Makalah tentang Iddah
Thursday, February 7, 2019
Add Comment
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Dengan adanya pelajaran atau buku
fiqih kita dapat mengetahui secara singkat namun sangat mendasar
dan memberi gambaran yang luas mengenai hukum fardhu ‘ain dan fardhu kifayah,
karna pelajaran ini di perkuat oleh dalil-dalil Al- Qur’an hadis ijma dan qias.
Apalagi pada masa sekarang ini
banyak ummat islam yang tidak mengetahui secara jelas tentang hukum-hukum
tentang muamalat, maka dari itu dengan adanya pelajaran ini kita meraih
kebahagian dunia dan akhirat karna ilmu fiqih melebihi segala ilmu,
sebagaimana Rasulullah Saw. Bersabda “Barang siapa dikehendaki suatu kebaikan
oleh Allah Swt., Maka ia di beri pemahaman dalam masalah agama (ahlifigih).”
B. Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
pengertian Iddah?
2.
Bagaimana
dasar hukum Iddah?
3.
Bagaimana
hak dan kewajiban suami istri dalam masa Iddah?
4.
Bagaimana
hal yang dilarang waktu Iddah?
C. Tujuan dan
Manfaat
1.
Untuk
mengetahui pengertian Iddah.
2.
Untuk
mengetahui dasar hukum Iddah.
3.
Untuk
mengetahui hak dan kewajiban suami istri dalam masa Iddah.
4.
Untuk
mengetahui hal yang dilarang waktu Iddah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Iddah
Masa ‘iddah adalah istilah yang
diambil dari bahasa Arab dari kata (العِدَّة)
yang bermakna perhitungan (الإِحْصَاء). Dinamakan
demikian karena seorang menghitung masa suci atau bulan secara umum dalam
menentukan selesainya masa iddah.
Menurut istilah para ulama, masa
‘iddah ialah sebutan atau nama suatu masa di mana seorang wanita menanti atau
menangguhkan perkawinan setelah ia ditinggalkan mati oleh suaminya atau setelah
diceraikan baik dengan menunggu kelahiran bayinya, atau berakhirnya beberapa
quru’, atau berakhirnya beberapa bulan yang sudah ditentukan.
Ada yang menyatakan, masa ‘iddah
adalah istilah untuk masa tunggu seorang wanita untuk memastikan bahwa dia
tidak hamil atau karena ta’abbud atau untuk menghilangkan rasa sedih atas sang
suami.
B. Dasar Hukum
Iddah
Masa iddah sebenarnya sudah dikenal
dimasa jahiliyah. Ketika Islam datang, masalah ini tetap diakui dan
dipertahankan. Oleh karena itu para Ulama sepakat bahwa ‘iddah itu wajib,
berdasarkan al-Qur`ân dan Sunnah.
Dalil dari al-Qur`ân yaitu firman
Allâh Azza wa Jalla :
قُرُوءٍ
ثَلَاثَةَ بِأَنْفُسِهِنَّ يَتَرَبَّصْنَ وَالْمُطَلَّقَاتُ
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru’.” [al-Baqarah/2:228]
Sedangkan dalil dari sunnah banyak sekali, diantaranya
:
عَنْهَا تَحْتَ زَوْجِهَا سُبَيْعَةُ
كَانَتْ يُقَالُ لَهَا مِنْ أَسْلَمَ أَنَّ امْرَأَةً عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى
اللَّهُ النَّبِيِّعَنْ أُمِّ سَلَمَةَ زَوْج
تَعْتَدِّي آخِرَ يَصْلُحُ أَنْ
تَنْكِحِيهِ وَاللَّهِ مَا تَنْكِحَهُ فَقَالَ فَأَبَتْ أَنْ السَّنَابِلِ بْنُ
بَعْكَكٍ فَخَطَبَهَا أَبُو وَهِيَ حُبْلَىتُوُفِّيَ
وَسَلَّمَ فَقَالَ انْكِحِي صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ جَاءَتْ النَّبِيَّ لَيَالٍ ثُمَّ مِنْ عَشْرِ فَمَكُثَتْ
قَرِيبًاالْأَجَلَيْنِ حَتَّى
“Dari Ummu Salamah istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bahwasanya seorang wanita dari Aslam bernama Subai’ah ditinggal mati
oleh suaminya dalam keadaan hamil. Lalu Abu Sanâbil bin Ba’kak melamarnya,
namun ia menolak menikah dengannya. Ada yang berkata, “Demi Allâh, dia tidak
boleh menikah dengannya hingga menjalani masa iddah yang paling panjang dari dua
masa iddah. Setelah sepuluh malam berlalu, ia mendatangi Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Menikahlah!” [HR al-Bukhâri no. 4906].
C. Hak dan
Kewajiban Suami Istri dalam Masa Iddah
Penting untuk diketahui bahwa
perceraian atau talak raj’i (talak 1 & 2) belumlah memutuskan
perkawinan dalam makna yang sesungguhnya. oleh sebab itu, wanita yang telah di
talak suaminya, selama berada pada masa iddah tetap dipandang sebagai istri
dari suaminya dan suami dari istrinya yang memiliki hak dan kewajiban
kendatipun tidak penuh lagi.
Menurut hukum islam kewajiban
memberikan nafkah kepada bekas istri disebutkan dalam al-Qur’an surah al-Thalaq
ayat (1):
يَٰٓأَيُّهَاٱلنَّبِيُّ إِذَا طَلَّقۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ
فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحۡصُواْ ٱلۡعِدَّةَۖ وَٱتَّقُواْٱللَّهَ
رَبَّكُمۡۖ لَا تُخۡرِجُوهُنَّ مِنۢ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخۡرُجۡنَ إِلَّآ أَن
يَأۡتِينَ بِفَٰحِشَةٖ مُّبَيِّنَةٖۚ وَتِلۡكَ حُدُودُٱللَّهِۚ وَمَن يَتَعَدَّ
حُدُودَ ٱللَّهِ فَقَدۡ ظَلَمَ نَفۡسَهُۥۚ لَا تَدۡرِي لَعَلَّ ٱللَّهَ يُحۡدِثُ
بَعۡدَ ذَٰلِكَ أَمۡرٗا ١
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu
maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi)
iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada
Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah
mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang
terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum
Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu
tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang
baru.”
Menurut T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy
seorang ulama besar dalam bidang tafsir dan hadis, ayat inilah yang menjadi
pegangan ulama dalam membagi talak menjadi talak sunnah dan bid’ah. Talak
sunnah (sunny) adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan
terhadap istri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut.
Sedangkan yang dimaksud talak bid’ah (bi’di) adalah talak yang
dilarang yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu istri dalam keadaan haid, atau
istri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut.
Mencermati ayat di atas, ada
beberapa hal yang menarik untuk dicatat:
1.
Bahwa
menalak istri hendaklah dalam keadaan si istri suci dan belum dicampuri, ini
berarti talak sunni. Sedangkan menjatuhkan talak dalam keadaan haid atau dalam
keadaan suci tapi telah dijima’ (disetubuhi) maka hukumnya haram atau dilarang.
2.
Suami wajib
memberikan tempat tinggal kepada istri yang ditalak, selama mereka masih dalam
iddah dan tidak boleh mereka keluar/pindah ketempat lain kecuali mereka
bersikap yang tidak baik.
3.
Tempat
tinggal tidak wajib diberikan kepada istri yang tidak dapat rujuk lagi.
4.
Tidak boleh
dilkukan sebagai jalan keluar dari pergaulan suami istri yang tidak aman.
Dalam surah Ath-Talaq ayat 6
disebutkan:
أَسۡكِنُوهُنَّ مِنۡ حَيۡثُ سَكَنتُم مِّن وُجۡدِكُمۡ
وَلَا تُضَآرُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُواْ عَلَيۡهِنَّۚ وَإِن كُنَّ أُوْلَٰتِ حَمۡلٖ
فَأَنفِقُواْ عَلَيۡهِنَّ حَتَّىٰ يَضَعۡنَ حَمۡلَهُنَّۚ فَإِنۡ أَرۡضَعۡنَ لَكُمۡ
فََٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأۡتَمِرُواْ بَيۡنَكُم بِمَعۡرُوفٖۖ وَإِن
تَعَاسَرۡتُمۡ فَسَتُرۡضِعُ لَهُۥٓ أُخۡرَىٰ ٦
“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu
bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka
untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah
ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka
bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah
kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu)
dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh
menyusukan (anak itu) untuknya.”
Demikianlah hukum islam telah
menentukan dengan tegas tentang istri yang ditalak suaminya. Ayat ini merupakan
dasar bagi suami untuk memberikan tempat tinggal bagi istri-istri yang
ditalaknya, bahkan ayat ini memberikan pengertian yang tegas tentang kewajiban
lainnya yang harus dipenuhi oleh suami seperti memberikan biaya untuk
menyusukan anak-anaknya.
Pengadilan dapat mewajibkan kepada
bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan kepada bekas istri (pasal 41 UU
No. 1 1974). Ketentuan ini dimaksud agar mantan istri yang telah diceraikan
suaminya jangan sampai menderita karena tidak mampu memenuhi kebutuhan
kehidupannya. Dengan demikian apabila terjadi perceraian, suami mempunyai
kewajiban-kewajiban tertentu yang harus dipenuhi kepada mantan istrinya,
kewajiban-kewajiban tersebut ialah:
1.
Memberikan mut’ah yang layak kepada
mantan istrinya, baik berupa uang atau benda,
kecuali bekas istri tersebut qobla
al dhukhul.
2. Memberikan
nafkah kepada mantan istri selama masa iddah, kecuali mantan istri telah
dijatuhi talak ba’in atau nasyuz dan dalam keadaan tidak hamil.
3. Melunasi
mahar yang masih terutang dan apababila perkawinan itu qabla al dhukul mahar
dibayar setengahnya.
4.
Memberikan
biaya hadanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.
Untuk hak dan kewajiban seorang istri yang berada
dalam masa iddah, khususnya talak raj’i diantarannya ialah:
1.
Tidak boleh
dipinang oleh laki-laki lain, baik secara terang-terangan maupun dengan cara
sindiran. Namun bagi wanita yang ditinggal mati suaminya dikecualikan bahwa ia
boleh dipinang dengan sindiran.
2.
Dilarang
keluar rumah menurut jumhur ulama fikih selain mazhab Syafi’i apabila tidak ada
keperluan mendesak, seperti untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya.
Alasan yang digunakan ialah surah ath-Talaq ayat 1:
لَا تُخۡرِجُوهُنَّ مِنۢ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخۡرُجۡنَ
إِلَّآ أَن يَأۡتِينَ بِفَٰحِشَةٖ مُّبَيِّنَةٖۚ
“Janganlah
kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar
kecuali kalau mereka mengerjakan pekerjaan yang keji dan terang.”
Larangan ini
jg dikuatkan dengan beberapa hadis Rasululullah SAW.
Wanita yang berada dalam iddah talak raj’i terlebih
lagi yang sedang hamil, berhak mendapatkan nafkah lahir dari suaminya. Bagi
wanita yang ditinggal mati suaminya tentu tidak lagi mendapatkan apa-apa
kecuali harta waris, namun berhak untuk tetap tinggal di rumah suaminya sampai
berakhirnya masa iddah.Wanita tersebut wajib berihdad(iddah wanita yang
ditinggal mati suaminya) yaitu tidak mempergunakan alat-alat kosmetik untuk
mempercantik diri selama empt bulan sepuluh hari.Wanita yang berada dalam iddah
talak raj’i ia berhak mendapatkan harta waris dari suaminya yang wafat,
sedangkan wanita yang telah ditalak tiga tidak berhak mendapatkanya.
D. Hal Yang
Dilarang Masa Iddah
Diantara yang tidak boleh dilakukan
oleh wanita yang sedang ber`iddah adalah menerima khitbah, menikah, keluar
rumah, dan berhias.
1.
Menerima Khitbah
Seorang
wanita yang baru saja ditalak suaminya, atau ditinggal mati, maka dia harus
menjalani masa iddah, dimana ketika masa iddah itu dia tidak boleh menerima
ajakan atau lamaran (khitbah) dari seorang laki-laki.
Kalau pun
laki-laki itu punya keinginan untuk menikahinya, maka tidak boleh disampaikan
dalam bentuk terang-terangan. Yang dibolehkan hanya bila dilakukan lewat bentuk
sindiran. Hal itu telah diatur Allah SWT di dalam ayat berikut ini (Al-Baqarah
235):
وَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ فِيمَا عَرَّضۡتُم بِهِۦ مِنۡ
خِطۡبَةِ ٱلنِّسَآءِ أَوۡ أَكۡنَنتُمۡ فِيٓ أَنفُسِكُمۡۚ عَلِمَ ٱللَّهُ
أَنَّكُمۡ سَتَذۡكُرُونَهُنَّ وَلَٰكِن لَّا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلَّآ أَن
تَقُولُواْ قَوۡلٗا مَّعۡرُوفٗاۚ وَلَا تَعۡزِمُواْ عُقۡدَةَٱلنِّكَاحِ حَتَّىٰ
يَبۡلُغَ ٱلۡكِتَٰبُ أَجَلَهُۥۚ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ يَعۡلَمُ مَا فِيٓ
أَنفُسِكُمۡ فَٱحۡذَرُوهُۚ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٞ ٢٣٥
“Dan tidak
ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu
menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui
bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu
mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar
mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma'ruf. Dan janganlah kamu ber'azam
(bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. Dan ketahuilah
bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah
kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”
2.
Menikah
Kalau sekedar menerima lamaran saja
diharamkan, maka tentu saja bila menikah lebih diharamkan lagi. Sehingga kalau
seorang wanita yang dicerai suaminya atau ditinggal mati mau menikah lagi, dia
harus menunggu sampai masa iddahnya selesai terelbih dahulu.
Pernikahan seorang wanita yang
dilakukan ketika masa iddah belum selesai adalah pernikahan yang haram, dan
hukumnya tidak sah dalam syariat Islam.
3.
Keluar Rumah
Seorang wanita yang sedang menjalani
masa iddah diwajibkan melakukan apa yang disebut dengan mulazamtu as-sakan (ملازمة
السكن). Artinya adalah selalu berada di dalam
rumah, tidak keluar dari dalam rumah, selama masa iddah itu berlangsung.
Wanita itu tidak diperkenankan
keluar meninggalkan rumah tempat dia dimana menjalani masa iddah itu, kecuali
ada udzur-uzdur yang secara syar’i memang telah diperbolehkan, atau ada hajat
yang tidak mungkin ditinggalkan.
Pelanggaran ini berdampak pada dosa
dan kemasiatan. Dan bagi suami yang mentalak istrinya, ada kewajiban untuk
menegur dan mencegah istrinya bila keluar dari rumah.
Dalilnya
adalah apa yang telah Allah SWT tetapkan di dalam Al-Quran Al-Karim :
لَا تُخۡرِجُوهُنَّ مِنۢ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخۡرُجۡنَ
“Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah para
wanita itu keluar dari rumah." (QS. Ath-Talak : 1)
Namun para ulama, di antaranya
mazhab Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah, serta Ats-Tsuari,
Al-Auza’i, Allaits dan yang lainya, mengatakan bahwa bagi wanita yang ditalak
bain, yaitu talak yang tidak memungkinkan lagi untuk dirujuk atau kembali, seperti
ditalak untuk yang ketiga kalinya, maka mereka diperbolehkan untuk keluar
rumah, setidak-tidaknya pada siang hari.
Alasannya karena wanita yang telah
ditalak seperti itu sudah tidak berhak lagi mendapatkan nafkah dari mantan
suaminya. Dan dalam keadaan itu, dia wajib mencari nafkah sendiri dengan kedua
tangannya. Maka tidak masuk akal bila wanita itu tidak boleh keluar rumah,
sementara tidak ada orang yang berkewajiban untuk menafkahinya.
Selain itu memang ada nash yang membolehkan hal itu,
sebagaimana hadits berikut ini :
فَنَهَاهَارَجُلٌفَلَقِيَهَالَهَانَخْلتَجِدُّ
فَخَرَجَتْثَلاَثًاخَالَتِيطَلُقَتْ:قَالاللَّهِعَبْدِبْنِجَابِرِعَنْ
أَوْمِنْهُتَصَدَّقِيأَنْلَعَلَّكِنَخْلَكِفَجُدِّياخْرُجِي:لَهَافَقَاللَهُذَلِكَفَقَالَتْالنَّبِيَّ فَأَتَتِ
خَيْرًاتَفْعَلِي
“Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahuanhu, dia
berkata,”Bibiku ditalak yang ketiga oleh suaminya. Namun beliau tetap keluar
rumah untuk mendapatkan kurma (nafkah), hingga beliau bertemu dengan seseorang
yang kemudian melarangnya. Maka bibiku mendatangi Rasulullah SAW sambil
bertanya tentang hal itu. Dan Rasululah SAW berkata,”Silahkan keluar rumah dan
dapatkan nafkahmu, barangkali saja kamu bisa bersedekah dan mengerjakan
kebaikan.”(HR. Muslim).
Dalam hal ini yang menjadi ‘illat
atas kebolehannya semata-mata karena wanita itu tidak ada yang memberinya
nafkah untuk menyambung hidup. Sedangkan bila ada yang memberinya nafkah, atau
dia adalah wanita yang punya harta, yang dengan hartanya itu cukup untuk
menyambung hidup tanpa harus bekerja keluar rumah, maka kebolehan keluar rumah
itu tidak berlaku.
Mengomentari hadits ini, para ulama
mengatakan bahwa hal itu termasuk dibolehkan, asalkan kondisinya amanat dan
pada saat menjelang tidur, mereka kembali ke rumah mereka masing-masing.
4.
Berhias
Seorang wanita yang sedang dalam
masa iddah dilarang untuk berhias atau bercantik-cantik. Dalam istilah fiqih
disebut dengan al-ihdad (الإحداد) atau
al-ihtidad (الإحتداد). Dan diantara kategori berhias itu antara
lain adalah :
·
Menggunakan
alat perhiasan seperti emas, perak atau sutera
·
Menggunakan
parfum atau wewangian
· Menggunakan
celak mata, kecuali ada sebagian ulama yang membolehkannya memakai untuk malam
hari karena darurat.
·
Memakai
pewarna kuku seperti pacar kuku (hinna`) dan bentuk-bentuk pewarna lainnya.
· Memakai
pakaian yang berparfum atau dicelup dengan warna-warna seperti merah dan
kuning.
Di dalam Fiqih Sunnah Sayyid Sabiq
mengatakan: “Isteri yang sedang menjalani masa ‘iddah berkewajiban untuk
menetap di rumah dimana ia dahulu tinggal bersama sang suami sampai selesai
masa ‘iddahnya dan tidak diperbolehkan baginya keluar dan rumah tensebut.
Sedangkan suaminya juga tidak diperbolehkan untuk mengeluarkannya ia dari
rumahnya.
Seandainya terjadi perceraian di
antara mereka berdua, sedang isterlnya tidak berada di rumah dimana mereka
berdua menjalani kehidupan rumah tangga, maka si isteri wajib kembali kepada
suaminya untuk sekedar suaminya mengetahuinya dimana ia berada. Sebagaimana
disebutkan di dalam firman Allah SWT pada surat Ath-Talak ayat pertama.”
Apabila isteri yang ditalak itu
melakukan perbuatan keji secara terang-terangan memperlihatkan sesuatu yang
tidakbaik bagi keluarga suaminya, maka dibolehkan bagi suami untuk mengusirnya
dari rumah tersebut, demikian menu rut Ibnu Abbas.
Pendapat Sayyid Sabiq di atas juga
ditentang oleh Aisyah Radhiyallahu Anha, Ibnu Abbas, Jabir bin Zaid, Hasan,
Atha’, dan diriwayatkan dan Ali dan Jabir; dimana Aisyah sendiri pernah
mengeluarkan fatwa kepada isteri yang ditinggal mati suaminya untuk keluar dan
rumah pada saat menjalani masa ‘iddahnya. Lalu isteri tersebut keluar rumah
bersama dengan saudara perempuannya, Ummu Kultsum berangkat ke Makkah untuk
menjalankan ibadah umrah, yaitu ketika Thalhah bin Ubaid terbunuh.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Masa ‘iddah ialah sebutan atau nama
suatu masa di mana seorang wanita menanti atau menangguhkan perkawinan setelah
ia ditinggalkan mati oleh suaminya atau setelah diceraikan baik dengan menunggu
kelahiran bayinya, atau berakhirnya beberapa quru’, atau berakhirnya beberapa
bulan yang sudah ditentukan.Masa iddah sebenarnya sudah dikenal dimasa
jahiliyah. Ketika Islam datang, masalah ini tetap diakui dan dipertahankan.
Oleh karena itu para Ulama sepakat bahwa ‘iddah itu wajib, berdasarkan
al-Qur`ân dan Sunnah.
Penting untuk diketahui bahwa
perceraian atau talak raj’i (talak 1 & 2) belumlah memutuskan
perkawinan dalam makna yang sesungguhnya. oleh sebab itu, wanita yang telah di
talak suaminya, selama berada pada masa iddah tetap dipandang sebagai istri
dari suaminya dan suami dari istrinya yang memiliki hak dan kewajiban
kendatipun tidak penuh lagi.
B.
Saran
Demikian makalah ini dapat kami
selesaikan. Kami berharap agar makalah yang kami susun ini menjadi bermanfaat
bagi penulis maupun pembaca dan menambah wawasan mengenai Fiqh khususnya
tentang masa Iddah di mata kuliah Fiqh Munakahat.
DAFTAR
PUSTAKA
Drs. H. Abd. Rahman
Ghazaly, M.A, Fiqh Munakahat, Kencana, Jakarta Timur, 2003
IDDAH
Diajukan Sebagai Syarat Untuk
Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh Munakahat
Dosen
Pengampu :
Rimato,
M.H.I
Disusun Oleh
:
Tamtomi
Rizal (
1610101015 )
Septiani (
1610101014 )
Yeti
( 1610101014 )
SEKOLAH TINGGI ILMU SYARIAH
MUHAMADIYAH
PRINGSEWU LAMPUNG 2017
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji bagi Allah yang telah menghadirkan sebuah risalah
yang begitu indah dan penuh berkah yaitu Islam. Segala puji bagi-Nya yang telah
mencukupkan bagi setiap hamba yang beriman dengan agama tersebut. Sungguh,
Allah telah menjadikan Islam sebagai agama yang sempurna dari seluruh aspeknya.
Salam dan Shalawat senantiasa kami harapkan agar tercurah kepada beliau
Rasulullah Muhammad Saw. Beliaulah suri tauladan yang utama di alam semesta
ini. Beliau telah menunaikan amanah, menyampaikan risalah dan mengabarkan
balasan yang tiada taranya bagi siapa yang mengikuti beliau, yaitu balasan
jannah.
Kami menyadari
tak ada gading yang tak retak demikian pula makalah ini, masih banyak
kekurangan dan masih jauh dari kata sempurna. Dengan kerendahan hati, kami
mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun guna perbaikan serta
penyempurnaan makalah ini. Kami juga mengucapkan permohonan maaf apabila
terdapat kata-kata yang kurang berkenan di hati pembaca.
Pringsewu, 21 April 2017
Kelompok
|
Daftar
Isi
DAFTAR ISI........................................................................................................................ i
BAB I.................................................................................................................................... 1
Pendahuluan.......................................................................................................................... 1
A. Latar
Belakang..................................................................................................... 1
B. Rumusan
Masalah................................................................................................ 1
C. Tujuan
Penulisan.................................................................................................. 1
BAB II....................................................................................................................... ........... 2
Pembahasan........................................................................................................................... 2
A. Kehidpan
Plotinus............................................................................................... 2
B. Ajaran
Filsafat Plotinus....................................................................................... 3
C. Tujuan
Filsafat Plotinu......................................................................................... 8
BAB III................................................................................................................................. 9
Penutup.................................................................................................................................. 9
A. Kesimpulan.......................................................................................................... 9
B. Kritik
dan Saran................................................................................................... 9
DAFTAR
PUSTAKA........................................................................................................... 10
|
|||
0 Response to "Makalah tentang Iddah"
Post a Comment