Hukum Peradilan Tata Usaha Negara
Thursday, February 7, 2019
Add Comment
BAB 11
Hukum Acara
PTUN adalah: seperangkat peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang
harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan, serta cara pengadilan bertindak
satu sama lain untuk menegakkan peraturan HAN (materiil). Hukum Acara PTUN dapat
pula disebut dengan Hukum Acara Peradilan Administrasi Negara.
Secara
sederhana Hukum Acara diartikan sebagai Hukum Formil yang bertujuan untuk
mempertahankan Hukum Materil. Hal-hal yang telah dijelaskan pada bagian
sebelumnya di atas, merupakan ketentuan-ketentuan tentang Hukum Materil di
Peratun. Sementara itu mengenai Hukum Formilnya juga diatur dalam UU No. 5
tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004, mulai dari Pasal 53 s/d Pasal
132.Penggabungan antara Hukum Materil dan Hukum Formil ini merupakan karakteristik
tersendiri yang membedakan Peradilan TUN dengan Peradilan lainnya. Untuk
mengantarkan pada pembahasan tentang Hukum Acara di Peratun ini, terlebih
dahulu akan diuraikan hal-hal yang merupakan ciri atau karakteristik Hukum
Acara Peratun sebagai pembeda dengan Peradilan lainnya, khususnya Peradilan
Umum (Perdata)Sengketa Tata Usaha Negara dikenal dengan dua macam cara antara
lain:
Melalui Upaya Administrasi (vide pasal 48 jo pasal 51 ayat 3 UU no. 5 tahun 1986)
Upaya administrasi adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh dalam menyelesaikan masalah sengketa Tata Usaha Negara oleh seseorang atau badan hokum perdata apabila ia tidak puas terhadap suatu Keputusan tata Usaha Negara, dalam lingkungan administrasi atau pemerintah sendiri.Bentuk upaya administrasi:
Melalui Upaya Administrasi (vide pasal 48 jo pasal 51 ayat 3 UU no. 5 tahun 1986)
Upaya administrasi adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh dalam menyelesaikan masalah sengketa Tata Usaha Negara oleh seseorang atau badan hokum perdata apabila ia tidak puas terhadap suatu Keputusan tata Usaha Negara, dalam lingkungan administrasi atau pemerintah sendiri.Bentuk upaya administrasi:
1. Banding
Administratif, yaitu penyelesaian upaya administrasi yang dilakukan oleh
instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan Keputusan yang
bersangkutan.
2. Keberatan,
yaitu penyelesaian upaya administrasi yang dilakukan sendiri oleh Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan itu.
II. Melalui Gugatan
(vide pasal 1 angka 5 jo pasal 53 UU no. 5 tahun 1986)
Apabila di dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku tidak ada kewajiban untuk menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tersebut melalui Upaya Administrasi, maka seseorang atau Badan Hukum Perdata tersebut dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.[1][1]
Apabila di dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku tidak ada kewajiban untuk menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tersebut melalui Upaya Administrasi, maka seseorang atau Badan Hukum Perdata tersebut dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.[1][1]
Sengketa TUN :
Sengketa yang timbul dalam bidang TUN antara orang atau badan hukum perdata
dengan badan atau pejabat TUN, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat
dikeluarkannya KTUN, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.Badan atau pejabat TUN : Badan atau pejabat
yang melaksanakan urusan pemerintahan (bersifat eksekutif) berdasarkan
peraturan yang berlaku.
Tujuan
pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara menurut keterangan pemerintah padasaat
pembahasan RUU PTUN adalah:
a. Memberikan
perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber dari hak-hak individu
b. Memberikan
perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang didasarkan kepada kepentingan
bersama dari individu yang hidup dalam masyarakat tersebut. (keterangan
pemerintah pada Sidang Paripurna DPR RI. mengenai RUU PTUN tanggal 29 April 1986).[2][2]
Hukum Acara
Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai persamaan dengan Hukum Acara Perdata,
dengan beberapa perbedaan. Perbedaan – perbedaan itu antara lain :
1.
Peranan hakim yang aktif karena ia dibebani tugas untuk mencari kebenaran
materiil
2.
Adanya ketidak seimbangan antara kedudukan Penggugat dan Tergugat (Pejabat Tata
Usaha Negara). Dengan mengingat hal ini maka perlu diatur adanya kompensasi,
karena diasumsikan bahwa kedudukan Penggugat (orang atau badan hukum perdata),
adalah dalam posisi yang lebih lemah dibandingkan Tergugat selaku pemegang
kekuasaan publik.
3.
Sistem pembuktian yang mengarah kepada pembuktian bebas.
4.
Gugatan di Pengadilan tidak mutlak bersifat menunda pelaksanaan Keputusan tata
Usaha Negara yang digugat.
5.
Putusan hakim tidak boleh melebihi tuntutan Penggugat, tetapi dimungkinkan
membawa Penggugat ke dalam keadaan yang lebih buruk sepanjang hal ini diatur
dalam Undang-undang.
6.
Putusan hakim tidak hanya berlaku bagi para pihak yang bersengketa, tetapi juga
berlaku bagi pihak-pihak yang terkait.
7.
Para pihak yang terlibat dalam sengketa harus didengar penjelasannya sebelum
hakim membuat putusannya.
8.
Dalam mengajukan gugatan harus ada kepentingan dari sang Penggugat.
9.
Kebenaran yang dicapai adalah kebenaran materiil denggan tujuan menyelaraskan,
menyerasikan, menyeimbangkan kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum.
Dalam
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 menyebutkan bahwa hukum acara
yang digunakan dalam proses Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai persamaan
dengan hukum acara yang digunakan di peradilan umum untuk perkara perdata,
namum tidak begitu saja peraturan yang berlaku dalam Hukum Acara Perdata diterapkan
dalam proses Peradilan Tata Usaha Negara, karena hal ini dibatasi dengan
prinsip dasar yang berlaku di Peradilan Tata Usaha Negara, terutama yang
menyangkut masalah kompetensi (kewenangan mengadili). Peradilan Tata Usaha
Negara hanya berwenang mengadili sengketa Tata Usaha Negara, yaitu sengketa
antara orang atau badan hukum dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa tentang sah atau tidaknya suatu
Keputusan Tata Usaha Negara yang telah dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara.
Gugat balik (gugat reconvensi) dan gugat mengenai ganti ru gi yang
dikenal dalam Hukum Acara Perdata, semestinya tidak ada dalam Hukum
Acara Peradilan Tata Usaha Negara, karena dalam gugat balik bukan lagi Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat, tetapi adalah warga msasyarakat
atau Badan Hukum Perdata. Sedang gugat ganti rugi sengketa tentang kepentingan
hak, yang merupakan wewenang Peradilan Umum untuk mengadilinya. Sebaliknya
berdasar ketentuan Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang
bertibdak sebagai penggugat di Pengadilan Tata Usaha Negara hanyalah orang atau
Badan Hukum Perdata, sehingga tidak mungkin terjadi saling menggugat antara
sesama Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
Di Peradilan Tata Usaha Negara juga
diberlakukan asas peradilan cepat, murah, dan sederhana semacam asas praduga
tak bersalah (presumption of innocent) seperti yang dikenal dalam Hukum
Acara Pidana. Seorang Pejabat Tata Usaha Negara tetap dianggap tidak bersalah
di dalam membuat suatu keputusan Tata Usaha Negara sebelum ada putusan hakim
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang menyatakan ia salah membuat
putusan Tata Usaha Negara.
Peradilan Tata
Usaha Negara juga mengenal peradilan in absentia se bagaimana
berlaku dalam peradilan Tindak Pidana Khusus, dimana siding berlangsung
tanpa hadirnya terugat.
Menurut Pasal
72 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, bila tergugat atau kuasanya tidak hadir di
persidangan 2 kali berturt-turut dan/atau tidak menanggapi gugatan tanpa alasan
yang dapat dipertanggungjawabkan, walaupun setiap kali telah dipangil secara
patut, maka hakim ketua siding dengan surat penetapan meminta atasan tergugat
untuk memerintahkan tergugat hadir dan/atau menanggapi gugatan. Setelah lewat 2
bulan sesudah dikirimakn dengan surat tercatat penetapan dimaksud, tidak
dieterima berita, baik dari atasan terugat maupun dari tergugat sendiri, maka
hakim ketua siding menetapkan hari siding berikutnya dan pemeriksaan sengketa
dilanjutkan menurut acara biasa, tanpa hadir tergugat.Putusan terhadap pokok
gugatan dapat dijatuhkan hanya setelah pemeriksaan mengenai segi pembuktiannya
tetap dilakukan secara tuntas.
SUMBER HUKUM
TATA USAHA NEGARA ( HUKUM ADMINSTRASI NEGARA )
Sumber-sumber
formal Hukum Adminstarsi Negara adalah :
1.
Undang – Undang (Hukum Adminstrasi Negara tertulis)
2.
Praktik Adminsitrasi Negara (Hukum Administarsi Negara yeng merupakan
kebiasaan)
3.
Yurisprudensi
4.
Anggapan para ahli Hukum Adminstrasi Negara (E. Utrect, 1964-74)
Mengenai
undang-undang sebagai sumber hukum tertulis, berbeda dengan Hukum Perdata atau
Hukum Pidana karena sampai sekarang Hukum Tata Usaha Negara belum terkodifikasi
sehingga Hukum Tata Usaha Negara masih tersebar dalam berbagai ragam peraturan
perundang-undangan.
Dengan
tidak adanya kodifikasi Hukum Tata Usaha Negara ini dapat menyulitkan para
hakim Peradilan Tata Usaha Negara untuk menemukan hukum di dalam memutus suatu
sengketa. Hal ini disebabkan karena Hukum Tata Usaha Negara tersebar
dalam berbagai ragam peraturan perundang-undang yang jumlahnya cukup banyak.
Beberapa bidang Hukum Tata Usaha Negara yang banyak menimbulkan sengketa,
misalnya bidang kepegawaian, agrarian, perizinan dan bidang perpajakan, yang
semuanya tersebar dalam berbagai ragam peraturan perundang-undangan, baik dalam
bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan presiden, keputusan
menteri, samapai pada keputusan dan peraturan kepala daerah.
A. Persamaan Antara Hukum Acara Pengadilan TUN dengan Hukum acara Perdata
1. Pengajuan gugatan.
Pengajuan
gugatan menurut hukum acara PTUN di atur dalam Pasal 54 UU PTUN, Hukum acara
perdata di atur dalam pasal 118 HIR. Berdasarkan itu bahwa gugatan sama-sama
diajukan ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal
tergugat.
2. Isi Gugatan
Isi gugatan
hukum acara PTUN diatur dalam pasal 56 UU PTUN, dan Hukum acara perdata diatur
dalam pasal 8 Nomor 3 Rv.
Isi gugatan terdiri dari yaitu:
a. Identitas para pihak
b. Posita
c. Petitum
3. Pendaftaran Perkara
Pendaftaran
perkara Hukum acara PTUN diatur dalam Pasal 59 UU PTUN, dan Hukum acara Perdata
pada pasal 121 HIR. Persamaannya adalah penggugat membayar uang muka biaya
perkara, gugatan kemudian kemudian di daftarkan panitera dalam buku daftar
perkara. Bagi penggugat yang tidak mampu boleh tidak untuk membayar uang muka
biaya perkara, dengan syarat membawa surat keterangan tidak mampu dari kepala
desa atau lurah setempat (pasal 60 UU PTUN dan Pasal 237 HIR).
4. Penetapan Sidang
Penetapan hari
siding di atur dalam pasal 59 ayat 3 dan pasal 64 UU PTUN, Hukum Acara perdata
pada pasal 122 HIR. Setelah di daftarkan dalam buku daftar perkara maka hakim
menentukan hari, jam, tempat persidangan, dan pemanggilan para pihak untuk
hadir. Dan hakim harus sudah menentukan selambat-lambatnya 30 hari setelah
gugatan terdaftar.
5. Pemanggilan Para Pihak
Pemanggilan
para pihak menurut hukum acara PTUN diatur dalam pasal 65 dan 66 UU PTUN,
sedangkan hukum acara perdata diatur dalam pasal 121 ayat 1 HIR dan pasal 390
ayat 1 dan pasal 126 HIR. Dalam Hukum acara TUN jangka waktu antara pemanggilan
dan hari siding tidak boleh kurang dari 6 hari, kecuali sengketanya tersebut
diperiksa dengan acara cepat. Panggilan dikirim dengan surat tercatat.
6. Pemberian Kekuasaan
Pemberian
kekuasaan terhadap kedua belah pihak menurut hukum acara PTUN diatur dalam
pasal 57 UU PTUN, hukum acara perdata diatur dalam pasal 123 ayat 1 HIR.
Pemberian kuasa dialkukan sebelumperkara diperiksa harus secara tertulis dengan
membuat surat kuasa khusus. Dengan ini si penerima kuasa bisa melakukan
tindakan-tindakan yang berkaitan dengan jalannya pemeriksaan perkara untuk dan
atas nama si pemberi kuasa.
7. Hakim Majelis
Pemerisaan
perkara dalam hukum acara PTUN dan acara perdata dilakukan dengan hakim majelis
(3 orang hakim), yang terdiri atas satu orang bertindak selaku hakim ketua dan
dua orang lagi bertindak selaku hakim anggota (pasal 68 UU PTUN).
8. Persidangan Terbuka untuk Umum
Ketentuan ini
diatur dalam pasal 70 ayat 1 UU PTUN, sedangkan hukum acara perdata diatur
dalam pasal 179 ayat 1 HIR. Setiap orang dapat untuk hadir dan mendengarkan
jalannya pemeriksaan perkara tersebut. Apabila hakim menyatakan sidang yang
tidak dinyatakan terbuka untuk umum berarti putusan itu tidak sah dan tidak
mempunyai kekuatan hukum serta mengakibatkan batalnya putusan itu menurut
hukum, kecuali hakim memandang bahwa perkara tersebut manyangkut ketertiban
umum, keselamatan Negara, atau alasan-alasan lainnya yang di muat dalam berita
acara.[5][5]
9. Mendengar Kedua Belah Pihak
Dalam pasal 5
ayat 1 UU 14/1970 disebutkan bahwa pengadilan mengadili menurut hukum dengan
tidak membedakan orang. Hakim boleh mengangkat orang-orang sebagai juru bahasa,
juru tulis, dan juru alih bahasa demi kelancaran jalannya persidangan.
10. Pencabutan dan Perubahan Gugatan
Penggugat dapat
sewaktu-waktu mencabut gugatannya, sebelum tergugat memberikan jawaban. apabila
sudah memberikan jawabannya yang di ajukan penggugat maka akan dikabulkan oleh
hakim (pasal 76 UU PTUN dan pasal 271 Rv). Dalam hukum acara perdata
berdasarkan pasal 127Rv, perubahan dapat dilakukan sepanjang tidak mengubah
atau menambahkan petitum.
11. Hak Ingkar
Untuk
tercapainya putusan yang adil, maka hakim atau panitera wajib mengundurkan
diri, apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat
ketiga atau hubngan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan tergugat,
penggugat atau penasihat hukum atau antara hakim dengan salah seorang hakim
atau panitera juga terdapat hubungan sebagaimana yang di sebutkan di atas, atau
hakim atau panitera tersebut mempunyai kepentingan langsung dan tidak langsung
dengan sengketanya (pasal 78 dan pasal 79 UU PTUN).
12. Pengikutsertaan Pihak Ketiga
Ketentuan ini
diatur dalam pasal 83 UU PTUN. Pihak hadir selama pemeriksaan perkara
berjalanbaik atas prakarsa dengan mengajukan permohonan maupunatas prakarsa
hakim dapat masuk sebagai pihak ketiga(intervenient) yang membela
kepentingannya. Karena pangkal sengketa atau obyek sengketa TUN adalah KTUN,
maka masuknya pihak ketiga ke dalam sengketa tersebut tetap harus memperhatikan
kedudukan para pihak.
13. Pembuktian
Penggugat
terlebih dahulu memberikan pembuktian, lalu kewajiban tergugat untuk
membuktikan adalah dalam rangka membantah bukti yang di ajukan oleh penggugat
dengan mengajukan bukti yang lebih kuat(pasal 100 sampai dengan pasal 107 UU
PTUN dan pasal 163 dan 164 HIR. Yang di buktikan peristiwanya bukan hukumnya
karena ex offocio hakim dianggap tahu tentang hukumnya( ius curia novit).
14. Pelaksanaan Putusan Pengadilan
Ketentuan ini
diatur dalam pasal 115 UU PTUNdan pasal 116 UU PTUN dan pasal 195 HIR. Apabila
yang dikalahkan tidak mau secara suka rela memenuhi isi putusan yang
dijatuhkan, maka pihak yang dimenangkan dapat mengajukan permohonan pelaksanaan
putusan kepada pengadilan yang menjatuhkan putusan itu dalam tingkat pertama (
pasal 116 UU PTUN dan Pasal 196 dan pasal 197 HIR.
15. Juru Sita
Ketentuan ini pada pasal 33 ayat 3 UU No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan
pokok kekuasaan kehakiman (UUKPKK-70), makahanya mengatur tugas jurusita
perkara perdata, yang menyebutkan bahwa pelaksanaan keputusan pengadilan dalam
perkara perdata dilakukan oleh panitera dan juru sita dipimpin oleh ketua
pengadilan.[6][6]
B. Perbedaan Antara Hukum Acara PTUN dengan Hukum Acara Perdata
1. Obyek Gugatan
Objek gugatan
TUN adalah KTUN yang mengandung perbuatan onrechtsmatingoverheid daad
(perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh penguasa. Hukum acara perdata
adalah onrechtmating daad (perbuatan melawan hukum)
2. Kedudukan Para Pihak
Kedudukan para
pihak dalam sengketa TUN, selalu menempatkan seseorang atau badan hukum perdata
sebagai pihk tergugat dan badan atau pejabat TUN sebagai pihak tergugat. Pada
hukum acara perdata para pihak tidakn terikat pada kedudukan.
3. Gugat Rekonvensi
Dalam hukum
acara perdata dikenal dengan gugat rekonvensi (gugat balik), yang artinya
gugatan yang diajukan oleh tergugat terhadap penggugat dalam sengketa yang
sedang berjalan antar mereka.
4. Tenggang Waktu Pengajuan Gugatan
Dalam hukum
acara TUN pengajuan gugatan dapat dilakukan dalam tenggang waktu 90 Hari.
5. Tuntutan Gugatan
Dalam hukum
acara perdata boleh dikatakan selalu tuntutan pokok itu (petitum primair)
disertai dengan tuntutan pengganti atau petitum subsidiar. Dalam hukum acara
PTUN hanya dikenal satu macam tuntutan poko yang berupa tuntutan agar KTUN yang
digugat itu dinyatakan batal atau tidak sah atau tuntutan agar KTUN yang
dimohonkan oleh penggugat dikeluarkan oleh tergugat.
6. Rapat Permusyawaratan
Dalam hukum acara perdata tidak dikenal Rapat permusyawaratan. Dalam hukum
acara PTUN, ketentuan ini diatur pasal 62 UU PTUN.
7. Pemeriksaan Persiapan
Dalam hukum acara PTUN juga dikenal Pemeriksaan persiapan yang juga tidak
dikenal dalam hukum acara perdata. Dalam pemeriksaan persiapan hakim wajib
member nasehat kepada pengugat untuk memperbaiki gugatan dalam jangka waktu 30
hari dan hakim memberi penjelasan kepada badan hukum atau pejabat yang
bersangkutan.
8. Putusan Verstek
Kata verstek berarti bahwa pernyataan tergugat tidak dating pada hari
sidang pertama. Apabila verstek terjadi maka putusan yang dijatuhkan oleh hakim
tanpa kehadiran dari pihak tergugat. Ini terjadi karena tergugat tidak
diketahui tempat tinggalnya. PTUN tidak mengenal Verstek.
9. Pemeriksaan Cepat
Dalam hukum acara PTUN terdapat pada pasal 98 dan 99 UU PTUN, pemeriksaan
ini tidak dikenal pada hukum acara perdata. Pemerikasaan cepat dilakukan karena
kepentingan penggugat sangat mendesak, apabila kepentingan itu menyangkut KTUN
yang berisikan misalnya perintah pembongkaran bangunan atau rumah yang
ditempati penggugat. [7][7]
10. Sistem Hukum Pembuktian
Sistem pembuktian vrij bewijsleer) dalam hukum acara perdata dilakukan
dalam rangka memperoleh kebenaran formal, sedangkan dalam hukum acara PTUN
dilakukan dalam rangka memperoleh kebenaran materiil (pasal 107 UU PTUN).
11. Sifat Ega Omnesnya Putusan Pengadilan
Artinya berlaku untuk siapa saja dan tidaka hanya terbatas berlakunya bagi
pihak-pihak yang berperkara, sama halnya dalam hukum acara perdata.
12. Pelaksanaan serta Merta (executie bij voorraad)
Dalam hukum acara PTUN tidak dikenal pelaksanaan serta merta sebagaimana
yang dikenaldalam hukum acara perdata. Ini terdapat pada pasal 115 UU PTUN.
13. Upaya pemaksa Agar Putusan Dilaksanakan
Dalam hukum acara perdata apabila pihak yang dikalahkan tidak mau
melaksanakan putusan secara sukarela, maka dikenal dengan upaya emaksa agar
putusan tersebut dilaksanakan. Dalam hukum acara PTUN tidak di kenal karena bukan
menghukum sebagaimana hakikat putusan dalam hukum acara perdata. Hakikat hukum
acara PTUN adalah untuk membatalkan KTUN yang telah dikeluarkan.
14. Kedudukan Pengadilan Tinggi
Alam hukum acara perdata kedudukan pebgadilan tinggi selalu sebagai
pengadilan tingkat banding, sehingga tiap perkara tidak dapat langsung
diperiksa oleh pengadilan tinggi tetapi harus terlebih dahulu melalui
pengadilan tingkat pertama (pengadilan Negeri). Dalam hukum acara PTUN
kedudukan pengadilan tinggi dapat sebagai pengadilan tingkat pertama.
15. Hakim Ad Hoc
Hakim Ad Hoc tidak dikenal dalam hukum acara perdata, apabila diperlukan
keterangan ahli dalam bidang tertentu, hakim cukup mendengarkan keterangan dari
saksi ahli. Dalam hukum acara PTUN diatur pasal 135 UU PTUN. Apabila memerlukan
keahlian khusus maka ketua pengadilan dapat menujuk seorang hakim Ad Hoc
sebagai anggota majelis.[8][8]
DAFTAR PUSTAKA
[1][1] Jhohan Dewangga, Hukum Acara PTUN, http://jhohandewangga.wordpress.com diakses pada 14 Desember 2013
[4][4] Sugiharto, Hukum Acara PTUN, http://usaidsugiharto.blogspot.com/ diakses
pada 14 Desember 2013
0 Response to "Hukum Peradilan Tata Usaha Negara"
Post a Comment