Makalah Fiqih Muamalah III Ju'alah


MAKALAH FIQH MUAMAHALH III
DEFINISI  JA’ALAH

images STIS.jpg



Oleh

Kelompok :


1.      ACHMAD MIRZA PRASETYA 1610101001










SEKOLAH TINGGI ILMU SYARIAH STIS MUHAMMADIYAH PRINGSEWU
2018













KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum .wr.wb.
            Puji syukur kehadirat  Allah SWT karena dengan limpahan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Definisi Ja’alah” tepat pada waktunya. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan pengikut beliau hingga akhir zaman. Aamiin…
            Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran konstruktif dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini di kemudian hari. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini. Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya. Aamiin...
Wassalamu’alaikum. Wr. Wb.
                                                                                                   


Pringsewu, 06 November 2018



Penulis

















DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR…………………………………………………………………….  i
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………  ii
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………….... 1

A.    Latar Belakang…………………………………………………………………………. 1
B.     Rumusan Masalah……………………………………………………………………..   1
C.     Tujuan……………………………………………………………………………….....  2

BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………………. 3
A.    Pengertian Ja’alah…………………………………………………………………         3
B.     Landasan Hukum………………………………………………………………....         4
C.     Rukun dan Syarat……………………………………………………….………..          6
D.    Sebab-sebab gugurnya akad Ja’alah………………………………………………….    9

BAB III PENUTUP…………………………………………………………………..........12
A.    Kesimpulan……………………………………………………………………………   12
B.     Saran…………………………………………………………………………………..   12

DAFTAR PUSTAKA


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ja'alah

Menurut bahasa ja'alah berarti mengupah. secara syara' sebagaimana dikemukakan oleh sayyid sabiq dalam bukunya yang berjudul fiqh al-sunnah:
عقد على منفعة يظن حصؤ له   
Artinya:"sebuah akad untuk mendapatkan materi (upah) yang diduga kuat dapat diperoleh".
Dalam istilah lain, ja'alah selalu pula diartikan dengan "sayembara". Secara istilah, menurut madzhab malikiyyah, ja'alah adalah akad sewa (ijarah) atas suatu manfaat yang belum diketahui keberhasilannya (terdapat probabilitas atas keberhasilan atau kegagalan dalam menjalankan suatu pekerjaan).

B. Hukum Ja'alah     
                                         
Ja'alah termasuk salah satu jenis akad yang hukumnya jaiz (diperbolehkan) oleh sebagian ulama, tetapi sebagian lain ada pula yang tidak mengizinkan akad jenis ini. Perbedaan pandangan ini dapat diterima, karena akad dalam lapangan ja'alah tidak sama dengan pelaksanaann akad ijarah yang murni merupakan upah tanpa ada unsur untung-untungan.
Menurut ulama Malikiyyah, Syafi'iyyah, dan Hanabalah, secara akad ja'alah diperbolehkan. 
Para ulama yang berpendirian bahwa transaksi ja'alah itu diperbolehkan berargumentasi bahwa secara historis Rasulullah memperbolehkan menerima upah atas pengobatan kepada seseorang dengan mempergunakan ayat-ayat al-Qur'an, seperti dengan ayat-ayat dalam surat al-Fatihah. Namun yang perlu dicatat disini ialah bahwa kebolehan itu hanya berlaku bila diperlukan, dalam arti bahwa kebolehannya itu bukanlah mutlak sebagaimana kebolehan dalam lapangan ijarah. Alasan lain yang mereka pakai ialah firman Allah dalam surat Yusuf ayat 72 yang berbunyi:
ؤ لمن خاء به  حمل بعير ؤ ا نا به زعيم   
"Dan siapa yang dapat mengembalikannya akan menperoleh bahan makanan beban unta, dan aku menjamin terhadapnya".
Menurut madzhab Hanafiyyah, akad ja'alah tidak diperbolehkan, karena mengandung unsur gharar  didalamnya. Yakni ketidakjelasan atas pekerjaan dan jangka waktu yang ditentukan.Hal ini ketika dianalogkan (qiyas) dengan akad ijarah yang mensyaratkan adanya kejelasan atas pekerjaan, upah dan jangka waktu. Namun demikian, ada sebagian ulama hanafiyyah yang memperbolehkannya, dengan dasar istihsanan (karena ada nilai manfaat).


C. Perbedaan antara ja'alah dan ijarah

Akad ja'alah berbeda dengan akad ijarah, terutama terkait dengan kesepakatan yang terdapat didalamnya. Perbedaan tersebut dapat dilihat dalam poin berikut:
Pemilik pekerjaan (ja'il) baru akan merasakan manfaat, ketika pekerjaan telah usai dilaksanakan, seperti ditemukannya aset yang hilang, atau hilangnya penyakit yang diderita. Berbeda dengan ijarah, penyewa (musta'jir) bisa nenerima manfaat, ketika ajur telah melakukan sebagian pekerjaannya. Konsekuensinya, pekerja dalam akad ja'alah tidak akan menerima upah, jika pekerjaannya tidak selesai. Sedangkan dalam ijarah, 'amil (pekerja,ajir) berhak mendapatkan upah atas pekerjaan yang telah dikerjakan, walaupun belum tuntas.
akad ja'alah mengandung unsur gharar didalamnya, yakni ketidakjelasan jenis pekerjaan dan jangka waktu yang dibutuhkan, harus dijelaskan secara detail. Akad ijarah harus dibatasi dengan waktu, berbeda dengan ja'alah. Yang terpenting adalah selesainya sebuah pekerjaan, tidak bergantung pada pembatasan waktu.
Dalam akad ja'alah tidak diperbolehkan mensyaratkan adanya pembayaran upah dibayar dimuka. Berbeda dengan akad ijarah, upah bisa dipersyaratkan untuk dibayar dimuka.
Akad ja'alah bersifat jaiz gharar lazim (diperbolehkan dan tidak mengikat), sehingga boleh dibatalkan. Berbeda dengan akad ijarah bersifat lazim (mengikat), dan tidak bisa dibatalkan sepihak.(zuhaili, 19989,IV,hal. 786).

D. Rukun Ja'alah

Rukun ja'alah ada empat yaitu:

1. Pemberi Ja'alah
Ia harus memiliki dua syarat kualitatif:
pertama, memiliku kebebasan berbuat dengan syarat semua tindakannya sah dengan apa yang dilakukannya sebagai upah baik dia sebagai pemilik atau bukan, termasuk didalamnya wali dan tidak termasuk anak kecil, orang gila dan idiot.
kedua, mempunyai pilihan, jika dipaksa, maka akad tidak sah.

2. Pekerja
Ia harus memenuhi beberapa syarat:
pertama, mempunyai izin untuk bekerja dari orang yang punya harta, jima ia bekerja tanpa ada izin darinya seperti ada harta yang hilang lalu dia menemukannya atau hewan yang tersesat lalu dia mengembalikan kepada pemiliknya, maka dalam hal ini dia tidak berhak mendapat ja'alah sebab dia memberikan bantuan tanpa ada ikatan upah, maka dia tidak berhak dengan upah itu, adapun jika diizinkan olehl si pemilik harta dan disyaratkan ada ja'alah-nya lalu dia bekerja, maka dia berhak mendapatkan ja'alah, sebab si pemilik harta menerima manfaat dari usahanya dengan akad ja'alah, maka si pekerja pun berhak dengan ja'alah itu sama seperti orang yang disewa.

kedua, hendaklah si pekerja orang yang memang ahli dengan pekerjaan itu jika memang dijelaskan bentuknya, maka sah akad ja'alah dengan orang yang memang ahlinya walaupun masih anak-anak, gila atau yang sedang dicabut haknya karena idiot berbeda dengan anak kecil yang tidak sanggup bekerja sebab manfaatnya tidak ada dan memberikan akad ja'alah kepadanya sama dengan menyewa orang yang buta untuk menjaga sesuatu.

Si pekerja boleh bukan orang tertentu seperti ucapannya: "Siapa yang bisa mengembalikan hewanku yang hilang, maka dia berhak mendapat begini," jika dia mengembalikannya, maka dia berhak mendapat ja'alah yaitu upah yang tidak didengar oleh orang yang mengembalikan dari mulut si pemberi ja'alah langsung namun dia mendengarnya dari orang yang dia yakini kejujurannya.

ketiga, si pekerja tidak berhak mendapatkan upah kecuali jika sudah selesai bekerja, jika disyaratkan untuk mengembalikan unta yang lari lalu dia mengembalikannya sampai ke pintu rumah kemudian lari lagi atau mati sebelum diterima oleh si pemberi ja'alah, maka dia tidak berhak mendapatkan sesuatu dari ja'alah yang ada sebab maksud dari akad adalah mengembalikan, dan upah sebagai bayarannya dan disini tidak ada hasil.

3. Upah

upah dalam ja'alah harus memenuhi syarat sebagai berikut:
Pertama, berupa harta yang memang menjadi maksud untuk dimiliki, terhormat, atau hak khusus dan jika bukan yang menjadi tujuan dari memiliki seperti darah dan lainnya, maka tidak boleh.
Kedua, harus diketahui sebab dia adalah bayarab, maka harus ada pengetahuan tentangnya seperti upah dalam akad sewa, seandainya tidak diketahui seperti ucapannya siapa yang mengembalikan hartaku atau hewanku yang hilang, maka dia mendapat baju atau saya beri dia sesuatu, ini tidak sah sebab akad ja'alah adalah akad saling ganti dan tidak boleh dengan ganti (upah) yang tidak jelas sama dengan akad nikah.
Jika disyaratkan upah yang tidak pasti lalu dia tetap bekerja, maka si pekerja berhak dengan upah standar kerja, sebab setiap akad yang wajib memberikan upah dalam akad yang sahnya, maka wajib dengan upah yang serupa untuk akad yang rusak, seperti jual beli dan nikah, sebab akad ini diperbolehkan untuk keperluan, dan tidak ada keperluan terhadap sesuatu yang tidak diketahui berbeda dengan pekerjaan, karena tidak diketahuinya upah bisa menghilangkan maksud dari akad, atau membuat orang tidak mau bekerja karena upahnya tidak jelas.

Istilah kenal atau tahu dengan upah bisa melalui penglihatan langsung jika memang sudah ditentukan, atau dengan ciri jika masih ada dalam tanggungan, seandainya dia berkata: "siapa yang mengembalikan hewanku yang hilang, maka dia berhak mendapatkan apa yang dibawa oleh hewan tersebut," dan yang dibawa hewan itu memang diketahui seperti pelana, tali kekang atau sesuatu yang lain yang dibawa oleh hewan tersebut dan diketahui oleh si pekerja, maka hukumnya boleh jika dia tahu dan kalau tidak, maka tidak boleh.

 Kesimpulannya bahwa disyaratkan dalam upah sama dengan apa yang disyaratkan dengan harga barang,  apa yang tidak sah untuk dijadikan ja'alah. Dan si pekerja berhak mendapatkan bayaran standar gaji akad yang tidak diketahui bayaranny, dan najis yang dimaksud seperti arak, kulit bangkai, jika bukan yang termasuk tujuan dari pemilikan seperti darah, maka tidak ada upah bagi si pekerja.

4. Pekerjaan

pekerjaan dalam ja'alah harus memenuhi syarat berikut:
Pertama, pekerjaan yang ditawarkan memiliki tingkat kesusahan, maka tidak ada upah bagi pekerjaan yang tidak ada beban seperti ucapannya siapa yang menunjukkan harta saya, maka dia menfapatkan begini, lalu ditunjukkan hartanya yang ada ditangan orang lain sebab apa yang dibebankan padanya tidak perlu ada bayarannya.

Kedua, pekerjaan yang ditawarkan kepadanya bukan satu pekerjaan yang wajib bagi si pekerja secara syar'i, jika ia wajib secara syar'i lalu dia mengembalikannya, maka dia berhak mendapatkan upah, jika dia mengatakan siapa yang mengembalikan hartaku, maka dia mendapatkan begini, kemudian dikembalikan oleh orang yang memang wajib untuk mengembalikannya karena dia seorang perampas dan yang lainnya, maka dia tidak berhak mendapatkan upah yang telah disebutkan sebab sesuatu yang wajib baginya secara syar'i tidak ada upah jika dikerjakan.

Ketiga, hendaklah si pekerja menyerahkan barang yang akan dikembalikan kepada pemiliknya, seandainyaa ia rusak sebelum diserahkan walaupun sudah masuk rumah si pemilik namu. belum diserahkan, maka tidak ada ganti.
Tidak ada perbedaan dalam pekerjaan antara sudah diketahui atau tidak dan susah mengetahuinya karena mebutuhan seperti dalam akad bagi hasil bahkan lebih susah lagi, jik tidak susah mengetahuinya, maka perlu dirincikan, dalam hal membangum tembok perlu dijelaskan tempat, panjang, lebar dan ketinggian dan bahkan materialnya, dan untuk jahitan perlu dijelaskan coraknya, dan jenis kainnya sama seperti akad sewa.

Jika sudah diketahui, maka tidak ada keraguan lagi akan sahnya akad, seperti ucapannya: "Siapa yang bisa mengembalikan kepadaku hewanku yang hilang dari tempat begini, maka baginya begini" dan inilah yang paling baik.
Ada yang mengatakan, bahwa setiap pekerjaan yang diketahui, terperinci tidak boleh dibiarkan walaupun dengan akad sewa.

5. Sighat (Ucapan)

Ucapan ini datang dari pihak pemberi ja'alah sedangkan dari pihak si pekerja, maka tidak disyaratkan ada ucapan dan dengan ada qabul darinya dengan ucapan walaupun barangnya sudah jelas sebab yang dinilai adalah pekerjaannya sama dengan akad perwakilan, dan tidak batal seandainya dia menjawab, ya seandainya ia menjawab kepadanya saya akan kembalikan hewanmu atau mobilmu dan saya mendapat bayaran satu dinar kemudian si pemberi ja'alah berkata ya atau menjawabnya, maka sudah dianggap cukup.
shighat (ucapan) dijadikan rukun sebab akad ja'alah merupakan akad saling memberi dan penetapan syarat ucapan berarti tidak ada penentuan waktu seban penentuan waktu bisa menyebabkan hilangnya tujuan dari akad ja'alah, seandainya ia berkata siapa yang menhembalikan hewanku sampai bulan begini, maka akad tidak sah sam seperti akad qiradh. sebab penentuan waktu bisa merusakkan tujuan akad, bisa jadi dia tidak mendapatkannya sehinhga pekerjaannya sia-sia dan tidak mencapai hasil.

E. Syarat Ja’alah

Upah dalam ja’alah berupa harta yg diketahui jenis dan ukurannya karena upah yang tidak diketahui tidak sesuai dengan tujuan transaksi ja’alah.

F. Sebab-Sebab Gugurnya Akad Ja'alah

Dari segi  wajib dan bolehnya, akad bisa dibagi menjadi tiga bagian:
Pertama, wajib bagi kedua belah pihak yang berakad secara pasti seperti akad jual beli, sewa, salam, damai, pemindahan utang, bagi hasil perkebunan, hibah selain anak setelah diterima dan akad khuluk (meminta cerai).
Akad lain yang berkekuatan wajib bagi kedua belah pihak menurut pendapat yang lebih kuat antara lain akad nikah.  Ia wajib bagi pihak wanita secara pasti dan juga dari pihak lelaki menurut pendapat yang lebih kuat, dan kekuasaannya untuk menjatuhkan talak bukan sebagai fasakh.
Kedua, wajib bagi salah satu pihak dan boleh bagi pihak yang lain secara pasti seperti akad gadai, hibah kepada anak setelah menerima, akad jaminan dan asuransi.
Ketiga, boleh dari kedua pihak seperti akad syirkah (kongsi), perwakilan, peminjaman, penitipan, dan ja'alah sebelum pekerjaan selesai.
Dengan begitu boleh bagi siapa saja dari meraka berdua untuk membatalkan akad sebelum ia pekerjaan selesai sebab akad ini bersifat boleh dari kedua belah pihak, adapun dari aspek ja'alah dikarenakan terkait dengan hak milika dengan syarat sehingga mirip dengan akad wasiat.
Dari aspek pekerja, sebab pekerjaan yang ada tidak diketahui, jika keadaanya begitu, maka tidak menjadi wajib sama seperti akad qiradh, dan fasakh bisa terjadi jika si pekerja dari awal jika pekerjaannya jelas berbeda dengan lainnya, tidak bisa dibayangkan ada fasakh kecuali setelah dia memulai bekerja.
Yang dimaksud dengan fasakh mengangkat akad dan mengembalikannya oleh salah satu pihakl yang berakad atau kedua-duanya dan dengan itu semua kesepakatan mereka berakhir, sedangkan jika fasakh terjadi setelah bekerja, maka tidak ada pengaruh fasakh karena ja'alah sudah wajib dan menjadi miliknya.
Sebagaimana akad ja'alah bisa berakhir dengan fasakh dari salah satu pihak yang berakad seperti yang sidah dijelaskan juga bisa berakhir dengan meninggalnya salah satu pihak uang berakad, atau karena gila atau pingsan, seandainya pemilik harta meninggal setelah pekerjaan dimulai lalu dia mengembalikannya kepada ahli warisnya, maka dia berhak mendapatkan upah kerja selama si pemilik harta masih hidup.
Jika sipekerja meninggal kemudian diserahkan oleh ahli warisnya, maka mereka berhak mendapatkan upah yang sudah disepakati.
Jika si pekerja membatalkan akad sebelum ia memulai pekerjaan atau setelah dimulai, maka tidak ada hak upah baginya seban dia belum mengerjakan apa-apa dalam contoh pertama dan dia baru bisa mendapatkan ja'alah pekerjaan selesai untuk contoh yang kedua dan dia mengakhirinya dengan pilihan sendiri.
Jika si pemilik harta membatalkan akad setelah pekerjaan dimulai, mak dia berhak mendapat upah standar harian karena usahanya karena bolehnya dia memberikan akad kepada si pekerja menyebabkan dia mempunyai kuasa untuk membatalkan akad, dan jika akad batal, maka upah yang sudah disepakati tidak wajib baginya sama dengan semua bentuk pembatalan namun pekerjaan si pekerja terjadi secara terhormat dengan begitu tidak boleh dibatalkan dengan fasakh dari pihak lain, dengan begitu dia berhak mendapat upah lain berupa upah standar harian sama seperti akad sewa jika dibatalkan dengan adanya aib dan inilah pendapat yang lebih kuat.
Ada yang mengatakan, si pekerja tidak mendapatkan apa-apa sama dengan jika dia membatalkan akad sendiri. Tidak ada perbedaan antara pendapat ini dengam apa perbuatan si pekerja yang tidak bisa meraih apa yang menjadi tujuan akad seperti mengembalikan hewan yang tersesat sampai setengah perjalanan atau hanya mendapat sebagiannya seperti seseorang yang berkata  kepada orang lain: "Jika kamu mengajari anakku al-Qur'an maka kamu mendapat begini," kemudian dia melarangnya mengajar dan ini tidak bertentangan dengan apa yang sudah disebutkan dimana kita mengatakan: "Jika si pekerja atau pemilik meninggal dunia ketika pekerjaan sedang dilakukan, maka akad berakhir dan pekerja berhak mendapatkan bagian upah dari hari yang sudah ditetapkan" sebab orang yang memberikan akad ja'alah telah menggugurkan upah yang sudah disepakati disini dengan adanya fasakh berbeda dengan masalah yang diatas.
Namun apakah si pemilik harta berhak menambah atau mengurangi ja'alah yanv sudah disepakati? Ya, boleh baginya melakukan itu sebelum pekerjaan selesai baik sebelum memulai bekerja atau setelahnya seperti bolehnya dalam akad jual beli pada saat khiyar bahkan yang ini lebih utama seperti dia mengatakan siapa yang mengembalikan hewanku yang hilang, maka dia berhak mendapat sepuluh juneh mesir kemudian dia berkata lagi, baginya lima atau sebaliknya, maka penilaian memenangkan pendapat kedua dari dua ucapannya dan ini jika dia si pekerja mendengar namun jika dia tidak mendengar, atau setelah pekerjaan dimulai, maka harus ada upah standar harian bagian si pekerja yang menjadi tanggung jawab sebab panggilan terakhir berupa fasakh untuk yang pertama dan fasakh dari pihak pemilik harta pada saat pekerjaan berjalan berarti ada hak menukarnya dengan upah standar harian dan inilah pendapat yang rajih (unggul) menurut Imam Ghazali. Sedangkan Imam Al-Mawardi Rauyani dia berhak untuk mengambil upah yang pertama dan diakui oleh As-Subki dan Al-Balqini dan yang lainnya.
Si pekerja berhak mendapatkan upah standar harian jika dia belum mendengar setelah memulai kerja tidak bertentangan karena dia mengerjakan sesuatu setelah fasakh, maka ia tidak berhak mendapat upah. Sebab dia mengerjakan sesuatu setelah fasakh tanpa ada ganti berbeda dengan masalah yang ini.
Perubahan pada barang yang terjadi setelah pekerjaan selesai tidak berpengaruh, sebab ja'alah sudah wajib baginya, wajibnya ja'alah tergantung dengan kesempurnaan pekerjaan, oleh sebab itu Imam An-Nawawi berkata: "Seandainya hewan yang tersesat mati ditengah perjalanan atau lari, maka si pekerja tidak mendapat apa-apa walaupun sudah berada dirumah si pemilik sebelum diserahkan sebab dia belum mengembalikannya."
Dikecualikan dari hal ini seandainya dia menyewa orang untuk menghajikannya kemudian ia melaksanakannya dengan sebagian amalan haji lalu meninggal, maka dia berhak mendapatkan upah sesuai dengan pekerjaan yang sudah diselesaikannya.
Perbedaan antar keduanya, pertama, tujuan dari haji adalah pahala dan dia sudah mendapatkannya dengan sebagian amalan haji, dan disini dia tidak mendapatkan tujuannya dan inilah perbedaan pertama.
Perbedaan kedua, akad sewa adalah akad wajib yang dengannya dia akan mendapatkan sesuatu sedikit sedangkan akad ja'alah akad boleh yang bisa menetapkan satu hak kecuali dengan syarat dan disini tidak ada.




































KESIMPULAN

ja'alah adalah akad sewa (ijarah) atas suatu manfaat yang belum diketahui keberhasilannya (terdapat probabilitas atas keberhasilan atau kegagalan dalam menjalankan suatu pekerjaan). Ja'alah termasuk salah satu jenis akad yang hukumnya jaiz (diperbolehkan). Akad ja'alah berbeda dengan akad ijarah, terutama terkait dengan kesepakatan yang terdapat didalamnya. Rukun ja’alah diantaranya yaitu pemberi ja’alah, pekerja, upah, pekerjaan. Dan sighat, dan adapun syarat ja;alah yaitu harta yg diketahui jenis dan ukurannya. Sedangkan sebab-sebab yang bisa menggugurkan akad ja’alah bisa dilihat dari segi  wajib dan bolehnya.















DAFTAR PUSTAKA

  Rahman, Abdul Ghozali dkk, 2010, fiqh muamalat,jakarta:kencana prenada    media group.
  Karim, Helmi, 1997, fiqh muamalal,jakarta:PT grafindo persada.
  Djuawaini, Dimyaudin. 2008,  pengantar fiqh muamalah, yogyakarta:pustaka pelajar.
  Mardani. 2012, fiqh ekonommi syariah  jakarta: kencana  prenada media group.
  ,Aziz,Abdul. 2008.  pengantar fiqh muamalat, Jakarta: Amzah.





                                         




[1] abdul rahman ghozali dkk,fiqh muamalat,(jakarta:kencana prenada media group,2010),cet1.hlm.141
[2] helmi karim,fiqh muamalal,(jakarta:PT grafindo persada,1997),cet2.hlm.45
[3] Dimyaudin, Djuawaini.pengantar fiqh muamalah,(yogyakarta:pustaka pelajar.2008),cet1.hlm.165
[4] helmi karim,fiqh muamalal,(jakarta:PT grafindo persada,1997),cet2.hlm.45
[5] Dimyaudin, Djuawaini.pengantar fiqh muamalah,(yogyakarta:pustaka pelajar.2008),cet1.hlm.165
[6] helmi karim. fiqh muamalah(jakarta:PT raja grafindo persada.1997). cet2. hlm.45-46
[7] Dimyaudin, Djuawaini.pengantar fiqh muamalah,(yogyakarta:pustaka pelajar.2008),cet1. hlm.166
[8] Ibid.hlm.167-168
[9] Abdul, Aziz. pengantar fiqh muamalat, (Jakarta: Amzah.2008), cet1. hlm.341-345


[10] Abdul, Aziz. pengantar fiqh muamalat, (Jakarta: Amzah.2008), cet1. hlm.341-345

 



0 Response to "Makalah Fiqih Muamalah III Ju'alah"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel