Makalah Qowaid Fiqhiyah Kaidah ke-IV (Bahaya yang harus di hilangkan)


MAKALAH QAWAID FIQHIYAH
Kaidah ke-IV (Bahaya yang harus di hilangkan)
Diajukan sebagai tugas Kelompok ke 4 :
Dosen Pengampu MK : Afrizal, M.H.I
dfdfd.jpg
Disusun oleh :
Rahmad Novriansyah   1510101023
Tamtomi rizal               1610101013






PROGRAM STUDI ILMU EKONOMI SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI ILMU SYARI’AH MUHAMMADIYAH
PRINGSEWU LAMPUNG
TAHUN AKADEMIK 2018-2019



KATA PENGANTAR


Assalamualaikum Wr.Wb

Puji  syukur  kehadirat  Allah  Subhanahu  Wata’ala, yang telah melimpahkan  rahmat dan  karunia-Nya  kepada penulis, sehingga  penulis  dapat  menyelesaikan makalah ini  tepat  pada  waktunya. Sholawat  serta  salam  tidak  lupa  kami  haturkan kepada Nabi Muhammad Salallahu ‘Alaihi Wassalam. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan  terima  kasih  kepada pembimbing yang telah bersedia membimbing kami dalam penyusunan makalah ini, sehingga penyusunan makalah dengan judul QAWAID FIQHIYAH Kaidah ke-IV (Bahaya yang harus di hilangkan) ’’ dapat terselesaikan tanpa ada halangan yang berarti.
Penyusunan makalah ini berdasarkan literatur yang ada.  Penulis menyadari akan adanya kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Namun, makalah ini sedikit banyaknya bermanfaat bagi pembaca.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna, dengan hati terbuka penulis menerima kritik dan saran yang sifatnya membangun.

Wassalamualaikum Wr.Wb


 Pringsewu, 14 Desember 2018


                                                                                       Kelompok


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................    ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................    iii
BAB  I     PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang............................................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah.......................................................................................... 1
BAB II   PEMBAHASAN
A.  Kemudharatan itu harus di hilangklan........................................................    2
a.       Dasar-dasar Nash yang Berkaitan.........................................................    3
b.      Kaidah-kaidah yang berkaitan dengan kondisi mudhorot....................    9
c.       Masalah-masalah terkait dengan qai’dah
BAB III  PENUTUP
A.    Kesimpulan.................................................................................................    11
DAFTAR PUSTAKA





BAB I
PENDAHULUAN

            A.  Latarbelakang masalah
            Sebagai umat Islam, kita mengakui bahwa banyak masalah baru yang tidak terdapat penyelesaiannya di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah sehingga para pakar hukum Islam harus berijtihad untuk memecahkannya.
            Untuk menjawab masalah-masalah baru yang belum ada penegasan hokum-hukumnya di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, maka para pakar hukum Islam (fuqaha) berupaya memecahkan dan mencari hukum-hukumnya dengan menggunakan ijtihad. Namun ijtihad itu tidak boleh lepas dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Dikatakan demikian, karena ijtihad tersebut dilaksanakan dengan cara mengkiaskan kepada yang sudah ada di dalam al-Qur’an dan as-sunnah, menggalinya dari aturan-aturan umum (al-qawanin al-‘ammah) dan prinsip-prinsip yang universal (al mabadi’ al-kulliyah) yang terdapat dalam al-Qur’an dan as-sunnah dan menyesuaikannya dengan maksud dan tujuan syariat (al-maqashid al-syari’ah) yang juga terkandung dalam al-Qur’an dan as-Sunnah[1].
            Aturan-aturan umum dan prinsip-prinsip yang universal itulah yamg disebut dengan al-qawanin al-fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqh).  Dalam pembahasan kaidah-kaidah fiqh banyak terdapat macam-macam kaidah, diantaranya yaitu kaidah-kaidah pokok dan kaidah kaidah cabang. Dimana kaidah kaidah pokok tersebut berupa الأُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا (Segala sesuatu bergantung pada tujuannya) , المشقة تجلب التيسير (Kesukaran mendatangkan kemudahan) dll, dan kaidah kaidah cabang diantaranya yaitu : jual beli gharar, riba dll.
            Dan pada kesempatan kali ini kami akan mencoba untuk membahas tentang kaidah ke 4 dalam qawaid fiqhiyah yaitu : bahaya yang di hilangkan.

            B.  Rumusan masalah
Ø  apa saja yang terdapat dalam kaidah ke 4 dalam qawaid fiqhiyah


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Kemudharatan Itu Dapat Hilang (الضَّرَرُ يُزَالُ)
            Asal dari kaidah ini adalah hadits Nabi: La Darar wa La Dirar " لَاضَرَرُ وَلَاضِرَارَ". Darar adalah menimbulkan kerusakan pada orang lain secara mutlak. Sedangkan dirar adalah membalas kerusakan dengan kerusakan lain atau menimpakan kerusakan pada orang lain bukan karena balas dendam yang dibolehkan
            Seperti dikatakan oleh Izzuddin Ibn Abd al-Salam bahwa tujuan syariah itu adalah untuk meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan. Kaidah tersebut di atas kembali kepada tujuan untuk merealisasikan maqashid al-syari’ah dengan menolak yang mafsadah, dengan cara menghilangkan kemudaratan atau setidaknya meringankannya.

Contoh-contoh dibawah ini antara lain memunculkan kaidah diatas:
v  Larangan menimbun barang-barang kebutuhan pokok masyarakat karena perbuatan tersebut mengakibatkan kemudaratan bagi rakyat.
v  Adanya berbagai macam sanksi dalam fiqh jinayah (hukum pidana Islam) adalah juga untuk menghilangkan kemudaratan.
v  Adanya aturan al-Hajr  (kepailitan) juga dimaksudkan untuk menghilangkan kemudaratan[2]
a.      Dasar-dasar nash yang berkaitan
            Firman Allah SWT:
 تُفْسِرُوَافِى الْاَرْضِ (الاعراف: ه ه)وَلاَ
            Artinya: “Dan jangan kamu sekalian membuat kerusakan dibumi. “. (QS. al-A’raf : 55).




            Sabda Nabi SAW:
لاَضَرَرَوَلاَضِرَارَ
Artinya: “…Tidak boleh membuat kerusakan pada diri sendiri serta membuat kerusakan pada orang lain”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas).
b.      Kaidah-kaidah yang berkenaan dengan kondisi mudarat
1.      Kaidah pertama:
اَضَرُوْرَاتُ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ
            Artinya: “Kemudaratan-kemudaratan itu dapat memperbolehkan keharaman”.
            Batasan kemudaratan adalah suatu hal yang mengancam eksistensi manusia yang terkait dengan lima tujuan, yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan dan memelihara keturunan dan memelihara kehormatan atau harta benda.
Contoh Kasus :
  • Orang yang di landa bahaya kelaparan di perkenankan makan binatang tanpa di sembelih atau makan binatang yang di haramkan, misalnya : babi dan anjing.
  • Diperbolehkan merusak gedung dan alat-alat perlengkapan perang milik musuh dalam suatu pertempuran.
  • Diperbolehkan membongkar kuburan untuk memandikan atau menghadapkan kiblat mayat yang berada di dalamnya yang ketika di kubur belum di mandikan atau belum di hadapkan kiblat.

2.      Kaidah kedua:
مَاأُبِيْعَ للضَرُورَاتِ يُقَدَرُبِقَدَرِهَا
            Artinya: “ Apa yang dibolehkan karena darurat diukur sekadar kedaruratannya”.
            Kebolehan berbuat atau meninggalkan sesuatu karena darurat adalah untuk memenuhi penolakan terhadap bahaya, bukan selain ini. Dalam kaitan ini Dr. Wahbah az-Zuhaili membagi kepentingan manusia akan sesuatu dengan 4 klasifikasi, yaitu:
·         Darurat
·         Hajah
·         Manfaat
·         Fudu
Contoh Kasus:
  • Seorang diperkenankan mengambil rumput milik orang lain tanpa izinnya untuk memberikan makanan binatangnya yang dalam keadaan kelaparan, tetapi tidak diperbolehkan mengambilnya lagi untuk dijual kepada orang lain yang memiliki binatang yang dalam keadaan yang sama.
  • Seorang dokter laki-laki yang karena darurat harus mengobati sebagian anggota seorang wanita tidak diperkenankan meneliti anggota lain yang tidak perlu diobati.

3.      Kaidah ketiga:
جَازَ لِعُذْرٍ بَطَلَ بَزَ وَالِهِمَا
            Artinya: “Apa yang diizinkan karena adanya udzur, maka keizinan itu hilang manakala udzurnya hilang”.
Contoh Kasus:
Tayammum itu batal, lantaran diketemukan air sebelum waktu sholat
4.      Kaidah keempat:
اَلْمَيْسُوْرُلاَيُسْقَطُ  بِا لْمَعْسُوْرِ
            Artinya: “Kemudahan itu tidak dapat digugurkan dengan kesulitan”.
Contoh Kasus:
Misalnya;                                           
  • Seorang yang dalam keadaan terpaksa menghajatkan sekali kepada makanan tidak boleh makan makanan milik orang lain yang dihajatkan sendiri.
  • Dua orang terapung-apung di atas lautan akibat kapal yang ditumpangi pecah. Salah seorang dari mereka mendapatkan sekeping papan untuk mengapung di atas air sekedar bertahan sampai ada team penolong datang. Tetapi kawannya juga ingin sekali menyelamatkan jiwanya dari bahaya maut merebut papan tersebut dan karena papan itu tidak dapat menampung dua orang ia  harus mengorbankan kawannya yang sudah berada di atas papan. Tindakan orang yang merebut karena darurat terhadap sesuatu yang dianggap darurat pula oleh kawan yang direbutnya tidak dibenarkan oleh syari’at.
5.      Kaidah kelima:
اَلْاِ ضْطَرَارُيُبْطِلُ حَقَ الْغَيْرِ
            Artinya: “Keterpaksaan itu tidak dapat membatalkan hak orang lain”.
sabda Rasulullah saw:
اٍذاأمرتكم بأمرفأتوامنه مااستطعتم، واذانهيتكم عن شيئ فاجتنبوه     (روه البخاري ومسلم)
“apabila aku memerintahkan kepadamu suatu perintah, kerjakanlah semampumu dan apabila aku melarang kamu sesuatu perbuatan tinggalkanlah”. (HR.Bukhari dan Muslim)
Disyaratkan adanya kesanggupan dalam menjalankan perintah, sedang dalam meninggalkan larangan tidak disyaratkan demikian, menunjukkan bahwa tuntutan meninggalkan larangan itu adalah lebih kuat dari pada tuntutan menjalankan perintah.
Contoh Kasus:
  • Berkumur dengan mengocok air yang berada didalam mulut sampai kepangkal tenggorokan dan menghirup air lewat hidung dalam melaksanakan wudhu adalah disunnahkan. Tetapi hal itu dilakukan oleh orang yang sedang berpuasa dimakruhkan, sebab untuk menjaga jangan sampai air tersebut terus masuk sampai keperut hingga membatalkan puasa.
  • Bersuci dengan menekan-nekankan jari basah di sela-sela pangkal rambut disunnahkan. Tetapi hal itu dimakruhkan bagi orang yang sedang menjalankan ihram, untuk menjaga jangan sampai menggugurkan rambut yang menjadi pantangan dalam ihram.

6.      Kaidah keenam:
دَرْءُالْمَفَاسِدِاَوْلَى مِنْ جَلْبِى الْمَصَالِعِ فَاِذَا تَعَارَضَ مَفْسَدَةٌ وَمَصْلَحَةٌ قُدِ مَ دَ فْعُ الْمَفْسَدَةِ غَا لِبًا
            Artinya: “Menolak kerusakan lebih diutamakan daripada menarik mashlahah dan apabila berlawanan antara yang mafsadah dan mashlahah maka yang didahulukan adalah menolak mafsadahnya”.
Menurut qaidah ini jika satu perbuatan mempunyai dua kemudharatan atau lebih, hendaklah dipilih manakah diantara kemudharatan-kemudharatan itu yang lebih ringan. Walaupun sebenarnya kemudharatan itu ringan maupun berat harus dihindarkan, sesuai dengan firman Allah SWT (QS. Al-A’raf: 56)
وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا ۚ إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ
Artinya: dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah Amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al-A’raf: 56)
Namun karena tidak ada jalan lain untuk menghindarkannya selain dengan memilih yang paling sedikit mudharatnya, maka itulah yang tepat.
Contoh Kasus:
  • Seorang dokter diperbolehkan membedah perut seorang mayat, apabila ia berkeyakinan bahwa didalam perut itu terdapat seorang bayi yang diharapkan akan hidup  apabila ia berhasil dikeluarkan. Membedah perut adalah perbuatan merusak sebagaimana halnya membiarkan mati bayi didalam perut. Tetapi kerusakan akibat dari membedah perut masih dipandang lebih ringan dibandingkan membiarkan bayi mati lantaran tidak dikeluarkannya.
  • Seorang memotong pohon orang lain adalah perbuatan merusak. Tetapi seandainya hal itu tidak dilakukannya, maka pohon yang meliuk dijendelanya akan mengganggu bergantinya udara di kamarnya hingga membuat kelembaban udara yang sangat membahayakan kesehatan. Oleh karena itu, memotong tanaman orang lain yang mengganggu diperkenankan.

7.      Kaidah ketujuh:
اَلضَرَرُلاَيُزَالُ بِا لضَرَرِ
            Artinya: “Kemudaratan itu tidak dapat dihilangkan dengan kemudaratan yang lain”.
Contoh Kasus:
  • Minum-minuman keras dan berjudi biarpun ada manfaatnya untuk kesehatan badan atau untuk memperoleh keuntungan bila menang dalam perjudian, namun karena kerusakan yang ditimbulkan oleh kedua perbuatan itu lebih banyak daripada kemanfaatannya, maka kedua macam perbuatan itu dilarang oleh Islam,yang tercantum dalam firman Allah SWT (QS:Al-Baqarah: 219)

·         يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ ۖ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا ۗ وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ
Artinya: mereka bertanya kepadamu tentang khamar[136] dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: ” yang lebih dari keperluan.” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir (QS:Al-Baqarah: 219)
8.      Kaidah kedelapan:
اِذَاتَعَارَضَ مَفْسَدَ تَانِ رُوْ عِيْ اَعْظَمُهَا ضَرَرًابِارْ تِكَا بِ الْخَفِّهِمَا
Artinya: “Apabila dua mafsadah bertentangan, maka perhatikan mana yang lebih besar mudaratnya dengan memilih yang lebih ringan mudaratnya”
Contoh Kasus (kebutuhan yang bersifat umum) :
  • Orang laki-laki diperkenankan berhadapan muka dengan wanita yang bukan muhrimnya dalam pergaulan hidup sehari-hari dalam bermu’amalah, seperti : berjual beli, bekerja dikantor-kantor atau mengajar. Karena semuanya itu merupakan kebutuhan umum dalam bermasyarakat.
  • Untuk menjaga kebutuhan orang banyak dalam menghindari spekulasi para pedagang, pemerintah diperbolehkan membatasi atau menetapkan harga barang-barang pokok yang diperjual belikan, walaupun sebenarnya tindakan perintah ini membuat kerugian kepada pihak-pihak tertentu.
Contoh Kasus (kebutuhan yang bersifat umum) :
  • Seorang perempuan membutuhkan atu-satunya dokter laki-laki yang ahli untuk mengobati penyakitnya yang terletak pada bagian tubuhnya, adalah diperbolehkan.
  • Karena suatu hajat yang mendesak dan bukan karena hiasan semata, seseorang diperkenankan menambal bejananya yang retak dengan bahan dari perak.
  • Sewa kamar mandi/WC tanpa ditentukan waktu dan jumlah(banyaknya) air yang digunakan.

9.      Kaidah kesembilan:
اَلْحَا جَةُ الْعْا مَةُ اَوِالْخَا صَةُ تَنْزِلُ مَيْزِ لَةَ الضَرُوْرَةِ
Artinya: “Kebutuhan umum atau khusus dapat menduduki tempatnya darurat”.[3]

c.       Masalah-masalah terkaik dengan qa’idah
1.      Hutang
Jika seseorang hutang makanan di irak dan pengutang menagih, maka ia wajib membayar dengan harga kapan dan di mana ia hutang (irak)

2.      Khiyar
Pemberlakuan hokum khiyar dalam jual beli baik dilakukan penjual atau pembeli adalah untuk menghindari adanya penipuan dengan adanya peraturan ini pihak yang tertipu diperkenankan membatalkan kembali transaksi dan meminta uangya kembali.”

3.      Jaminanan (tanggung jawab)
Orang yang menipu wajib bertanggung jawab kepada orang yang tertipu. Hal ini dapat terjadi dalam tiga hal :
a.       Penipuan ini terjadi dalam transaksi tukar menukar (mu’awadhah) walaupun transaksi itu dianggap rusak, atau transaksi itu bukan terjadi pada harta benda seperti nikah, contoh : jika seorang menjual harta orang lain tanpa izin, dan pemiliknya tidak mengijinkan dan pembeli tidak mengetahui kalau barang itu milik orang lain, sedangkan pembayaran uang itu  telah di hilangkan oleh penjual, maka ia wajib mengganti uang yang di hilangkan tadi.
b.      Penipuan terjadi pada saat serah terima yang keuntunganya kembali kepada orang yang menyerahkan seperti pada akad wa’diah (titipan) dan ijarah (Sewa),
contoh : apabila barang titipan atau barang yang disewakan rusak dan penyewa atau orang yang dititipi mengganti kerusakan itu, maka ia boleh meminta uang pengganti kepada orang yang menitipkan atau yang menyewakan.
c.       Jaminan atau tanggung jawab orang yang menipu berkaitan dengan keselamatan. Contoh : seseorang berkata kepada orang lain, “Berjalanlah dijalan ini tentu kamu akan selamat dan apabila kamu lewat jalan in  kemudian barang kamu diambil orang, saya yang bertanggung jawab.” Namun keyataanya lain, barang bawaanya dicuri orang maka orang yang menyuruh itu wajib bertanggung jawab.

Qaidah-qaidah cabang
Suatu bahaya tidak boleh dihilangkan dengan menimbulkan bahaya lain.”
Qai’idah cabang yang pertama ini merupakan pembatasan terhadap qa’idah pokonya. Hubungan antara keduanya ibarat hubungan antara sesuatu yang khusus dengan Sesutu yang mencangkupnya (antara bagian dengan induksinya).
            Maksud qai’dah ini ialah sesuatu yang berbahaya tidak boleh dihilangkan dengan suatu bahaya lain yang setingkat kadarnya bahayanya, atau yang lebih besar kadar bahayanya. Oleh karena sebab itu untuk menghilangkan suatu bahaya disyaratkan harus tidak menimbulkan bahaya lain jika hal itu dimungkinkan. Apabila tidak memungkinkan, maka bahaya yang timbulkan harus diminilimasir sekecil mungkin.
            Diantara aplikasi qa’idah furu’ ini, imam al-suyuthi banyak memberikan contoh-contoh kasus yang berkaitan dengan qai’dah ini, agar menjadi jalan yang bias digunakan untuk menganalogikan permasalahan-permasalahan lainya.
1.      Apabila ada dua orang bersepakat untuk bersama-sama (syirkah) menempati rumah yang masih memerlukan pembenahan dan perwatan, sedangkan salah satu dari mereka tidak mampu melakukanya, maka salah satu yang ,lain tidak boleh memaksanya untuk ilut andil dalam melakukan pembenahan dan perawatan tersebut.
2.       Tidak boloeh memaksa diri meletakkan kayu batangan (judhu) atau benda yang lain pada dinding rumah tetangga, karena perbuatan ini bias menghilangkan dhoror pada dirinya, akan tetapi menimbulkan dharar pada orang lain.
3.      Seseorang terdesak dan terpepet, tidak boleh memakan makanan orang lain yang sama-sama terpepet, karena perbuatan semacam ini sama saja dengan menghilangkan bahaya dengan cara.menimbulkan bahaya orang lain

4.       
BAB III
KESIMPULAN

  1. Kesimpulan
Kaidah keterpaksaan membolehkan (seseorang melakukan) hal yang terlarang merupakan cabang dari kaidah kemudharatan itu harus dihilangkan. Dharurat adalah suatu keadaan yang mengancam jiwa atau anggota badan seseorang sehingga ia dibolehkan melakukan suatu perbuatan yang dilarang atau memakan yang diharamkan. Dikalangan ulama’ ushul, yang dimaksud dengan keadaan darurat yang membolehkan seseorang melakukan yang dilarang adalah keadaan yang memenuhi syarat sebagai berikut :
  1. Kondisi darurat itu mengancam jiwa atau anggota badan. Hal ini berdasarkan ayat al-qur’an surat al-baqarah : 177, al-maidah : 105, al-an’am : 145, artinyamenjagajiwa (hifzh al-nafs) seperti boleh memukul orang yang akan merebut harta milik kita. Bahkan hadits nabi mengatakan “ manmatadunamalihifahuwasyahidun” barangsiapa yang terbunuh karena mempertahankan harta miliknya yang syah maka matinya adalah syahid.
  2. Keadaan darurat hanya dilakukan sekedarnya dalam arti tidak melampaui batas.
  3. Tidak ada jalan lain yang halal kecuali dengan melakukan hal yang dilarang.
Adapun kaidah yang setara dengan Kaidah Keterpaksaan membolehkan Hal yang Terlarang :
  1. Kemudharatan harus ditolak dalam batas-batas yang memungkinkan.
  2. Kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan kemudharatan lagi.
  3. Kemudharatan yang khusus boleh dilaksanakan demi menolak kemudharatan yang bersifat umum.
  4. Kemudharatan yang lebih berat dihilangkan dengan kemudharatan yang lebih ringan.
  5. Kemudharatan itu tidak dapat dibiarkan karena dianggap telah lama terjadi.
  6. Kedudukan kebutuhan itu menempati kedudukan darurat baik umum maupun khusus.
  7. Setiap keringanan yang dibolehkan karena daruratatau karena al-hajah, tidak boleh dilaksanakan sebelum terjadinya kondisi darurat atau al-hajah.
  8. Setiap tindakan hukum yang membawa kemasfadatan atau menolak kemaslahatan adalah dilarang.


Daftar Pustaka
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, Jakarta, Prenada Media Group, 2006
http://wardahcheche.blogspot.com/2013/11/kaidah-lima-asasi-ushul-fiqh.html
Jaih, Sejarahan Kaidah Asasi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), Cet. 1


                        1. http://wardahcheche.blogspot.com/2013/11/kaidah-lima-asasi-ushul-fiqh.html
                2 A. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), h 67
                [3]  Jaih, Sejarahan Kaidah Asasi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), Cet. 1, h. 153



0 Response to "Makalah Qowaid Fiqhiyah Kaidah ke-IV (Bahaya yang harus di hilangkan)"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel