Hukum Peradilan Tata Usaha Negara


BAB 11

Hukum Acara PTUN adalah: seperangkat peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan, serta cara pengadilan bertindak satu sama lain untuk menegakkan peraturan HAN (materiil). Hukum Acara PTUN dapat pula disebut dengan Hukum Acara Peradilan Administrasi Negara.
          Secara sederhana Hukum Acara diartikan sebagai Hukum Formil yang bertujuan untuk mempertahankan Hukum Materil. Hal-hal yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya di atas, merupakan ketentuan-ketentuan tentang Hukum Materil di Peratun. Sementara itu mengenai Hukum Formilnya juga diatur dalam UU No. 5 tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004, mulai dari Pasal 53 s/d Pasal 132.Penggabungan antara Hukum Materil dan Hukum Formil ini merupakan karakteristik tersendiri yang membedakan Peradilan TUN dengan Peradilan lainnya. Untuk mengantarkan pada pembahasan tentang Hukum Acara di Peratun ini, terlebih dahulu akan diuraikan hal-hal yang merupakan ciri atau karakteristik Hukum Acara Peratun sebagai pembeda dengan Peradilan lainnya, khususnya Peradilan Umum (Perdata)Sengketa Tata Usaha Negara dikenal dengan dua macam cara antara lain:
Melalui Upaya Administrasi (vide pasal 48 jo pasal 51 ayat 3 UU no. 5 tahun 1986)
Upaya administrasi adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh dalam menyelesaikan masalah sengketa Tata Usaha Negara oleh seseorang atau badan hokum perdata apabila ia tidak puas terhadap suatu Keputusan tata Usaha Negara, dalam lingkungan administrasi atau pemerintah sendiri.Bentuk upaya administrasi:
1.  Banding Administratif, yaitu penyelesaian upaya administrasi yang dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan Keputusan yang bersangkutan.
2.  Keberatan, yaitu penyelesaian upaya administrasi yang dilakukan sendiri oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan itu.

II. Melalui Gugatan (vide pasal 1 angka 5 jo pasal 53 UU no. 5 tahun 1986)
Apabila di dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku tidak ada kewajiban untuk menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tersebut melalui Upaya Administrasi, maka seseorang atau Badan Hukum Perdata tersebut dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.[1]
[1]
          Sengketa TUN : Sengketa yang timbul dalam bidang TUN antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat TUN, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya KTUN, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.Badan atau pejabat TUN : Badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan (bersifat eksekutif) berdasarkan peraturan yang berlaku.
Tujuan pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara menurut keterangan pemerintah padasaat pembahasan RUU PTUN adalah:
a. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber dari hak-hak individu
b. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang didasarkan kepada kepentingan bersama dari individu yang hidup dalam masyarakat tersebut. (keterangan pemerintah pada Sidang Paripurna DPR RI. mengenai RUU PTUN tanggal 29 April 1986).[2][2]

ASAS – ASAS HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA[3][3]
          Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai persamaan dengan Hukum Acara Perdata, dengan beberapa perbedaan. Perbedaan – perbedaan itu antara lain :
1.    Peranan hakim yang aktif karena ia dibebani tugas untuk mencari kebenaran materiil
2.    Adanya ketidak seimbangan antara kedudukan Penggugat dan Tergugat (Pejabat Tata Usaha Negara). Dengan mengingat hal ini maka perlu diatur adanya kompensasi, karena diasumsikan bahwa kedudukan Penggugat (orang atau badan hukum perdata), adalah dalam posisi yang lebih lemah dibandingkan Tergugat selaku pemegang kekuasaan publik.
3.    Sistem pembuktian yang mengarah kepada pembuktian bebas.
4.    Gugatan di Pengadilan tidak mutlak bersifat menunda pelaksanaan Keputusan tata Usaha Negara yang digugat.
5.    Putusan hakim tidak boleh melebihi tuntutan Penggugat, tetapi dimungkinkan membawa Penggugat ke dalam keadaan yang lebih buruk sepanjang hal ini diatur dalam Undang-undang.
6.    Putusan hakim tidak hanya berlaku bagi para pihak yang bersengketa, tetapi juga berlaku bagi pihak-pihak yang terkait.
7.    Para pihak yang terlibat dalam sengketa harus didengar penjelasannya sebelum hakim membuat putusannya.
8.    Dalam mengajukan gugatan harus ada kepentingan dari sang Penggugat.
9.    Kebenaran yang dicapai adalah kebenaran materiil denggan tujuan menyelaraskan, menyerasikan, menyeimbangkan kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum.
Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 menyebutkan bahwa hukum acara yang digunakan dalam proses Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai persamaan dengan hukum acara yang digunakan di peradilan umum untuk perkara perdata, namum tidak begitu saja peraturan yang berlaku dalam Hukum Acara Perdata diterapkan dalam proses  Peradilan Tata Usaha Negara, karena hal ini dibatasi dengan prinsip dasar yang berlaku di Peradilan Tata Usaha Negara, terutama yang menyangkut masalah kompetensi (kewenangan mengadili). Peradilan Tata Usaha Negara hanya berwenang mengadili sengketa Tata Usaha Negara, yaitu sengketa antara orang atau badan hukum dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa tentang sah atau tidaknya suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang telah dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
            Gugat balik  (gugat reconvensi) dan gugat mengenai ganti ru gi yang dikenal dalam Hukum Acara Perdata, semestinya tidak ada dalam  Hukum  Acara Peradilan Tata Usaha Negara, karena dalam gugat balik bukan lagi Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat, tetapi adalah warga msasyarakat atau Badan Hukum Perdata. Sedang gugat ganti rugi sengketa tentang kepentingan hak, yang merupakan wewenang Peradilan Umum untuk mengadilinya. Sebaliknya berdasar ketentuan Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang bertibdak sebagai penggugat di Pengadilan Tata Usaha Negara hanyalah orang atau Badan Hukum Perdata, sehingga tidak mungkin terjadi saling menggugat antara sesama Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
          Di Peradilan Tata Usaha Negara juga diberlakukan asas peradilan cepat, murah, dan sederhana semacam asas praduga tak bersalah (presumption of innocent) seperti yang dikenal dalam Hukum Acara Pidana. Seorang Pejabat Tata Usaha Negara tetap dianggap tidak bersalah di dalam membuat suatu keputusan Tata Usaha Negara sebelum ada putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang menyatakan ia salah membuat putusan Tata Usaha Negara.
          Peradilan Tata Usaha Negara juga mengenal peradilan in absentia  se bagaimana berlaku dalam peradilan Tindak  Pidana Khusus, dimana siding berlangsung tanpa hadirnya terugat.
          Menurut Pasal 72 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, bila tergugat atau kuasanya tidak hadir di persidangan 2 kali berturt-turut dan/atau tidak menanggapi gugatan tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, walaupun setiap kali telah dipangil secara patut, maka hakim ketua siding dengan surat penetapan meminta atasan tergugat untuk memerintahkan tergugat hadir dan/atau menanggapi gugatan. Setelah lewat 2 bulan sesudah dikirimakn dengan surat tercatat penetapan dimaksud, tidak dieterima berita, baik dari atasan terugat maupun dari tergugat sendiri, maka hakim ketua siding menetapkan hari siding berikutnya dan pemeriksaan sengketa dilanjutkan menurut acara biasa, tanpa hadir tergugat.Putusan terhadap pokok gugatan dapat dijatuhkan hanya setelah pemeriksaan mengenai segi pembuktiannya tetap dilakukan secara tuntas.


SUMBER HUKUM TATA USAHA NEGARA ( HUKUM ADMINSTRASI NEGARA )
Sumber-sumber formal Hukum Adminstarsi Negara adalah :
1.    Undang – Undang (Hukum Adminstrasi Negara tertulis)
2.    Praktik Adminsitrasi Negara (Hukum Administarsi Negara yeng merupakan kebiasaan)
3.    Yurisprudensi
4.    Anggapan para ahli Hukum Adminstrasi Negara (E. Utrect, 1964-74)
          Mengenai undang-undang sebagai sumber hukum tertulis, berbeda dengan Hukum Perdata atau Hukum Pidana karena sampai sekarang Hukum Tata Usaha Negara belum terkodifikasi sehingga Hukum Tata Usaha Negara masih tersebar dalam berbagai ragam peraturan  perundang-undangan.
          Dengan tidak adanya kodifikasi Hukum Tata Usaha Negara ini dapat menyulitkan para hakim Peradilan Tata Usaha Negara untuk menemukan hukum di dalam memutus suatu sengketa. Hal ini disebabkan karena Hukum Tata Usaha Negara  tersebar dalam berbagai ragam peraturan perundang-undang yang jumlahnya cukup banyak. Beberapa bidang Hukum Tata Usaha Negara yang banyak menimbulkan sengketa, misalnya bidang kepegawaian, agrarian, perizinan dan bidang perpajakan, yang semuanya tersebar dalam berbagai ragam peraturan perundang-undangan, baik dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan presiden, keputusan menteri, samapai pada keputusan dan peraturan kepala daerah.
Persamaan dan Perbedaan Hukum Acara PTUN dengan Hukum Acara Perdata.[4][4]
A. Persamaan Antara Hukum Acara Pengadilan TUN dengan Hukum acara Perdata
1. Pengajuan gugatan. 
          Pengajuan gugatan menurut hukum acara PTUN di atur dalam Pasal 54 UU PTUN, Hukum acara perdata di atur dalam pasal 118 HIR. Berdasarkan itu bahwa gugatan sama-sama diajukan ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal tergugat. 
2. Isi Gugatan
          Isi gugatan hukum acara PTUN diatur dalam pasal 56 UU PTUN, dan Hukum acara perdata diatur dalam pasal 8 Nomor 3 Rv.
Isi gugatan terdiri dari yaitu: 
a. Identitas para pihak 
b. Posita
c. Petitum
3. Pendaftaran Perkara
          Pendaftaran perkara Hukum acara PTUN diatur dalam Pasal 59 UU PTUN, dan Hukum acara Perdata pada pasal 121 HIR. Persamaannya adalah penggugat membayar uang muka biaya perkara, gugatan kemudian kemudian di daftarkan panitera dalam buku daftar perkara. Bagi penggugat yang tidak mampu boleh tidak untuk membayar uang muka biaya perkara, dengan syarat membawa surat keterangan tidak mampu dari kepala desa atau lurah setempat (pasal 60 UU PTUN dan Pasal 237 HIR). 
4. Penetapan Sidang
          Penetapan hari siding di atur dalam pasal 59 ayat 3 dan pasal 64 UU PTUN, Hukum Acara perdata pada pasal 122 HIR. Setelah di daftarkan dalam buku daftar perkara maka hakim menentukan hari, jam, tempat persidangan, dan pemanggilan para pihak untuk hadir. Dan hakim harus sudah menentukan selambat-lambatnya 30 hari setelah gugatan terdaftar.
5. Pemanggilan Para Pihak
          Pemanggilan para pihak menurut hukum acara PTUN diatur dalam pasal 65 dan 66 UU PTUN, sedangkan hukum acara perdata diatur dalam pasal 121 ayat 1 HIR dan pasal 390 ayat 1 dan pasal 126 HIR. Dalam Hukum acara TUN jangka waktu antara pemanggilan dan hari siding tidak boleh kurang dari 6 hari, kecuali sengketanya tersebut diperiksa dengan acara cepat. Panggilan dikirim dengan surat tercatat.
6. Pemberian Kekuasaan
          Pemberian kekuasaan terhadap kedua belah pihak menurut hukum acara PTUN diatur dalam pasal 57 UU PTUN, hukum acara perdata diatur dalam pasal 123 ayat 1 HIR. Pemberian kuasa dialkukan sebelumperkara diperiksa harus secara tertulis dengan membuat surat kuasa khusus. Dengan ini si penerima kuasa bisa melakukan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan jalannya pemeriksaan perkara untuk dan atas nama si pemberi kuasa.
7. Hakim Majelis
          Pemerisaan perkara dalam hukum acara PTUN dan acara perdata dilakukan dengan hakim majelis (3 orang hakim), yang terdiri atas satu orang bertindak selaku hakim ketua dan dua orang lagi bertindak selaku hakim anggota (pasal 68 UU PTUN).
8. Persidangan Terbuka untuk Umum
          Ketentuan ini diatur dalam pasal 70 ayat 1 UU PTUN, sedangkan hukum acara perdata diatur dalam pasal 179 ayat 1 HIR. Setiap orang dapat untuk hadir dan mendengarkan jalannya pemeriksaan perkara tersebut. Apabila hakim menyatakan sidang yang tidak dinyatakan terbuka untuk umum berarti putusan itu tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum serta mengakibatkan batalnya putusan itu menurut hukum, kecuali hakim memandang bahwa perkara tersebut manyangkut ketertiban umum, keselamatan Negara, atau alasan-alasan lainnya yang di muat dalam berita acara.[5][5]
9. Mendengar Kedua Belah Pihak
          Dalam pasal 5 ayat 1 UU 14/1970 disebutkan bahwa pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang. Hakim boleh mengangkat orang-orang sebagai juru bahasa, juru tulis, dan juru alih bahasa demi kelancaran jalannya persidangan.
10. Pencabutan dan Perubahan Gugatan
          Penggugat dapat sewaktu-waktu mencabut gugatannya, sebelum tergugat memberikan jawaban. apabila sudah memberikan jawabannya yang di ajukan penggugat maka akan dikabulkan oleh hakim (pasal 76 UU PTUN dan pasal 271 Rv). Dalam hukum acara perdata berdasarkan pasal 127Rv, perubahan dapat dilakukan sepanjang tidak mengubah atau menambahkan petitum.
11. Hak Ingkar
          Untuk tercapainya putusan yang adil, maka hakim atau panitera wajib mengundurkan diri, apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau hubngan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan tergugat, penggugat atau penasihat hukum atau antara hakim dengan salah seorang hakim atau panitera juga terdapat hubungan sebagaimana yang di sebutkan di atas, atau hakim atau panitera tersebut mempunyai kepentingan langsung dan tidak langsung dengan sengketanya (pasal 78 dan pasal 79 UU PTUN).
12. Pengikutsertaan Pihak Ketiga
          Ketentuan ini diatur dalam pasal 83 UU PTUN. Pihak hadir selama pemeriksaan perkara berjalanbaik atas prakarsa dengan mengajukan permohonan maupunatas prakarsa hakim dapat masuk sebagai pihak ketiga(intervenient) yang membela kepentingannya. Karena pangkal sengketa atau obyek sengketa TUN adalah KTUN, maka masuknya pihak ketiga ke dalam sengketa tersebut tetap harus memperhatikan kedudukan para pihak.
13. Pembuktian
          Penggugat terlebih dahulu memberikan pembuktian, lalu kewajiban tergugat untuk membuktikan adalah dalam rangka membantah bukti yang di ajukan oleh penggugat dengan mengajukan bukti yang lebih kuat(pasal 100 sampai dengan pasal 107 UU PTUN dan pasal 163 dan 164 HIR. Yang di buktikan peristiwanya bukan hukumnya karena ex offocio hakim dianggap tahu tentang hukumnya( ius curia novit). 
14. Pelaksanaan Putusan Pengadilan
          Ketentuan ini diatur dalam pasal 115 UU PTUNdan pasal 116 UU PTUN dan pasal 195 HIR. Apabila yang dikalahkan tidak mau secara suka rela memenuhi isi putusan yang dijatuhkan, maka pihak yang dimenangkan dapat mengajukan permohonan pelaksanaan putusan kepada pengadilan yang menjatuhkan putusan itu dalam tingkat pertama ( pasal 116 UU PTUN dan Pasal 196 dan pasal 197 HIR.
15. Juru Sita
Ketentuan ini pada pasal 33 ayat 3 UU No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman (UUKPKK-70), makahanya mengatur tugas jurusita perkara perdata, yang menyebutkan bahwa pelaksanaan keputusan pengadilan dalam perkara perdata dilakukan oleh panitera dan juru sita dipimpin oleh ketua pengadilan.[6][6]
B. Perbedaan Antara Hukum Acara PTUN dengan Hukum Acara Perdata
1. Obyek Gugatan
          Objek gugatan TUN adalah KTUN yang mengandung perbuatan onrechtsmatingoverheid daad (perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh penguasa. Hukum acara perdata adalah onrechtmating daad (perbuatan melawan hukum)
2. Kedudukan Para Pihak
          Kedudukan para pihak dalam sengketa TUN, selalu menempatkan seseorang atau badan hukum perdata sebagai pihk tergugat dan badan atau pejabat TUN sebagai pihak tergugat. Pada hukum acara perdata para pihak tidakn terikat pada kedudukan.
3. Gugat Rekonvensi
          Dalam hukum acara perdata dikenal dengan gugat rekonvensi (gugat balik), yang artinya gugatan yang diajukan oleh tergugat terhadap penggugat dalam sengketa yang sedang berjalan antar mereka. 
4. Tenggang Waktu Pengajuan Gugatan
          Dalam hukum acara TUN pengajuan gugatan dapat dilakukan dalam tenggang waktu 90 Hari.
5. Tuntutan Gugatan 
          Dalam hukum acara perdata boleh dikatakan selalu tuntutan pokok itu (petitum primair) disertai dengan tuntutan pengganti atau petitum subsidiar. Dalam hukum acara PTUN hanya dikenal satu macam tuntutan poko yang berupa tuntutan agar KTUN yang digugat itu dinyatakan batal atau tidak sah atau tuntutan agar KTUN yang dimohonkan oleh penggugat dikeluarkan oleh tergugat.
6. Rapat Permusyawaratan
Dalam hukum acara perdata tidak dikenal Rapat permusyawaratan. Dalam hukum acara PTUN, ketentuan ini diatur pasal 62 UU PTUN.
7. Pemeriksaan Persiapan
Dalam hukum acara PTUN juga dikenal Pemeriksaan persiapan yang juga tidak dikenal dalam hukum acara perdata. Dalam pemeriksaan persiapan hakim wajib member nasehat kepada pengugat untuk memperbaiki gugatan dalam jangka waktu 30 hari dan hakim memberi penjelasan kepada badan hukum atau pejabat yang bersangkutan.
8. Putusan Verstek
Kata verstek berarti bahwa pernyataan tergugat tidak dating pada hari sidang pertama. Apabila verstek terjadi maka putusan yang dijatuhkan oleh hakim tanpa kehadiran dari pihak tergugat. Ini terjadi karena tergugat tidak diketahui tempat tinggalnya. PTUN tidak mengenal Verstek.
9. Pemeriksaan Cepat
Dalam hukum acara PTUN terdapat pada pasal 98 dan 99 UU PTUN, pemeriksaan ini tidak dikenal pada hukum acara perdata. Pemerikasaan cepat dilakukan karena kepentingan penggugat sangat mendesak, apabila kepentingan itu menyangkut KTUN yang berisikan misalnya perintah pembongkaran bangunan atau rumah yang ditempati penggugat. [7][7]
10. Sistem Hukum Pembuktian
Sistem pembuktian vrij bewijsleer) dalam hukum acara perdata dilakukan dalam rangka memperoleh kebenaran formal, sedangkan dalam hukum acara PTUN dilakukan dalam rangka memperoleh kebenaran materiil (pasal 107 UU PTUN).
11. Sifat Ega Omnesnya Putusan Pengadilan
Artinya berlaku untuk siapa saja dan tidaka hanya terbatas berlakunya bagi pihak-pihak yang berperkara, sama halnya dalam hukum acara perdata.
12. Pelaksanaan serta Merta (executie bij voorraad)
Dalam hukum acara PTUN tidak dikenal pelaksanaan serta merta sebagaimana yang dikenaldalam hukum acara perdata. Ini terdapat pada pasal 115 UU PTUN.
13. Upaya pemaksa Agar Putusan Dilaksanakan
Dalam hukum acara perdata apabila pihak yang dikalahkan tidak mau melaksanakan putusan secara sukarela, maka dikenal dengan upaya emaksa agar putusan tersebut dilaksanakan. Dalam hukum acara PTUN tidak di kenal karena bukan menghukum sebagaimana hakikat putusan dalam hukum acara perdata. Hakikat hukum acara PTUN adalah untuk membatalkan KTUN yang telah dikeluarkan.
14. Kedudukan Pengadilan Tinggi
Alam hukum acara perdata kedudukan pebgadilan tinggi selalu sebagai pengadilan tingkat banding, sehingga tiap perkara tidak dapat langsung diperiksa oleh pengadilan tinggi tetapi harus terlebih dahulu melalui pengadilan tingkat pertama (pengadilan Negeri). Dalam hukum acara PTUN kedudukan pengadilan tinggi dapat sebagai pengadilan tingkat pertama.
15. Hakim Ad Hoc
Hakim Ad Hoc tidak dikenal dalam hukum acara perdata, apabila diperlukan keterangan ahli dalam bidang tertentu, hakim cukup mendengarkan keterangan dari saksi ahli. Dalam hukum acara PTUN diatur pasal 135 UU PTUN. Apabila memerlukan keahlian khusus maka ketua pengadilan dapat menujuk seorang hakim Ad Hoc sebagai anggota majelis.[8][8]

















DAFTAR PUSTAKA


Biyot, Hukum acara PTUN, http://biyot.wordpress.com

Jhohan Dewangga, Hukum Acara PTUN, http://jhohandewangga.wordpress.com

Sugiharto, Hukum Acara PTUN, http://usaidsugiharto.blogspot.com/





[1][1] Jhohan Dewangga, Hukum Acara PTUN, http://jhohandewangga.wordpress.com diakses pada 14 Desember 2013
[2][2]Ibid.
[3][3] Biyot, Hukum acara PTUN, http://biyot.wordpress.com diakses pada 14 Desember 2013
[4][4] Sugiharto, Hukum Acara PTUN, http://usaidsugiharto.blogspot.com/ diakses pada 14 Desember 2013
[5][5] Ibid.
[6][6] Ibid.
[7][7] Ibid.
[8][8]Ibid.

0 Response to "Hukum Peradilan Tata Usaha Negara"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel