak terpenuhinya salah satu persyaratan dalam mendapatkan hak waris. Maka
seluruh harta peninggalan yang ada segera dibagikan kepada ahli waris dari
kerabat yang masih hidup.
65
BAB III
Penutup
A. Kesimpulan
Harta warisan adalah
harta yang dalam istilah fara’id dinamakan
Tirkah (peninggalan) merupakan sesuatu atau harta kekayaan oleh
yang meninggal, baik berupa uang atau materi lainya yang dibenarkan oleh
syariat islam untuk diwariskan kepada ahli warisnya.dan dalam pelaksanaanya
atau apa-apa yang yang ditinggalkan oleh yang meninggal harus
diartikan sedemikian luas sehingga mencakup hal-hal yang ada pada
bagianya. Kebendaan dan sifat-sifatnya yang mempunyai nilai kebendaan. hak-hakkebendaan
dan hak-hak yang bukan kebendaan dan benda-benda yang
bersangkutan dengan hak orang lain.
Pentingnya pembagian warisan
untuk orang-orang yang ditinggalkan
dengan seadil-adilnya sudah diatur dalam Islam, mencegah terjadinya
konflik antar ahli waris dan menghindari perpecahan ukhuwah persaudaraan antar
sesama keluarga yang masih hidup. Pembagian tersebut sudah di atur
dalam al-quran dan al hadist Namun ada beberapa ketentuan yang di sepakati dengan ijma’
dengan seadil-adilnya.
66
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Abdul Gani. (1994). Pengantar Kompilasi Hukum Islam
Dalam Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Gema Insani Press.
Wicaksono, F. Satrio. (2011). Hukum Waris (Cara Mudah Dan
Tepat Membagi Harta Waris). Jakarta: Tranmedia Pustaka.
Fuad, Mansun (2004). Hukum Islam Indonesia. Yogyakarta:
LkiS Yogyakarta.
A Karim, Muchith (2010). Pelaksanaan Hukum Waris Di Kalangan
Umat Islam Indonesia. Jakarta: Maloho Jaya Abadi Press.
Khalifah, Muhammad Thaha Abul Ela (2007). Pembagian
Warisan Berdasarkan Syariat Islam. Solo: Tiga Serangkai.
Sabiq, As-Sayyid. (1988). Faroidh. Bandung: Ama’arif.
Sarwat, Ahmad. Fiqih Mawaris. DU Center
iii
0 Response to "Hukum Kewarisan Islam dan Penawarnya"
Post a Comment