Makalah Fiqih Muamalah III Ju'alah
Friday, February 8, 2019
Add Comment
MAKALAH FIQH
MUAMAHALH III
DEFINISI JA’ALAH
Oleh
Kelompok :
1.
ACHMAD MIRZA PRASETYA 1610101001
SEKOLAH TINGGI ILMU SYARIAH STIS MUHAMMADIYAH PRINGSEWU
2018
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum .wr.wb.
Puji
syukur kehadirat Allah SWT karena dengan
limpahan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Definisi Ja’alah” tepat pada waktunya. Shalawat dan salam semoga selalu
tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan pengikut beliau hingga akhir
zaman. Aamiin…
Penulis
menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran konstruktif dari pembaca demi kesempurnaan
makalah ini di kemudian hari. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini. Akhir kata, semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.
Aamiin...
Wassalamu’alaikum.
Wr. Wb.
Pringsewu, 06 November 2018
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………. i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………… ii
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………….... 1
A. Latar Belakang…………………………………………………………………………. 1
B. Rumusan Masalah…………………………………………………………………….. 1
C. Tujuan………………………………………………………………………………..... 2
BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………………. 3
A. Pengertian Ja’alah………………………………………………………………… 3
B. Landasan Hukum……………………………………………………………….... 4
C. Rukun dan Syarat……………………………………………………….……….. 6
D. Sebab-sebab gugurnya akad Ja’alah…………………………………………………. 9
BAB III PENUTUP…………………………………………………………………..........12
A. Kesimpulan…………………………………………………………………………… 12
B. Saran………………………………………………………………………………….. 12
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ja'alah
Menurut bahasa
ja'alah berarti mengupah. secara syara' sebagaimana dikemukakan oleh sayyid
sabiq dalam bukunya yang berjudul fiqh al-sunnah:
عقد على منفعة يظن حصؤ له
Artinya:"sebuah
akad untuk mendapatkan materi (upah) yang diduga kuat dapat diperoleh".
Dalam istilah lain,
ja'alah selalu pula diartikan dengan "sayembara". Secara
istilah, menurut madzhab malikiyyah, ja'alah adalah akad sewa (ijarah) atas
suatu manfaat yang belum diketahui keberhasilannya (terdapat probabilitas atas
keberhasilan atau kegagalan dalam menjalankan suatu pekerjaan).
B. Hukum Ja'alah
Ja'alah termasuk
salah satu jenis akad yang hukumnya jaiz (diperbolehkan) oleh sebagian ulama,
tetapi sebagian lain ada pula yang tidak mengizinkan akad jenis ini. Perbedaan
pandangan ini dapat diterima, karena akad dalam lapangan ja'alah tidak sama
dengan pelaksanaann akad ijarah yang murni merupakan upah tanpa ada unsur
untung-untungan.
Menurut ulama Malikiyyah,
Syafi'iyyah, dan Hanabalah, secara akad ja'alah diperbolehkan.
Para ulama yang
berpendirian bahwa transaksi ja'alah itu diperbolehkan berargumentasi bahwa
secara historis Rasulullah memperbolehkan menerima upah atas pengobatan kepada
seseorang dengan mempergunakan ayat-ayat al-Qur'an, seperti dengan ayat-ayat
dalam surat al-Fatihah. Namun yang perlu dicatat disini ialah bahwa kebolehan
itu hanya berlaku bila diperlukan, dalam arti bahwa kebolehannya itu bukanlah
mutlak sebagaimana kebolehan dalam lapangan ijarah. Alasan lain yang mereka
pakai ialah firman Allah dalam surat Yusuf ayat 72 yang berbunyi:
ؤ لمن خاء به حمل
بعير ؤ ا نا به زعيم
"Dan siapa yang
dapat mengembalikannya akan menperoleh bahan makanan beban unta, dan aku
menjamin terhadapnya".
Menurut madzhab
Hanafiyyah, akad ja'alah tidak diperbolehkan, karena mengandung unsur
gharar didalamnya. Yakni ketidakjelasan atas pekerjaan dan jangka waktu
yang ditentukan.Hal ini ketika dianalogkan (qiyas) dengan akad ijarah yang
mensyaratkan adanya kejelasan atas pekerjaan, upah dan jangka waktu. Namun
demikian, ada sebagian ulama hanafiyyah yang memperbolehkannya, dengan dasar
istihsanan (karena ada nilai manfaat).
C. Perbedaan antara ja'alah dan ijarah
Akad ja'alah berbeda
dengan akad ijarah, terutama terkait dengan kesepakatan yang terdapat
didalamnya. Perbedaan tersebut dapat dilihat dalam poin berikut:
Pemilik pekerjaan
(ja'il) baru akan merasakan manfaat, ketika pekerjaan telah usai dilaksanakan,
seperti ditemukannya aset yang hilang, atau hilangnya penyakit yang diderita.
Berbeda dengan ijarah, penyewa (musta'jir) bisa nenerima manfaat, ketika ajur
telah melakukan sebagian pekerjaannya. Konsekuensinya, pekerja dalam akad
ja'alah tidak akan menerima upah, jika pekerjaannya tidak selesai. Sedangkan
dalam ijarah, 'amil (pekerja,ajir) berhak mendapatkan upah atas pekerjaan yang
telah dikerjakan, walaupun belum tuntas.
akad ja'alah
mengandung unsur gharar didalamnya, yakni ketidakjelasan jenis pekerjaan dan
jangka waktu yang dibutuhkan, harus dijelaskan secara detail. Akad ijarah harus
dibatasi dengan waktu, berbeda dengan ja'alah. Yang terpenting adalah
selesainya sebuah pekerjaan, tidak bergantung pada pembatasan waktu.
Dalam akad ja'alah
tidak diperbolehkan mensyaratkan adanya pembayaran upah dibayar dimuka. Berbeda
dengan akad ijarah, upah bisa dipersyaratkan untuk dibayar dimuka.
Akad ja'alah bersifat
jaiz gharar lazim (diperbolehkan dan tidak mengikat), sehingga boleh
dibatalkan. Berbeda dengan akad ijarah bersifat lazim (mengikat), dan tidak
bisa dibatalkan sepihak.(zuhaili, 19989,IV,hal. 786).
D. Rukun Ja'alah
Rukun ja'alah ada empat yaitu:
1. Pemberi Ja'alah
Ia harus memiliki dua
syarat kualitatif:
pertama, memiliku kebebasan berbuat dengan syarat semua
tindakannya sah dengan apa yang dilakukannya sebagai upah baik dia sebagai
pemilik atau bukan, termasuk didalamnya wali dan tidak termasuk anak kecil,
orang gila dan idiot.
kedua, mempunyai pilihan, jika dipaksa, maka akad tidak
sah.
2. Pekerja
Ia harus memenuhi
beberapa syarat:
pertama, mempunyai izin untuk bekerja dari orang yang punya
harta, jima ia bekerja tanpa ada izin darinya seperti ada harta yang hilang
lalu dia menemukannya atau hewan yang tersesat lalu dia mengembalikan kepada
pemiliknya, maka dalam hal ini dia tidak berhak mendapat ja'alah sebab dia
memberikan bantuan tanpa ada ikatan upah, maka dia tidak berhak dengan upah
itu, adapun jika diizinkan olehl si pemilik harta dan disyaratkan ada
ja'alah-nya lalu dia bekerja, maka dia berhak mendapatkan ja'alah, sebab si pemilik
harta menerima manfaat dari usahanya dengan akad ja'alah, maka si pekerja pun
berhak dengan ja'alah itu sama seperti orang yang disewa.
kedua, hendaklah si pekerja orang yang memang ahli dengan
pekerjaan itu jika memang dijelaskan bentuknya, maka sah akad ja'alah dengan
orang yang memang ahlinya walaupun masih anak-anak, gila atau yang sedang
dicabut haknya karena idiot berbeda dengan anak kecil yang tidak sanggup
bekerja sebab manfaatnya tidak ada dan memberikan akad ja'alah kepadanya sama
dengan menyewa orang yang buta untuk menjaga sesuatu.
Si pekerja boleh
bukan orang tertentu seperti ucapannya: "Siapa yang bisa mengembalikan
hewanku yang hilang, maka dia berhak mendapat begini," jika dia
mengembalikannya, maka dia berhak mendapat ja'alah yaitu upah yang tidak
didengar oleh orang yang mengembalikan dari mulut si pemberi ja'alah langsung
namun dia mendengarnya dari orang yang dia yakini kejujurannya.
ketiga, si pekerja tidak berhak mendapatkan upah kecuali
jika sudah selesai bekerja, jika disyaratkan untuk mengembalikan unta yang lari
lalu dia mengembalikannya sampai ke pintu rumah kemudian lari lagi atau mati
sebelum diterima oleh si pemberi ja'alah, maka dia tidak berhak mendapatkan
sesuatu dari ja'alah yang ada sebab maksud dari akad adalah mengembalikan, dan
upah sebagai bayarannya dan disini tidak ada hasil.
3. Upah
upah dalam ja'alah
harus memenuhi syarat sebagai berikut:
Pertama, berupa harta yang memang menjadi maksud untuk
dimiliki, terhormat, atau hak khusus dan jika bukan yang menjadi tujuan dari
memiliki seperti darah dan lainnya, maka tidak boleh.
Kedua, harus diketahui sebab dia adalah bayarab, maka harus
ada pengetahuan tentangnya seperti upah dalam akad sewa, seandainya tidak
diketahui seperti ucapannya siapa yang mengembalikan hartaku atau hewanku yang
hilang, maka dia mendapat baju atau saya beri dia sesuatu, ini tidak sah sebab
akad ja'alah adalah akad saling ganti dan tidak boleh dengan ganti (upah) yang
tidak jelas sama dengan akad nikah.
Jika disyaratkan upah
yang tidak pasti lalu dia tetap bekerja, maka si pekerja berhak dengan upah
standar kerja, sebab setiap akad yang wajib memberikan upah dalam akad yang
sahnya, maka wajib dengan upah yang serupa untuk akad yang rusak, seperti jual
beli dan nikah, sebab akad ini diperbolehkan untuk keperluan, dan tidak ada
keperluan terhadap sesuatu yang tidak diketahui berbeda dengan pekerjaan,
karena tidak diketahuinya upah bisa menghilangkan maksud dari akad, atau
membuat orang tidak mau bekerja karena upahnya tidak jelas.
Istilah kenal atau
tahu dengan upah bisa melalui penglihatan langsung jika memang sudah
ditentukan, atau dengan ciri jika masih ada dalam tanggungan, seandainya dia
berkata: "siapa yang mengembalikan hewanku yang hilang, maka dia berhak
mendapatkan apa yang dibawa oleh hewan tersebut," dan yang dibawa hewan
itu memang diketahui seperti pelana, tali kekang atau sesuatu yang lain yang
dibawa oleh hewan tersebut dan diketahui oleh si pekerja, maka hukumnya boleh
jika dia tahu dan kalau tidak, maka tidak boleh.
Kesimpulannya
bahwa disyaratkan dalam upah sama dengan apa yang disyaratkan dengan harga
barang, apa yang tidak sah untuk dijadikan ja'alah. Dan si pekerja berhak
mendapatkan bayaran standar gaji akad yang tidak diketahui bayaranny, dan najis
yang dimaksud seperti arak, kulit bangkai, jika bukan yang termasuk tujuan dari
pemilikan seperti darah, maka tidak ada upah bagi si pekerja.
4. Pekerjaan
pekerjaan dalam
ja'alah harus memenuhi syarat berikut:
Pertama, pekerjaan yang ditawarkan memiliki tingkat
kesusahan, maka tidak ada upah bagi pekerjaan yang tidak ada beban seperti
ucapannya siapa yang menunjukkan harta saya, maka dia menfapatkan begini, lalu
ditunjukkan hartanya yang ada ditangan orang lain sebab apa yang dibebankan
padanya tidak perlu ada bayarannya.
Kedua, pekerjaan yang ditawarkan kepadanya bukan satu
pekerjaan yang wajib bagi si pekerja secara syar'i, jika ia wajib secara syar'i
lalu dia mengembalikannya, maka dia berhak mendapatkan upah, jika dia
mengatakan siapa yang mengembalikan hartaku, maka dia mendapatkan begini,
kemudian dikembalikan oleh orang yang memang wajib untuk mengembalikannya
karena dia seorang perampas dan yang lainnya, maka dia tidak berhak mendapatkan
upah yang telah disebutkan sebab sesuatu yang wajib baginya secara syar'i tidak
ada upah jika dikerjakan.
Ketiga, hendaklah si pekerja menyerahkan barang yang akan
dikembalikan kepada pemiliknya, seandainyaa ia rusak sebelum diserahkan
walaupun sudah masuk rumah si pemilik namu. belum diserahkan, maka tidak ada
ganti.
Tidak ada perbedaan
dalam pekerjaan antara sudah diketahui atau tidak dan susah mengetahuinya
karena mebutuhan seperti dalam akad bagi hasil bahkan lebih susah lagi, jik
tidak susah mengetahuinya, maka perlu dirincikan, dalam hal membangum tembok
perlu dijelaskan tempat, panjang, lebar dan ketinggian dan bahkan materialnya,
dan untuk jahitan perlu dijelaskan coraknya, dan jenis kainnya sama seperti
akad sewa.
Jika sudah diketahui,
maka tidak ada keraguan lagi akan sahnya akad, seperti ucapannya: "Siapa
yang bisa mengembalikan kepadaku hewanku yang hilang dari tempat begini, maka
baginya begini" dan inilah yang paling baik.
Ada yang mengatakan,
bahwa setiap pekerjaan yang diketahui, terperinci tidak boleh dibiarkan
walaupun dengan akad sewa.
5. Sighat (Ucapan)
Ucapan ini datang
dari pihak pemberi ja'alah sedangkan dari pihak si pekerja, maka tidak
disyaratkan ada ucapan dan dengan ada qabul darinya dengan ucapan walaupun
barangnya sudah jelas sebab yang dinilai adalah pekerjaannya sama dengan akad
perwakilan, dan tidak batal seandainya dia menjawab, ya seandainya ia menjawab
kepadanya saya akan kembalikan hewanmu atau mobilmu dan saya mendapat bayaran
satu dinar kemudian si pemberi ja'alah berkata ya atau menjawabnya, maka sudah
dianggap cukup.
shighat (ucapan)
dijadikan rukun sebab akad ja'alah merupakan akad saling memberi dan penetapan
syarat ucapan berarti tidak ada penentuan waktu seban penentuan waktu bisa
menyebabkan hilangnya tujuan dari akad ja'alah, seandainya ia berkata siapa
yang menhembalikan hewanku sampai bulan begini, maka akad tidak sah sam seperti
akad qiradh. sebab penentuan waktu bisa merusakkan tujuan akad, bisa jadi dia
tidak mendapatkannya sehinhga pekerjaannya sia-sia dan tidak mencapai hasil.
E. Syarat
Ja’alah
Upah dalam ja’alah berupa harta
yg diketahui jenis dan ukurannya karena upah yang tidak diketahui tidak sesuai
dengan tujuan transaksi ja’alah.
F. Sebab-Sebab
Gugurnya Akad Ja'alah
Dari segi wajib
dan bolehnya, akad bisa dibagi menjadi tiga bagian:
Pertama, wajib bagi kedua belah pihak yang berakad secara
pasti seperti akad jual beli, sewa, salam, damai, pemindahan utang, bagi hasil
perkebunan, hibah selain anak setelah diterima dan akad khuluk (meminta cerai).
Akad lain yang
berkekuatan wajib bagi kedua belah pihak menurut pendapat yang lebih kuat
antara lain akad nikah. Ia wajib bagi pihak wanita secara pasti dan juga
dari pihak lelaki menurut pendapat yang lebih kuat, dan kekuasaannya untuk
menjatuhkan talak bukan sebagai fasakh.
Kedua, wajib bagi salah satu pihak dan boleh bagi pihak
yang lain secara pasti seperti akad gadai, hibah kepada anak setelah menerima,
akad jaminan dan asuransi.
Ketiga, boleh dari kedua pihak seperti akad syirkah
(kongsi), perwakilan, peminjaman, penitipan, dan ja'alah sebelum pekerjaan selesai.
Dengan begitu boleh
bagi siapa saja dari meraka berdua untuk membatalkan akad sebelum ia pekerjaan
selesai sebab akad ini bersifat boleh dari kedua belah pihak, adapun dari aspek
ja'alah dikarenakan terkait dengan hak milika dengan syarat sehingga mirip
dengan akad wasiat.
Dari aspek pekerja,
sebab pekerjaan yang ada tidak diketahui, jika keadaanya begitu, maka tidak
menjadi wajib sama seperti akad qiradh, dan fasakh bisa terjadi jika si pekerja
dari awal jika pekerjaannya jelas berbeda dengan lainnya, tidak bisa
dibayangkan ada fasakh kecuali setelah dia memulai bekerja.
Yang dimaksud dengan
fasakh mengangkat akad dan mengembalikannya oleh salah satu pihakl yang berakad
atau kedua-duanya dan dengan itu semua kesepakatan mereka berakhir, sedangkan
jika fasakh terjadi setelah bekerja, maka tidak ada pengaruh fasakh karena
ja'alah sudah wajib dan menjadi miliknya.
Sebagaimana akad
ja'alah bisa berakhir dengan fasakh dari salah satu pihak yang berakad seperti
yang sidah dijelaskan juga bisa berakhir dengan meninggalnya salah satu pihak
uang berakad, atau karena gila atau pingsan, seandainya pemilik harta meninggal
setelah pekerjaan dimulai lalu dia mengembalikannya kepada ahli warisnya, maka
dia berhak mendapatkan upah kerja selama si pemilik harta masih hidup.
Jika sipekerja
meninggal kemudian diserahkan oleh ahli warisnya, maka mereka berhak
mendapatkan upah yang sudah disepakati.
Jika si pekerja
membatalkan akad sebelum ia memulai pekerjaan atau setelah dimulai, maka tidak
ada hak upah baginya seban dia belum mengerjakan apa-apa dalam contoh pertama
dan dia baru bisa mendapatkan ja'alah pekerjaan selesai untuk contoh yang kedua
dan dia mengakhirinya dengan pilihan sendiri.
Jika si pemilik harta
membatalkan akad setelah pekerjaan dimulai, mak dia berhak mendapat upah
standar harian karena usahanya karena bolehnya dia memberikan akad kepada si
pekerja menyebabkan dia mempunyai kuasa untuk membatalkan akad, dan jika akad
batal, maka upah yang sudah disepakati tidak wajib baginya sama dengan semua
bentuk pembatalan namun pekerjaan si pekerja terjadi secara terhormat dengan
begitu tidak boleh dibatalkan dengan fasakh dari pihak lain, dengan begitu dia
berhak mendapat upah lain berupa upah standar harian sama seperti akad sewa
jika dibatalkan dengan adanya aib dan inilah pendapat yang lebih kuat.
Ada yang mengatakan,
si pekerja tidak mendapatkan apa-apa sama dengan jika dia membatalkan akad
sendiri. Tidak ada perbedaan antara pendapat ini dengam apa perbuatan si
pekerja yang tidak bisa meraih apa yang menjadi tujuan akad seperti
mengembalikan hewan yang tersesat sampai setengah perjalanan atau hanya
mendapat sebagiannya seperti seseorang yang berkata kepada orang lain:
"Jika kamu mengajari anakku al-Qur'an maka kamu mendapat begini,"
kemudian dia melarangnya mengajar dan ini tidak bertentangan dengan apa yang
sudah disebutkan dimana kita mengatakan: "Jika si pekerja atau pemilik
meninggal dunia ketika pekerjaan sedang dilakukan, maka akad berakhir dan
pekerja berhak mendapatkan bagian upah dari hari yang sudah ditetapkan"
sebab orang yang memberikan akad ja'alah telah menggugurkan upah yang sudah
disepakati disini dengan adanya fasakh berbeda dengan masalah yang diatas.
Namun apakah si
pemilik harta berhak menambah atau mengurangi ja'alah yanv sudah disepakati?
Ya, boleh baginya melakukan itu sebelum pekerjaan selesai baik sebelum memulai
bekerja atau setelahnya seperti bolehnya dalam akad jual beli pada saat khiyar
bahkan yang ini lebih utama seperti dia mengatakan siapa yang mengembalikan
hewanku yang hilang, maka dia berhak mendapat sepuluh juneh mesir kemudian dia
berkata lagi, baginya lima atau sebaliknya, maka penilaian memenangkan pendapat
kedua dari dua ucapannya dan ini jika dia si pekerja mendengar namun jika dia
tidak mendengar, atau setelah pekerjaan dimulai, maka harus ada upah standar
harian bagian si pekerja yang menjadi tanggung jawab sebab panggilan terakhir
berupa fasakh untuk yang pertama dan fasakh dari pihak pemilik harta pada saat
pekerjaan berjalan berarti ada hak menukarnya dengan upah standar harian dan
inilah pendapat yang rajih (unggul) menurut Imam Ghazali. Sedangkan Imam
Al-Mawardi Rauyani dia berhak untuk mengambil upah yang pertama dan diakui oleh
As-Subki dan Al-Balqini dan yang lainnya.
Si pekerja berhak
mendapatkan upah standar harian jika dia belum mendengar setelah memulai kerja
tidak bertentangan karena dia mengerjakan sesuatu setelah fasakh, maka ia tidak
berhak mendapat upah. Sebab dia mengerjakan sesuatu setelah fasakh tanpa ada
ganti berbeda dengan masalah yang ini.
Perubahan pada barang
yang terjadi setelah pekerjaan selesai tidak berpengaruh, sebab ja'alah sudah
wajib baginya, wajibnya ja'alah tergantung dengan kesempurnaan pekerjaan, oleh
sebab itu Imam An-Nawawi berkata: "Seandainya hewan yang tersesat mati
ditengah perjalanan atau lari, maka si pekerja tidak mendapat apa-apa walaupun
sudah berada dirumah si pemilik sebelum diserahkan sebab dia belum
mengembalikannya."
Dikecualikan dari hal
ini seandainya dia menyewa orang untuk menghajikannya kemudian ia
melaksanakannya dengan sebagian amalan haji lalu meninggal, maka dia berhak
mendapatkan upah sesuai dengan pekerjaan yang sudah diselesaikannya.
Perbedaan antar
keduanya, pertama, tujuan dari haji adalah pahala dan dia sudah mendapatkannya
dengan sebagian amalan haji, dan disini dia tidak mendapatkan tujuannya dan
inilah perbedaan pertama.
Perbedaan kedua, akad
sewa adalah akad wajib yang dengannya dia akan mendapatkan sesuatu sedikit
sedangkan akad ja'alah akad boleh yang bisa menetapkan satu hak kecuali dengan
syarat dan disini tidak ada.
KESIMPULAN
ja'alah adalah akad
sewa (ijarah) atas suatu manfaat yang belum diketahui keberhasilannya (terdapat
probabilitas atas keberhasilan atau kegagalan dalam menjalankan suatu
pekerjaan). Ja'alah termasuk salah satu jenis akad yang hukumnya jaiz
(diperbolehkan). Akad ja'alah berbeda dengan akad ijarah, terutama terkait
dengan kesepakatan yang terdapat didalamnya. Rukun ja’alah diantaranya yaitu
pemberi ja’alah, pekerja, upah, pekerjaan. Dan sighat, dan adapun syarat
ja;alah yaitu harta yg diketahui jenis dan ukurannya. Sedangkan sebab-sebab
yang bisa menggugurkan akad ja’alah bisa dilihat dari segi wajib dan
bolehnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Rahman, Abdul Ghozali dkk, 2010, fiqh
muamalat,jakarta:kencana prenada media
group.
Karim, Helmi, 1997, fiqh muamalal,jakarta:PT grafindo
persada.
Djuawaini, Dimyaudin. 2008, pengantar fiqh
muamalah, yogyakarta:pustaka pelajar.
Mardani. 2012, fiqh ekonommi syariah jakarta:
kencana prenada media group.
,Aziz,Abdul. 2008. pengantar fiqh muamalat,
Jakarta: Amzah.
[1] abdul rahman
ghozali dkk,fiqh muamalat,(jakarta:kencana prenada media group,2010),cet1.hlm.141
[2] helmi
karim,fiqh muamalal,(jakarta:PT grafindo persada,1997),cet2.hlm.45
[3] Dimyaudin,
Djuawaini.pengantar fiqh muamalah,(yogyakarta:pustaka
pelajar.2008),cet1.hlm.165
[4] helmi
karim,fiqh muamalal,(jakarta:PT grafindo persada,1997),cet2.hlm.45
[5] Dimyaudin,
Djuawaini.pengantar fiqh muamalah,(yogyakarta:pustaka
pelajar.2008),cet1.hlm.165
[6] helmi karim.
fiqh muamalah(jakarta:PT raja grafindo persada.1997). cet2. hlm.45-46
[7] Dimyaudin,
Djuawaini.pengantar fiqh muamalah,(yogyakarta:pustaka pelajar.2008),cet1.
hlm.166
[8] Ibid.hlm.167-168
[9] Abdul, Aziz.
pengantar fiqh muamalat, (Jakarta: Amzah.2008), cet1. hlm.341-345
[10] Abdul,
Aziz. pengantar fiqh muamalat, (Jakarta: Amzah.2008), cet1. hlm.341-345
0 Response to "Makalah Fiqih Muamalah III Ju'alah"
Post a Comment