Hukum Acara Perdata
Thursday, February 7, 2019
Add Comment
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Sudah merupakan sunnatullah, manusia diciptakan oleh tuhan
untuk hidup bersama dengan manusia lainya serta bersama mahluk dan lingkungan
sekitarnya untuk bermasyarakat dan menjaga hak dan kewajibanya atas diri dan
sesama. Dalam hidup bermasyarakat ini mereka saling menjalin hubungan yang
sifat dan jumlahnya tidak terhinga.
Dalam hidup, masing-masing orang kadang memiliki kepentingan
yang berbeda antara yang satu dengan yang lainya. Adakalanya kepentingan mereka
saling bertentangan, yang kadang menimbulkan sengketa, untuk menghindarkan
gejala tersebut, mereka mencari jalan untuk mengadakan tata tertib, yaitu
dengan membuat ketentuan atau kaidah hukum yang harus ditaati oleh setiap
angota masyarakat. Sehingga kepentingan angota masyarakat lainya akan terjaga
dan terlindungi, apabila kaidah hukum itu dilanggar, maka kepada yang
bersangkutan akan diberikan sanksi atau hukuman. Yang dimaksud dengan
kepentingan disini adalah hak-hak dan kewajiban perdata yang diatur dalam hukum
perdata materiil atau lazim disebut sebagai hukum acara perdata.
Hukum acara perdata adalah sekumpulan peraturan yang membuat
bagaimana caranya orang bertindak di depan pengadilan, bagaimana caranya pihak
yang terserang kepentinganya mempertahankan diri, bagaimana hakim bertindak
sekaligus memutus perkara dengan adil, bagaimana melaksanakan keputusan hakim
yang kesemuanya bertujuan agar hak dan kewajiban yang telah diatur dalam hukum
perdata materiil itu dapat berjalan dengan semestinya, sehingga terwujud
tegaknya hukum dan keadilan.
Dengan demikian kedudukan hukum acara perdata amat penting,
karena adanya hukum acara perdata, masyarakat merasa adanya kepastian hukum
bahwa setiap orang berhak mempertahankan hak perdatanya dengan sebaik-baiknya
dan setiap orang yang melakukan pelangaran terhadap hukum perdata yang
mengakibatkan kerugian pada orang lain dapat dituntut melalui pengadilan.
Selain itu hukum acara perdata juga berfungsi untuk menegakan, mempertahankan
dan menjamin ditaatinya ketentuan hukum materiil dalam praktik melalui
perantaraan peradilan. Dengan hukum acara perdata diharapkan akan tercipta
ketertiban dan kepastian hukum dalam masyarakat.
1.2.
Rumusan Masalah
Adapun
rumusan masalah yang dapat kita tarik dari latar belakang diatas adalah :
·
Apa Pergertian dari Hukum Acara
Perdata, sifat-sifat, dan azas-azasnya, kemudian sejarah singkat hokum acara
perdata di Indonesia
1.3.
Manfaat Penulisan
Dalam segala hal yang di buat manusia pasti mempunyai
tujuan yang akan di ingin di capai. Begitu pula dengan makalah ini.
Makalah ini mempunyai tujuan di antaranya: Untuk mengetahui secara mendetail
mengenai Hukum Acara Perdata.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Hukum Acara
Perdata
Hukum acara perdata adalah rangkaian-rangkaian
peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap
dan di muka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak, satu
sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.
Putusan hakim merupakan bagian dari hukum acara perdata yang meliputi arti putusan hakim, susunan, macam-macam dan putusan oleh karena itu penulis merasa tertarik untuk membahas dalam makalah ini.
Putusan hakim merupakan bagian dari hukum acara perdata yang meliputi arti putusan hakim, susunan, macam-macam dan putusan oleh karena itu penulis merasa tertarik untuk membahas dalam makalah ini.
Berikut adalah beberapa pengertian
Hukum Acara Perdata menurut beberapa pakar, Pada dasarnya semua artian atau
pengertian dari pada Hukum Acara Perdata memang searah, maksud dari searah itu
nyaris sama karena memang satu tujuan/ untuk satu arti. Berikut pemaparannya:
a. Menurut Sudikno Mertokusumo
Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yg mengatur
bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan
hakim.
b. Menurut Retnowulan Sutantio
Hukum Acara Perdata disebut juga
hukum perdata formil yaitu kesemuanya kaidah hukum yg menentukan dan mengatur
cara bagaimana melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata sebagaimana
yg diatur dalam hukum perdata materiil
•
Hukum formil atau hukum
acara adalah kumpulan ketentuan-ketentuan dengan tujuan
memberikan pedoman dalam usaha mencari kebenaran dan keadilan
bila terjadi perkosaan atas suatu ketentuan hukum dalam hukum materiil yang
berarti memberikan kepada hukum dalam hukum acara suatu hubungan yang
mengabdi kepada hukum materiil.
•
Hukum Acara adalah serangkaian
langkah yang harus diambil seperti yang dijelaskan oleh undang-undang pada saat
suatu kasus akan dimasukkan ke dalam pengadilan dan kemudian diputuskan oleh
pengadilan.
•
Hukum
Acara Perdata merupakan keseluruhan peraturan yang bertujuan melaksanakan dan
mempertahankan atau menegakkan hukum perdata materiil dengan perantaraan
kekuasaan negara. Perantaraan negara dalam mempertahankan dan menegakkan hukum
perdata materiil itu terjadi melalui peradilan. Cara inilah yang disebut dengan
Litigasi.
2.2. Sejarah Singkat
Hukum Acara Perdata Di Indonesia
Pada
mulanya pemerintah Hindia Belanda tidak mempunyai peraturan khusus
tentang Hukum Acara yang diperuntukkan kepada rakyat Bumi Putra yang berperkara
di Pengadilan, tetapi karena kebutuhan yang sangat mendesak pemerintah Hindia
Belanda mempergunakan Soh, 1119 No. 20 dengan sedikit penambahan dan perubahan
yang ti ak begitu berarti. Sementara itu. Mr. H. L. Wichers yang menjabat Ketua
Mahkamah Agung Hindia Belanda (Hooggerechtshof) yang berkeduclukan &
Batavia (sekarang Jakarta) melarang dalam praktek pengadilan mempergunakan
Hukum Acara Perdata yang dipergunakan golongan Eropa kepada rakyat Bumi Putra
tanpa dilandasi dengan aturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan hal
tersebut terjadi kekosongan hukum acara dalam praktek peradilan untuk golongan
Bumi Putra. sehingga pemerintah Hindia Belanda merasa perlu membuat hukum acara
khusus yang diberlakukan untuk golongan Bumi Putra agar dipergunakan oleh hakim
dalam melaksanakan tugas-tugas yang di bebankan kepadanya.
Dengan
beslit Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen No. 3 tahun 1846 tanggal 5
Desember 1846, Mr. H.L. Wichers clitunjuk dan ditugaskan untuk menyusun sebuah
reglemen tentang administrasi. polisi, acara perdata dan acara pidana bagi
golongan pribumi atau Bumi Putra yang waktu itu terhadap mereka berlaku
Stb.1819 No. 20 yang memuat 7 (tujuh) pasal yang berhubungan dengan Hukum Acara
Perdata. Tugas tersebut dilaksanakan dengan baik oleh Mr. H.L Wichers dalam tempo 8 (delapan) bulan lamanya. Pada
tanggal 6 Agustus 1847 rancangan itu disampaikan kepada Gubernur
Jenderal Jan Jacob Rochussen untuk dibahas
lebih lanjut dengan pakar hukum yang bertugas di Mahkamah Agung Hindia
Belanda pada waktu itu. Dalam sidang pembahasan di Mahkamah Agung Hindia
Belanda tersebut, berkembang pikiran bahwa rancangan yang disusun oleh Mr. H.L.
Wichers itu terlalu sederhana, mereka
menghendaki agar dalam rancangan tersebut supaya ditambah dengan lembaga
penggabungan jaminan, interventie dan reques civil sebagaimana yang terdapat
pada Rv. yang diperuntukkan pada golongan Eropa. (Supomo :1963:5 don Abdul
Kadir Muhammad, SH.: 1978:20).
Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen tidak setuju
atas penambahan
sebagaimana tersebut di atas, terutama hat yang tersebut dalam pasal 432 ayat (2). Gubernur
Jenderal Jan Jacob Rochussen hanya
memperbolehkan Hukum Acara Perdata yang dipergunakan untuk golongan Eropa di
pergunakan oleh Pengadilan Gubernemen yang ada di Jakarta, Semarang dan
Surabaya saja dalam mengadili orang-orang Bumi Putra, selebihnya dilarang
dipergunakan untuk golongan Bumi Putra. Sikap Gubernur Jenderal ini didukung
penuh oleh Mr. H.L. Wichers, beliau mengemukakan bahwa kalau dalam rancangan yang dibuat itu ditambah sebagaimana
yang tersebut dalam Rv, sebaiknya Rv saja yang diberlakukan seluruhnya
untuk golongan Bumi Putra itu. Kalau
konse-D rancangan itu ditambah lagi dengan hat-hat yang dianggap tidak begitu penting, dikhawatirkan konsep rancangan
itu bukan akan bertambah jelas tetapi malah akan menjadi kabur dan tidak terang
lagi rancangannya.
Setelah menerima masukan-masukan dari berbagai pihak, terutama atas saran dari Gubernur Jenderal Jan
Jacob Rochussen, ketentuan yang tersebut dalam pasal 432 ayat (2) dirubah,
kemudian ditambah suatu ketentuan penutup
yang bersifat umum yang mengatur berbagai aturan termuat dalam pasal 393
ayat (1) dan (2) sebagaimana tersebut dalam HIR sekarang ini. Pasal ini
merupakan pasal yang sangat penting karena
dalam pasal tersebut dinyatakan dengan tegas bahwa HIR diberlakukan
untuk golongan Bumi Putra, tetapi apabila
benar-benar dirasakan perlu dapat dipergunakan ketentuan lain dalam
perkara perdata meskipun sedikit mirip dengan ketentuan yang tersebut dalam Rv.
Setelah melalui perubahan d1an penambahan
sebagaimana tersebut di atas, akhirnya Gubernur Jenderal Jan Jacob
Rochussen pada tanggal
5 April 1848 menerima rancangan Mr. H.L. Wichers ini dengan menerbitkan Stb. 1848 No. 16 dan dinyatakan berlaku
secara resmi pada tanggal 1 Mei 1848 dengan
sebutan "Reglement Op de Uitoefening
Van de Polite, de Vreemde Osterlingen op Java en Madura" disingkat dengan "Inlandsch Reglement" (IR).
Ketentuan ini akhirnya disahkan dan dikuatkan oleh pemerintah Belanda dengan
firman raja tanggal 29 September 1849, No. 93 Stb. 1849 No. 63. Reglement ini selain diperuntukkan golongan Bumi Putra (pribumi),
juga diperuntukkan bagi golongan Timur Asing di Jawa dan
Madura karena dianggap bahwa orang-orang Timur
Asing itu kecerdasannya disamakan dengan Bumi Putra. (Abdul Kadir
Muhammad, SH.: 1978: 21).
Dalam
perkembangan lebih lanjut Inlandsch Reglement (IR) ini beberapa kali terjadi perubahan. Perubahan penama
dilaksanakan pada tahun 1926 yang
merubah dan menambah beberapa ketentuan :) baru dalam IR tersebut yang
kemudian dirumuskan dengan Stb. 1926 No. 559 jo. 496. Perubahan kedua
dilaksanakan pada tahun 1941. perubahan ini sangat mendasar sehubungan di
bentuknya Lembaga Penuntut Umum yang
anggota-anggotanya tidak lagi di bawah Pamong Praja, melainkan langsung
di bawah Kejaksaan tinggi dan Jaksa Agung
yang berdiri sendiri yang tidak terpecah-pecah (Ondeelbaar) dan togas lembaga tersebut menyangkut soal-soal
pidana sehingga perlu diatur juga
tentang acara pidananya- Oleh karena adanya perubahan yang sangat
mendasar ini. yang dalam bahasa Belandanya disebut "Herzien", maka
sebutan yang semuia 'Wandsch reglement"
diganti namanya menjadi 'Het HeTziene Inlandsch Reglement"
disingkat HIR. Setelah Indonesia Merdeka. HIR disebut juga RIB. singkatan dari
Reglement Indonesia yang di:perbaharui. Pengundangan secara keseluruhan HIR ini dilakukan dengan Stb. 1941
No. 44.
Pada zaman penjajahan Jepang. Berdasarkan
undang-undang Nomor
1 Tahun 1942 pemerintah Balatentara Dai Nippon mulai tanggal 7 Maret 1942 di Jawa dan
Madura memberlakukan ketentuan yang mengatakanbahwa semua Badan pemerintah dan
kekuasannva Hukum dan
Undang-undang dari pemerintah yang dulu tetap diakui sah buat sementara waktu asal saja tidak bertentangan dengan
aturan pemerintah militer. Atas
dasar Undang-undang ini HIR. Bg. masih tetap berlaku. Kemudian pada
bulan April 1942 pemerintah Balatentara Dai
Nippon mengeluarkan peraturan Baru tentang susunan dan kekuasaan
Pengadilan yaitu yang membentuk suatu Pengadilan
untuk tingkat pertama yang Hooin. dan Kootoo Hoon untuk pemeriksaan
tingkat tingkat banding. Kedua macam Peradilan
tersebut di peruntukan kepada semua golongan penduduk tanpa membeda-bedakan orang, kecuali bagi
orang-orang Jepang yang diadili
dengan Pengadilan sendiri. Dengan di hapusnya Raad Van Justitie
dan Residentie Gerech, dengan sendirinya Hukum Acara yang termuat dalam
B.R%-. juga tidak berlaku lagi kecuati untuk rnengisi kekosongan hukum sepanjang diperlukan sedangkan
dalam HIR dan R. Bg. juga tidak diatur. (Wirjono Projodikoro
: 1-962; 25 don Abdul Kadir Muhammad, SH: 1978.24-25).
Ketika Indonesia merdeka sejak tanggal 17 Agustus 1945
kondisi yang
berlaku pada zaman penjajahan Jepang tetap berlaku berdasarkan Aturan Peralihan
pasal II dan IV Undang-Undang Dasar 1945 dan Peraturan Presiden Nomor
2 Tahun 1945 tanggal 10 Oktober 1945. Dengan demikian HIR, dan R.Bg. masih tetap
berlaku sebagai Hukum Acara di
lingkungan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung RI. Kemudian dengan pasal 5 Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang
tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan, susunan,
kekuasaan dan acara Pengadilan-Pengadilan
sipil yang diberlakukan pada tanggal 14 Januari 1951 Lembaran Negara Nomor 9 Tahun 1951 ditentukan bahwa HIR dan R.Bg. sebagai aturan yang harus
dipedomani dalam pemeriksaan perkara
di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung RI.
2.3. Sumber-sumber Hukum Acara
Perdata
Sumber-sumber hukum acara perdata tersebar dalam
berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi yang dapat
dikemukakan sebagai berikut:
1. HIR (Het Herziene
Indonesisch Reglement) atau Reglement Indonesia, S. 1848 No. 16 jo. S. 1941 No.
44. Peraturan ini khusus untuk daerah Jawa dan Madura.
2. RBg. (Rechtsreglement
Buitengewesten) atau Reglement Daerah Seberang, S. 1927 No. 227. Peraturan ini
untuk daerah luar Jawa dan Madura.
3. Rv. (Reglement op de
Burgerlijke Rechtsvordering) S. 1847 No 52 jo. S. 1849 No. 63. Peraturan ini
sebenarnya berlaku untuk peradilan Raad van Justite yang dikhususkan bagi
golongan Eropa, sehingga saat ini sebenarnya sudah tidak berlaku lagi, namun
dalam beberapa hal tetap dijadikan pedoman dalam praktik apabila ketentuan
dalam HIR/RBg. tidak memberikan pengaturan.
4.
B.W. (Burgerlijk Wetboek) buku IV tentang pembuktian dan daluarsa.
5.
UU No. 20 Tahun 1947 tentang banding untuk Daerah Jawa dan Madura.
6.
UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
7.
UU No. 3 Tahun 2009 jo. UU No. 5 Tahun 2004 jo. UU No. 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung.
8.
UU No. 8 Tahun 2004 jo. UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.
9.
Yurisprudensi-yurisprudensi tentang Hukum Acara Perdata.
10.
Doktrin-doktrin yang dikemukakan oleh para sarjana.
2.4. Asas-Asas Dalam Hukum Acara Perdata
Dalam mengajukan gugatan ke pengadilan ada beberapa hal yang
menjadi dasar dalam mengajukan gugatan. Adapun asas-asas dalam hukum acara
perdata adalah sebagai berikut:
1. Asas Hakim Aktif
Hakim sebagai tempat pelarian bagi para pencari keadilan, dianggap bijaksana
dan tahu akan hukum, bahkan menjadi tempat bertanya segala macam soal bagi
rakyat. Seorang hakim diharapkan dapat memberi pertimbangan sebagai orang yang
tinggi pengetahuan dan martabatnya serta berwibawa, dan juga memiliki sifat
yang bijaksana.
Dalam peradilan perdata tugas hakim adalah mempertahankan
tata hukum perdata (burgelijke rechtsorde), menetapkan apa yang
ditentukan oleh hukum dalam suatu perkara (Supomo, 1985:13). Berhubung dengan
tugas tersebut oleh ahli hukum sering kali dipersoalkan mengenai seberapa jauh
hakim harus mengejar kebenaran (waarheid) di dalam memutus perkara.
2.
Asas Hakim Pasif
Selain hakim memiliki sifat aktif, juga memilik sifat pasif,
akan tetapi hanya dalam arti kata bahwa dalam ruang lingkup atau luas pokok
sengketa yang diajukan kepada hakim untuk diperiksa pada asasnya ditentukan
oleh para pihak yang berperkara dan bukan oleh hakim (Sudikno Mertokusumo,
1988: 11).
Pengertian pasif diatas adalah yang dianut oleh sistem hukum
acara perdata dalam HIR/RBg, akan tetapi pengertian pasif menurut regelement
rechtsvordering agak berbeda, yaitu bahwa proses beracara adalah soal kedua
belah pihak yang berperkara, yang memakai proses itu sebagai alat untuk
menetapkan saling hubungan hukumnya dikemudian hari, baik posistif maupun
negatif, sedangkan hakim hanya mengawasi supaya peraturan-peraturan acara yang
ditetapkan dengan undang-undang dituruti oleh kedua belah pihak (Supomo,
1985:18)
3. Asas Terbukanya Pengadilan
Peraturan hukum acara perdata
seperti yang termuat dalam HIR mempunyai sifat yang fleksibel dan terbuka,
sebab HIR itu diciptakan untuk golongan bumiputera yang hukum perdata
materiilnya adalah hukum adat. Hukum adat selalu berdasarkan kenyataan yang
hidup dalam masyarakat (Abdulkadir Muhamad, 1990:24).
Menurut K. Wantjik Saleh (1981:13),
dalam mencontoh lembaga hukum itu, pengadilan menerapkan suatu “ciptaan
sendiri” sehingga merupakan suatu “hukum yurisprudensi”, jadi tanpa menyebutkan
pasal-pasal dari regelement tersebut. Asas terbukanya sidang pengadilan telah
diatur dalam undang-undang kekuasaan kehakiman, yang menentukan: sidang
pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum kecuali Undang-Undang
menentukan lain (Pasal 18 ayat 1 UU No. 5 tahun 2004).
4. Asas Mendengarkan Kedua Belah Pihak
Di dalam hukum acara perdata, kedua
belah pihak haruslah diperlakukan sama, tidak memihak dan didengarkan
bersama-sama. Asas kedua belah pihak harus didengar dikenal dengan asas “audi
et alteram partem atau Eines Mannes Rede ist keines Mannes Rede, man
soll sie horen alle beide”. Hal ini berarti bahwa hakim tidak boleh
menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai benar, bila pihak lawan tidak
didengar atau diberi kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya. Hal ini berarti
juga pengajuan alat bukti harus dilakukan di muka sidang yang dihadiri oleh
kedua belah pihak (Pasal 121, 132 HIR/145, 157 RBg) (Sudikno Mertokusumo,
1988:12).
5. Asas Tidak Ada Keharusan Mewakilkan
HIR/RBg tidak mewajibkan para pihak
untuk mewakilkan kepada orang lain, sehingga pemeriksaan di persidangan terjadi
secara langsung terhadap para pihak yang langsung berkepentingan. Akan tetapi
para pihak dapat dibantu atau diwakili oleh kuasanya kalau dikehendakinya
(Pasal 123 HIR/147 RBg). Dengan demikian hakim tetap memeriksa sengketa yang
diajukan, meskipun para pihak tidak mewakilkan kepada seorang kuasanya (Sudikno
Mertokusumo, 1988:16).
2.5. Sifat/Karakteristik
Hukum Acara Perdata
Hukum acara perdata yang berlaku saat ini sifatnya luwes, terbuka dan
sederhana (tidak formalistis). Para hakim mendapat kesempatan yang
seluas-luasnya untuk mempergunakan hukum yang tidak tertulis disamping
juga hukum yang tertulis sepanjang tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam hukum acara perdata, orang yang merasa (kata “merasa” perlu digaris
bawahi) haknya dilanggar berhak untuk menuntut di pengadilan atau
orang yang “dirasa” melanggar hak dituntut dipengadilan. Dengan kata
“merasa” dan “dirasa” ini menunjukan bahwa belum tentu orang tersebut dilanggar
haknya dan melanggar hak orang lain.
Orang yang merasa haknya dilanggar disebut dengan Penggugat. Sedang orang
yang dirasa melanggar hak Penggugat dan ditarik sebagai pihak dimuka
pengadilan disebut sebagai Tergugat.
Apabila dalam satu perkara terdapat banyak Penggugat, maka disebut dengan
Penggugat I, Penggugat II dan seterusnya yang kesemuanya disebut dengan Para
Penggugat. Demikian juga dengan Tergugat disebut dengan Tergugat I, Terugat II
dan seterusnya yang kesemuanya disebut dengan Para Tergugat.
Sedangkan apabila terdapat pihak yang dalam praktek disebut dengan Turut
Tergugat yang merupakan pihak yang tidak menguasai barang sengketa tapi harus
diikutsertakan untuk melengkapi gugatan dan biasanya hanya berkewajiban untuk
mematuhi isi putusan.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
ü Hukum
formil atau hukum acara adalah kumpulan ketentuan-ketentuan
dengan tujuan memberikan pedoman dalam usaha mencari kebenaran dan
keadilan bila terjadi perkosaan atas suatu ketentuan hukum dalam hukum
materiil yang berarti memberikan kepada hukum dalam hukum acara suatu
hubungan yang mengabdi kepada hukum materiil.
ü hukum
acara adalah serangkaian langkah yang harus diambil seperti yang dijelaskan
oleh undang-undang pada saat suatu kasus akan dimasukkan ke dalam pengadilan
dan kemudian diputuskan oleh pengadilan.
ü Hukum Acara Perdata merupakan keseluruhan peraturan yang
bertujuan melaksanakan dan mempertahankan atau menegakkan hukum perdata
materiil dengan perantaraan kekuasaan negara. Perantaraan negara dalam mempertahankan
dan menegakkan hukum perdata materiil itu terjadi melalui peradilan. Cara
inilah yang disebut dengan Litigasi.
ü Hukum
acara perdata yang berlaku saat ini sifatnya luwes, terbuka dan sederhana
(tidak formalistis). Para hakim mendapat kesempatan yang seluas-luasnya
untuk mempergunakan hukum yang tidak tertulis disamping juga hukum yang
tertulis sepanjang tidak bertentangan dengan UUD 1945.
DAFTAR PUSTAKA
Kitab Undang Udang Hukum Perdata
Mertokusumo, Sudikno. 2006. Hukum Acara Perdata Indonesia.
(Yogyakarta : Liberty. Edisi VII)
Mr. C. Asser’s Handleiding tot de beoefening van het
Nedherlands Burgerlijk Recht, Vijfde Deel : Van Bewijs, N.V. Uigevers
Maatschappij, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle. 1953.
Reglement Biusten Govesten (RBg)
Yahya, M. Harahap, 2011. Hukum Acara Perdata.
(Jakarta : Sinar Grafika)
Moh.
Taufik Makaro, SH. MH, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, 2004. Jakarta:
PT. Rineka Cipta
0 Response to "Hukum Acara Perdata"
Post a Comment