Makalah tentang Iddah


BAB I
PENDAHULUAN

     A.    Latar Belakang
Dengan adanya pelajaran atau buku fiqih  kita dapat mengetahui secara singkat  namun sangat mendasar dan memberi gambaran yang luas mengenai hukum fardhu ‘ain dan fardhu kifayah, karna pelajaran ini di perkuat oleh dalil-dalil Al- Qur’an hadis ijma dan qias.
Apalagi pada masa sekarang ini banyak ummat islam yang tidak mengetahui secara jelas tentang hukum-hukum tentang muamalat, maka dari itu dengan adanya pelajaran ini kita meraih kebahagian dunia dan akhirat karna ilmu fiqih melebihi segala ilmu,  sebagaimana Rasulullah Saw. Bersabda “Barang siapa dikehendaki suatu kebaikan oleh Allah Swt., Maka ia di beri pemahaman dalam masalah agama (ahlifigih).”


     B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengertian Iddah?
2.      Bagaimana dasar hukum Iddah?
3.      Bagaimana hak dan kewajiban suami istri dalam masa Iddah?
4.      Bagaimana hal yang dilarang waktu Iddah?

    C.    Tujuan dan Manfaat
1.      Untuk mengetahui pengertian Iddah.
2.      Untuk mengetahui dasar hukum Iddah.
3.      Untuk mengetahui hak dan kewajiban suami istri dalam masa Iddah.
4.      Untuk mengetahui hal yang dilarang waktu Iddah.








BAB II
PEMBAHASAN

     A.    Pengertian Iddah
Masa ‘iddah adalah istilah yang diambil dari bahasa Arab dari kata (العِدَّة) yang bermakna perhitungan (الإِحْصَاء). Dinamakan demikian karena seorang menghitung masa suci atau bulan secara umum dalam menentukan selesainya masa iddah.
Menurut istilah para ulama, masa ‘iddah ialah sebutan atau nama suatu masa di mana seorang wanita menanti atau menangguhkan perkawinan setelah ia ditinggalkan mati oleh suaminya atau setelah diceraikan baik dengan menunggu kelahiran bayinya, atau berakhirnya beberapa quru’, atau berakhirnya beberapa bulan yang sudah ditentukan.
Ada yang menyatakan, masa ‘iddah adalah istilah untuk masa tunggu seorang wanita untuk memastikan bahwa dia tidak hamil atau karena ta’abbud atau untuk menghilangkan rasa sedih atas sang suami.

    B.     Dasar Hukum Iddah
Masa iddah sebenarnya sudah dikenal dimasa jahiliyah. Ketika Islam datang, masalah ini tetap diakui dan dipertahankan. Oleh karena itu para Ulama sepakat bahwa ‘iddah itu wajib, berdasarkan al-Qur`ân dan Sunnah.
Dalil dari al-Qur`ân yaitu firman Allâh Azza wa Jalla :
قُرُوءٍ ثَلَاثَةَ بِأَنْفُسِهِنَّ يَتَرَبَّصْنَ وَالْمُطَلَّقَاتُ
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.” [al-Baqarah/2:228]
Sedangkan dalil dari sunnah banyak sekali, diantaranya :
 عَنْهَا تَحْتَ زَوْجِهَا سُبَيْعَةُ كَانَتْ يُقَالُ لَهَا مِنْ أَسْلَمَ أَنَّ امْرَأَةً عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى اللَّهُ النَّبِيِّعَنْ أُمِّ سَلَمَةَ زَوْج
تَعْتَدِّي آخِرَ يَصْلُحُ أَنْ تَنْكِحِيهِ وَاللَّهِ مَا تَنْكِحَهُ فَقَالَ فَأَبَتْ أَنْ السَّنَابِلِ بْنُ بَعْكَكٍ فَخَطَبَهَا أَبُو وَهِيَ حُبْلَىتُوُفِّيَ
وَسَلَّمَ فَقَالَ انْكِحِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ جَاءَتْ النَّبِيَّ لَيَالٍ ثُمَّ مِنْ عَشْرِ فَمَكُثَتْ قَرِيبًاالْأَجَلَيْنِ حَتَّى

“Dari Ummu Salamah istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya seorang wanita dari Aslam bernama Subai’ah ditinggal mati oleh suaminya dalam keadaan hamil. Lalu Abu Sanâbil bin Ba’kak melamarnya, namun ia menolak menikah dengannya. Ada yang berkata, “Demi Allâh, dia tidak boleh menikah dengannya hingga menjalani masa iddah yang paling panjang dari dua masa iddah. Setelah sepuluh malam berlalu, ia mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Menikahlah!” [HR al-Bukhâri no. 4906].

    C.    Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam Masa Iddah
Penting untuk diketahui bahwa perceraian atau talak raj’i (talak 1 & 2) belumlah memutuskan perkawinan dalam makna yang sesungguhnya. oleh sebab itu, wanita yang telah di talak suaminya, selama berada pada masa iddah tetap dipandang sebagai istri dari suaminya dan suami dari istrinya yang memiliki hak dan kewajiban kendatipun tidak penuh lagi.
Menurut hukum islam kewajiban memberikan nafkah kepada bekas istri disebutkan dalam al-Qur’an surah al-Thalaq ayat (1):
يَٰٓأَيُّهَاٱلنَّبِيُّ إِذَا طَلَّقۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحۡصُواْ ٱلۡعِدَّةَۖ وَٱتَّقُواْٱللَّهَ رَبَّكُمۡۖ لَا تُخۡرِجُوهُنَّ مِنۢ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخۡرُجۡنَ إِلَّآ أَن يَأۡتِينَ بِفَٰحِشَةٖ مُّبَيِّنَةٖۚ وَتِلۡكَ حُدُودُٱللَّهِۚ وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ ٱللَّهِ فَقَدۡ ظَلَمَ نَفۡسَهُۥۚ لَا تَدۡرِي لَعَلَّ ٱللَّهَ يُحۡدِثُ بَعۡدَ ذَٰلِكَ أَمۡرٗا ١
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.”
Menurut T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy seorang ulama besar dalam bidang tafsir dan hadis, ayat inilah yang menjadi pegangan ulama dalam membagi talak menjadi talak sunnah dan bid’ah. Talak sunnah (sunny) adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut. Sedangkan yang dimaksud talak bid’ah (bi’di)  adalah talak yang dilarang yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu istri dalam keadaan haid, atau istri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut.
Mencermati ayat di atas, ada beberapa hal yang menarik untuk dicatat:
1.      Bahwa menalak istri hendaklah dalam keadaan si istri suci dan belum dicampuri, ini berarti talak sunni. Sedangkan menjatuhkan talak dalam keadaan haid atau dalam keadaan suci tapi telah dijima’ (disetubuhi) maka hukumnya haram atau dilarang.
2.      Suami wajib memberikan tempat tinggal kepada istri yang ditalak, selama mereka masih dalam iddah dan tidak boleh mereka keluar/pindah ketempat lain kecuali mereka bersikap yang tidak baik.
3.      Tempat tinggal tidak wajib diberikan kepada istri yang tidak dapat rujuk lagi.
4.      Tidak boleh dilkukan sebagai jalan keluar dari pergaulan suami istri yang tidak aman.
Dalam surah Ath-Talaq ayat 6 disebutkan:
أَسۡكِنُوهُنَّ مِنۡ حَيۡثُ سَكَنتُم مِّن وُجۡدِكُمۡ وَلَا تُضَآرُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُواْ عَلَيۡهِنَّۚ وَإِن كُنَّ أُوْلَٰتِ حَمۡلٖ فَأَنفِقُواْ عَلَيۡهِنَّ حَتَّىٰ يَضَعۡنَ حَمۡلَهُنَّۚ فَإِنۡ أَرۡضَعۡنَ لَكُمۡ فَ‍َٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأۡتَمِرُواْ بَيۡنَكُم بِمَعۡرُوفٖۖ وَإِن تَعَاسَرۡتُمۡ فَسَتُرۡضِعُ لَهُۥٓ أُخۡرَىٰ ٦
“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.”
Demikianlah hukum islam telah menentukan dengan tegas tentang istri yang ditalak suaminya. Ayat ini merupakan dasar bagi suami untuk memberikan tempat tinggal bagi istri-istri yang ditalaknya, bahkan ayat ini memberikan pengertian yang tegas tentang kewajiban lainnya yang harus dipenuhi oleh suami seperti memberikan biaya untuk menyusukan anak-anaknya.
Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan kepada bekas istri (pasal 41 UU No. 1 1974). Ketentuan ini dimaksud agar mantan istri yang telah diceraikan suaminya jangan sampai menderita karena tidak mampu memenuhi kebutuhan kehidupannya. Dengan demikian apabila terjadi perceraian, suami mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu yang harus dipenuhi kepada mantan istrinya, kewajiban-kewajiban tersebut ialah:
1.         Memberikan mut’ah yang layak kepada mantan istrinya, baik berupa uang atau benda,  
kecuali bekas istri tersebut qobla al dhukhul.
2.       Memberikan nafkah kepada mantan istri selama masa iddah, kecuali mantan istri telah dijatuhi talak ba’in atau nasyuz dan dalam keadaan tidak hamil.
3.       Melunasi mahar yang masih terutang dan apababila perkawinan itu qabla al dhukul mahar dibayar setengahnya.
4.        Memberikan biaya hadanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.
Untuk hak dan kewajiban seorang istri yang berada dalam masa iddah, khususnya talak raj’i diantarannya ialah:
1.        Tidak boleh dipinang oleh laki-laki lain, baik secara terang-terangan maupun dengan cara sindiran. Namun bagi wanita yang ditinggal mati suaminya dikecualikan bahwa ia boleh dipinang dengan sindiran.
2.        Dilarang keluar rumah menurut jumhur ulama fikih selain mazhab Syafi’i apabila tidak ada keperluan mendesak, seperti untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya. Alasan yang digunakan ialah surah ath-Talaq ayat 1:

لَا تُخۡرِجُوهُنَّ مِنۢ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخۡرُجۡنَ إِلَّآ أَن يَأۡتِينَ بِفَٰحِشَةٖ مُّبَيِّنَةٖۚ
“Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali kalau mereka mengerjakan pekerjaan yang keji dan terang.”
Larangan ini jg dikuatkan dengan beberapa hadis Rasululullah SAW.

Berhak untuk tetap tinggal dirumah suaminya selama menjalani masa iddah.
Wanita yang berada dalam iddah talak raj’i terlebih lagi yang sedang hamil, berhak mendapatkan nafkah lahir dari suaminya. Bagi wanita yang ditinggal mati suaminya tentu tidak lagi mendapatkan apa-apa kecuali harta waris, namun berhak untuk tetap tinggal di rumah suaminya sampai berakhirnya masa iddah.Wanita tersebut wajib berihdad(iddah wanita yang ditinggal mati suaminya) yaitu tidak mempergunakan alat-alat kosmetik untuk mempercantik diri selama empt bulan sepuluh hari.Wanita yang berada dalam iddah talak raj’i ia berhak mendapatkan harta waris dari suaminya yang wafat, sedangkan wanita yang telah ditalak tiga tidak berhak mendapatkanya.

     D.    Hal Yang Dilarang Masa Iddah
Diantara yang tidak boleh dilakukan oleh wanita yang sedang ber`iddah adalah menerima khitbah, menikah, keluar rumah, dan berhias.
1.        Menerima Khitbah
Seorang wanita yang baru saja ditalak suaminya, atau ditinggal mati, maka dia harus menjalani masa iddah, dimana ketika masa iddah itu dia tidak boleh menerima ajakan atau lamaran (khitbah) dari seorang laki-laki.
Kalau pun laki-laki itu punya keinginan untuk menikahinya, maka tidak boleh disampaikan dalam bentuk terang-terangan. Yang dibolehkan hanya bila dilakukan lewat bentuk sindiran. Hal itu telah diatur Allah SWT di dalam ayat berikut ini (Al-Baqarah 235):
وَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ فِيمَا عَرَّضۡتُم بِهِۦ مِنۡ خِطۡبَةِ ٱلنِّسَآءِ أَوۡ أَكۡنَنتُمۡ فِيٓ أَنفُسِكُمۡۚ عَلِمَ ٱللَّهُ أَنَّكُمۡ سَتَذۡكُرُونَهُنَّ وَلَٰكِن لَّا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلَّآ أَن تَقُولُواْ قَوۡلٗا مَّعۡرُوفٗاۚ وَلَا تَعۡزِمُواْ عُقۡدَةَٱلنِّكَاحِ حَتَّىٰ يَبۡلُغَ ٱلۡكِتَٰبُ أَجَلَهُۥۚ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ يَعۡلَمُ مَا فِيٓ أَنفُسِكُمۡ فَٱحۡذَرُوهُۚ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٞ ٢٣٥
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma'ruf. Dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.
2.        Menikah
Kalau sekedar menerima lamaran saja diharamkan, maka tentu saja bila menikah lebih diharamkan lagi. Sehingga kalau seorang wanita yang dicerai suaminya atau ditinggal mati mau menikah lagi, dia harus menunggu sampai masa iddahnya selesai terelbih dahulu.
Pernikahan seorang wanita yang dilakukan ketika masa iddah belum selesai adalah pernikahan yang haram, dan hukumnya tidak sah dalam syariat Islam.
3.        Keluar Rumah
Seorang wanita yang sedang menjalani masa iddah diwajibkan melakukan apa yang disebut dengan mulazamtu as-sakan (ملازمة السكن). Artinya adalah selalu berada di dalam rumah, tidak keluar dari dalam rumah, selama masa iddah itu berlangsung.
Wanita itu tidak diperkenankan keluar meninggalkan rumah tempat dia dimana menjalani masa iddah itu, kecuali ada udzur-uzdur yang secara syar’i memang telah diperbolehkan, atau ada hajat yang tidak mungkin ditinggalkan.
Pelanggaran ini berdampak pada dosa dan kemasiatan. Dan bagi suami yang mentalak istrinya, ada kewajiban untuk menegur dan mencegah istrinya bila keluar dari rumah.
Dalilnya adalah apa yang telah Allah SWT tetapkan di dalam Al-Quran Al-Karim :
لَا تُخۡرِجُوهُنَّ مِنۢ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخۡرُجۡنَ
“Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah para wanita itu keluar dari rumah." (QS. Ath-Talak : 1)
Namun para ulama, di antaranya mazhab Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah, serta Ats-Tsuari, Al-Auza’i, Allaits dan yang lainya, mengatakan bahwa bagi wanita yang ditalak bain, yaitu talak yang tidak memungkinkan lagi untuk dirujuk atau kembali, seperti ditalak untuk yang ketiga kalinya, maka mereka diperbolehkan untuk keluar rumah, setidak-tidaknya pada siang hari.
Alasannya karena wanita yang telah ditalak seperti itu sudah tidak berhak lagi mendapatkan nafkah dari mantan suaminya. Dan dalam keadaan itu, dia wajib mencari nafkah sendiri dengan kedua tangannya. Maka tidak masuk akal bila wanita itu tidak boleh keluar rumah, sementara tidak ada orang yang berkewajiban untuk menafkahinya.
Selain itu memang ada nash yang membolehkan hal itu, sebagaimana hadits berikut ini :
فَنَهَاهَارَجُلٌفَلَقِيَهَالَهَانَخْلتَجِدُّ فَخَرَجَتْثَلاَثًاخَالَتِيطَلُقَتْ:قَالاللَّهِعَبْدِبْنِجَابِرِعَنْ
أَوْمِنْهُتَصَدَّقِيأَنْلَعَلَّكِنَخْلَكِفَجُدِّياخْرُجِي:لَهَافَقَاللَهُذَلِكَفَقَالَتْالنَّبِيَّ فَأَتَتِ
خَيْرًاتَفْعَلِي
“Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahuanhu, dia berkata,”Bibiku ditalak yang ketiga oleh suaminya. Namun beliau tetap keluar rumah untuk mendapatkan kurma (nafkah), hingga beliau bertemu dengan seseorang yang kemudian melarangnya. Maka bibiku mendatangi Rasulullah SAW sambil bertanya tentang hal itu. Dan Rasululah SAW berkata,”Silahkan keluar rumah dan dapatkan nafkahmu, barangkali saja kamu bisa bersedekah dan mengerjakan kebaikan.”(HR. Muslim).
Dalam hal ini yang menjadi ‘illat atas kebolehannya semata-mata karena wanita itu tidak ada yang memberinya nafkah untuk menyambung hidup. Sedangkan bila ada yang memberinya nafkah, atau dia adalah wanita yang punya harta, yang dengan hartanya itu cukup untuk menyambung hidup tanpa harus bekerja keluar rumah, maka kebolehan keluar rumah itu tidak berlaku.
Mengomentari hadits ini, para ulama mengatakan bahwa hal itu termasuk dibolehkan, asalkan kondisinya amanat dan pada saat menjelang tidur, mereka kembali ke rumah mereka masing-masing.
4.        Berhias
Seorang wanita yang sedang dalam masa iddah dilarang untuk berhias atau bercantik-cantik. Dalam istilah fiqih disebut dengan al-ihdad (الإحداد) atau al-ihtidad (الإحتداد). Dan diantara kategori berhias itu antara lain adalah : 
·        Menggunakan alat perhiasan seperti emas, perak atau sutera
·        Menggunakan parfum atau wewangian
·        Menggunakan celak mata, kecuali ada sebagian ulama yang membolehkannya memakai untuk malam hari karena darurat.
·        Memakai pewarna kuku seperti pacar kuku (hinna`) dan bentuk-bentuk pewarna lainnya.
·        Memakai pakaian yang berparfum atau dicelup dengan warna-warna seperti merah dan kuning.
Di dalam Fiqih Sunnah Sayyid Sabiq mengatakan: “Isteri yang sedang menjalani masa ‘iddah berkewajiban untuk menetap di rumah dimana ia dahulu tinggal bersama sang suami sampai selesai masa ‘iddahnya dan tidak diperbolehkan baginya keluar dan rumah tensebut. Sedangkan suaminya juga tidak diperbolehkan untuk mengeluarkannya ia dari rumahnya.
Seandainya terjadi perceraian di antara mereka berdua, sedang isterlnya tidak berada di rumah dimana mereka berdua menjalani kehidupan rumah tangga, maka si isteri wajib kembali kepada suaminya untuk sekedar suaminya mengetahuinya dimana ia berada. Sebagaimana disebutkan di dalam firman Allah SWT pada surat Ath-Talak ayat pertama.”
Apabila isteri yang ditalak itu melakukan perbuatan keji secara terang-terangan memperlihatkan sesuatu yang tidakbaik bagi keluarga suaminya, maka dibolehkan bagi suami untuk mengusirnya dari rumah tersebut, demikian menu rut Ibnu Abbas.
Pendapat Sayyid Sabiq di atas juga ditentang oleh Aisyah Radhiyallahu Anha, Ibnu Abbas, Jabir bin Zaid, Hasan, Atha’, dan diriwayatkan dan Ali dan Jabir; dimana Aisyah sendiri pernah mengeluarkan fatwa kepada isteri yang ditinggal mati suaminya untuk keluar dan rumah pada saat menjalani masa ‘iddahnya. Lalu isteri tersebut keluar rumah bersama dengan saudara perempuannya, Ummu Kultsum berangkat ke Makkah untuk menjalankan ibadah umrah, yaitu ketika Thalhah bin Ubaid terbunuh.



BAB III
PENUTUP

     A.    Kesimpulan
Masa ‘iddah ialah sebutan atau nama suatu masa di mana seorang wanita menanti atau menangguhkan perkawinan setelah ia ditinggalkan mati oleh suaminya atau setelah diceraikan baik dengan menunggu kelahiran bayinya, atau berakhirnya beberapa quru’, atau berakhirnya beberapa bulan yang sudah ditentukan.Masa iddah sebenarnya sudah dikenal dimasa jahiliyah. Ketika Islam datang, masalah ini tetap diakui dan dipertahankan. Oleh karena itu para Ulama sepakat bahwa ‘iddah itu wajib, berdasarkan al-Qur`ân dan Sunnah.
Penting untuk diketahui bahwa perceraian atau talak raj’i (talak 1 & 2) belumlah memutuskan perkawinan dalam makna yang sesungguhnya. oleh sebab itu, wanita yang telah di talak suaminya, selama berada pada masa iddah tetap dipandang sebagai istri dari suaminya dan suami dari istrinya yang memiliki hak dan kewajiban kendatipun tidak penuh lagi.

     B.     Saran
Demikian makalah ini dapat kami selesaikan. Kami berharap agar makalah yang kami susun ini menjadi bermanfaat bagi penulis maupun pembaca dan menambah wawasan mengenai Fiqh khususnya tentang masa Iddah di mata kuliah Fiqh Munakahat.
















DAFTAR PUSTAKA

Drs. H. Abd. Rahman Ghazaly, M.A, Fiqh Munakahat, Kencana, Jakarta Timur, 2003



IDDAH
Diajukan Sebagai Syarat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh Munakahat
Dosen Pengampu :
Rimato, M.H.I



STKIP MPL OKE










Disusun Oleh :
   Tamtomi Rizal                ( 1610101015 )
     Septiani                           ( 1610101014 )
     Yeti                       ( 1610101014 )





SEKOLAH TINGGI ILMU SYARIAH
MUHAMADIYAH
PRINGSEWU LAMPUNG 2017


 



KATA PENGANTAR

            Alhamdulillah segala puji bagi Allah yang telah menghadirkan sebuah risalah yang begitu indah dan penuh berkah yaitu Islam. Segala puji bagi-Nya yang telah mencukupkan bagi setiap hamba yang beriman dengan agama tersebut. Sungguh, Allah telah menjadikan Islam sebagai agama yang sempurna dari seluruh aspeknya.
            Salam dan Shalawat senantiasa kami harapkan agar tercurah kepada beliau Rasulullah Muhammad Saw. Beliaulah suri tauladan yang utama di alam semesta ini. Beliau telah menunaikan amanah, menyampaikan risalah dan mengabarkan balasan yang tiada taranya bagi siapa yang mengikuti beliau, yaitu balasan jannah.
            Kami menyadari tak ada gading yang tak retak demikian pula makalah ini, masih banyak kekurangan dan masih jauh dari kata sempurna. Dengan kerendahan hati, kami mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun guna perbaikan serta penyempurnaan makalah ini. Kami juga mengucapkan permohonan maaf apabila terdapat kata-kata yang kurang berkenan di hati pembaca.


                                                                                                Pringsewu, 21 April 2017


                                                                                                Kelompok



i
 

 

Daftar Isi
DAFTAR ISI........................................................................................................................ i
BAB I.................................................................................................................................... 1
Pendahuluan.......................................................................................................................... 1
A.    Latar Belakang..................................................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah................................................................................................ 1
C.     Tujuan Penulisan.................................................................................................. 1
BAB II....................................................................................................................... ........... 2
Pembahasan........................................................................................................................... 2
A.    Kehidpan Plotinus............................................................................................... 2
B.     Ajaran Filsafat Plotinus....................................................................................... 3
C.     Tujuan Filsafat Plotinu......................................................................................... 8         
BAB III................................................................................................................................. 9
Penutup.................................................................................................................................. 9
A.    Kesimpulan.......................................................................................................... 9
B.     Kritik dan Saran................................................................................................... 9
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................... 10





i
 



 

0 Response to "Makalah tentang Iddah"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel