Filsafah Puasa
Thursday, February 7, 2019
Add Comment
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Puasa adalah menahan
diri dari hal-hal yang membatalkannya dengan disertai niat berpuasa. Sebagian
ulama mendefinisikan, puasa adalah menahan nafsu dua anggota badan, perut dan
alat kelamin sehari penuh, Sejak terbitnya fajar kedua sampai terbenamnya
matahari dengan berdasarkan niat. Puasa merupakan dasar praktis dan teoritis
bagi sisi pengendalian diri untuk menjalankan perintah Allah. Allah SWT menetapkan
kunci masuk surga terletak dalam masalah mengendalikan diri. Selain
mengendalikan diri dari syahwat-syahwat yang diharamkan dan dorongan-dorongan
terlarangnya, mengendalikan diri juga untuk menetapi akhlak yang agung dan
baik.
Adapun macam-macam
puasa ditinjau dari hukumnya, puasa bisa diklasifikasikan menjadi puasa wajib,
puasa sunah, puasa haram, dan puasa makruh. Untuk melaksanakan puasa baik puasa
wajib ataupun sunnah mempunyai syarat -syarat dan juga rukunnnya. Puasa wajib
merupakan puasa yang harus dilaksanakan oleh seluruh umat islam di dunia.
Sebagaimana kita ketahui bahwa puasa yang dihukumi wajib adalah merupakan suatu
keharusan yang harus dilakukan dan apabila puasa wajib ditinggalkan atau tidak
dilaksanakan maka akan mendapat dosa.
Diwajibkannya puasa
atas umat Islam mempunyai hikmah yang dalam yakni merealisasikan ketaqwaan
kepada Allah SWT.Puasamempunyai banyak faedah bagi rohani dan jasmani kita.
Ibadah puasa juga banyak mengandung aspek sosial, karena lewat ibadah ini kaum
muslimin ikut merasakan penderitaan orang lain yang tidak dapat memenuhi
kebutuhan pangannya seperti yang lain. Ibadah puasa juga menunjukkan bahwa
orang-orang beriman sangat patuh kepada Allah karena mereka mampu menahan makan
atau minum dan hal-hal yang membatalkan puasa.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana puasa ditinjau dari landasan
ontologi, epistimologi, dan aksiologi ?
2.
Bagaimana pengertian, syarat rukun, dan
kapan disyariatkannya puasa ?
3.
Bagaimana hukum-hukum dan tinjau puasa
dari sumber hukum islam?
4.
Apa saja hikmah, rahasia, dan tujuan
disyari’atkannya puasa ?
C. TUJUAN\
1.
Untuk dapat mengetahui seputar puasa
dari segi ontologi, epistimologi, dan aksiologi.
2.
Untuk dapat mengetahui pengertian,
syarat rukun, dan disyari’atkannya puasa.
3.
Untuk dapat mengetahui hukum dan
tinjauan puasa dari sumber hukum islamnya.
4.
Untuk dapat mengetahui hikmah, rahasia,
dan tujuan disyari’atkannya puasa.
BAB II
PEMBAHASAN
A. LANDASAN ONTOLOGI
1. Definisi Puasa
Ash-Shiyam : secara
bahasa berarti mengekang atau menahan diri dari sesuatu. Secara istilah
syari’at, berarti menahan diri tidak makan, minum dan bersetubuh dengan istri,
sejak fajar hingga terbenam matahari karena mangharapkan pahala dari Allah.
Disamping itu juga untuk melatih diri untuk bertaqwa kepada Allah SWT, baik
dalam keadaan sendiri maupun sedang berkumpul dengan kebanyakan orang.[1]
Pada umumnya shiyam
atau berpuasa itu berarti menahan. Firman Allah SWT. :
Artinya :“Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa
untuk Tuhan yang Maha pemurah”. Q.S Maryam: 26
Maksudnya ialah
menahan diri dari berbicara. Sedang yang dimaksud menurut istilah ialah menahan
diri dari segala apa juga yang membatalkan puasa, semenjak terbit fajar sampai
terbenam matahari, dengan disertai niat.[2]
Sedangkan menurut
salah satu ulama, yakni al-utsaimin puasa adalah ibadah kepada Allah SWT,
dengan menahan lapar, dahaga, dan semua yang dapat membatalkan sejak matahari
terbit sampai terbenam. Kata ibadah di sini membedakan antara larangan makan,
minum, dan bersetubuh yang dilakukan dengan niat dan tidak.[3]
2. Mulai disyari’atkannya Puasa
Kewajiban untuk
berpuasa ditegaskan Allah dalam Q.S al-Baqarah, ayat : 183.
Artinya
: “hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu menjadi orang-orang
yang bertaqwa”.
Dalam terjemahan ayat
di atas, jelaslah bahwa sesungguhnya puasa itu bertujuan untuk membentuk
pribadi muslim yang bertaqwa kepada Allah, yakni mengerjakan segala perintah
Allah dan menjauhi semua larangan-Nya.[4]
Ayat ini mengandung
pengukuhan tentang ibadah puasa, sekaligus memberikan dorongan untuk
melaksanakannya, disamping memberi hiburan kepada orang-orang yang
melaksanakannya. Memang, ibadah puasa merupakan ibadah yang berat. Dan sesuatu
yang berat jika diwajibkan kepada kebanyakan orang, maka bagi yang bersangkutan
akan menjadi mudah melakukannya, sekaligus memberikan dorongan kapada mereka
untuk melakukannya.[5]
Salah seorang sahabat
Nabi, yang bernama Abdullah bin Mas’ud pernah mengatakan, bahwa apabila sesuatu
ayat telah dimulai dengan panggilan kepada orang yang percaya, sebelum sampai
akhirnya kita sudah tahu bahwa ayat ini akan mengandung suatu perihal yang
penting ataupun suatu larangan yang berat. Dapatlah kita fahamkan bahwasanya
peraturan puasa bukanlah peraturan yang baru diperbuat setelah Nabi Muhammad
diutus saja, melainkan sudah diperintahkan juga kepada umat-umat terdahulu, meskipun
kitab Taurat dan Injil pun tidak menerangkan peraturan puasa sampai kepada hal
yang kecil. Nabi Musa sendiri pernah puasa selama 40 hari, dan orang-orang
Yahudi pun masih tetap melakukan puasa pada hari-hari tertentu.[6]
Menurut H Sismono,
pada mulanya kaum muslimin pada masa awal kelahiran islam memandang wajib
berpuasa Asyuro (10 Muharram) sebagai hari puasa mereka. Kenyakinan tersebut
mungkin mengacu kepada puasa yang dilaksanakan umat Yahudi pada hari raya Yom
Kippur yang jatuh pada tanggal 10 bulan Tishri.
Dalam sejarahnya,
puasa Ramadhan mengalami perjalanan hingga seperti disyariatkan sekarang.
Ramadhan baru disyariatkan pada tahun kedua Hijriah (tepatnya tanggal 15
Syaban), dimana ajaran pokok Islam,yakni ketauhidan, telah mapan dan kokoh di
hati kaum muslimin. Dalam perjalanannya, syariat puasa mengalami beberapa fase
menuju kesempurnaannya. Ayat puasa yang pertama kali turun, yakni surah
Al-Baqarah ayat 183. Kewajiban puasa Ramadhan ini awal perintahnya hanya
bersifat takhyiir atau pilihan. Muslimin diberi pilihan untuk berpuasa atau
memberi makan orang miskin. Namun, puasa lebih utama. “Barang siapa yang dengan
kerelaan hati mengerjakan kebajikan maka itulah yang lebih baik baginya. Dan
berpuasa lebih baik bagimu jika kalian mengetahui.” (al-Baqarah ayat 184).
Seorang sahabat, Salamah bin Akwa, juga pernah berkata,”Dahulu kami ketika
bulan Ramadhan pada zaman Rasulullah, yang ingin berpuasa maka boleh berpuasa,
dan yang ingin berbuka maka dia memberi makan seorang miskin, hingga turun ayat
Allah,”Sesiapa yang mendapati bulan Ramadhan maka dia wajib berpuasa.” (HR
Bukhari dan Muslim).
Sejak turun ayat
al-Baqarah ayat 183, maka puasa Ramadhan diwajibkan secara qathi’i (mutlak)
atau ilzaam (pengharusan). Namun saat itu ibadah puasa terlalu berat dilakukan
karena kaum muslimin tak diizinkan makan, minum dan bersetubuh setelah shalat
Isya. Bahkan, seorang sahabat pernah tertidur ssat berbuka puasa. Namun, ia
terbangun saat waktu berbuka telah lewat dan ia tak diizinkan berpuasa hingga
keesokan harinya, ia pingsan.
Melihat kesulitan
tersebut maka Allah pun memberikan keringanan. Turun ayat peneyempurna yang
mengizinkan kaum muslilimin berbuka hingga waktu subuh. “Maka sekarang
campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian, dan
makan minumlah hingga terang bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.” (surah al Baqarah ayat
187).
Demikianlah syariat
puasa Ramadhan dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Syariat ini pun di
fardhukan hingga kini dan terus berlaku hingga hari kiamat. Ibnul Qoyim dama
Zaadul Ma’aad mengatakan,”Tatkala menundukan jiwa dari perkara yang disenangi
termasuk perkara yang sulit dan berat maka kewajiban puasa Ramadhan tertunda
hingga setngah perjalanan Islam setelah hijrah. Ketika jiwa manusia sudah mapan
dalam masalah tauhid, shalat, dan perintah-perintah dalam al-Qur’an maka
kewajiban puasa Ramadhan mulai diberlakukan secara bertahap. Kewajiban puasa
Ramadhan jatuh pada tahun kedua Hijriah (15 Syaban). Tatkala Rasulullah SAW
wafat, beliau sudah mengalami Sembilan kali puasa Ramadhan.
Ada riwayat lain bahwa
sebelum turunnya perintah puasa Ramadhan, Rasulullah bersama sahabat-sahabatnya
serta kaum muslimin, melaksanakan puasa pada setiap tanggal 13,14, dan 15
bulan-bulan Qomariyah. Selain itu, mereka juga biasa berpuasa tanggal 10
Muharam sampai datang perintah puasa Ramadhan.[7]
Dengan demikian
bahwasannya puasa adalah syariat yang penting di dalam tiap-tiap agama,
meskipun ada perubahan hari atau bulan. Setelah Rasulullah diutus,
ditetapkanlah puasa untuk umat Islam yaitu pada bulan Ramadhan dan dianjurkan
pula menambah (tathawwu’) dengan hari-hari yang lain.
Maka setelah
diterangkan bahwasannya kewajiban berpuasa yang dipikulkan kepada orang-orang
yang beriman juga telah dipikulkan kepada umat-uamt sebelum mereka, maka di
ujung ayat tersebut (al-baqarah, 183) diterangkan hikmah perintah puasa, yaitu
: “supaya kamu menjadi orang-orang yang bertaqwa”.[8]
3. Syarat dan Rukun Puasa
a.
Syarat Puasa
1)
Syarat Sah Puasa
Secara garis besar ada
4 syarat, yakni :
a)
Tetap dalam islam sepanjang hari
Apabila seorang kafir,
baik asli atau kafir murtad berniat puasa, tidaklah sah puasanya. Apabila
seorang muslim yang sedang berpuasa menjadi murtad karena mencela agama Islam,
atau mengingkari sesuatu hukum islam yang diijma’i oleh ummat atau dia mengerjakan
sesuatu yang merupakan penghinaan bagi al-qur’an, atau memaki seorang Nabi,
niscaya keluarlah ia dari islam dan batallah puasanya.
b)
Suci dari haid, nifas, dan wiladah
c)
Tamyiz
Tamyiz yaitu dapat
membedakan antara yang baik dan yang tidak baik. Orang gila bila berniat puasa,
tidaklah sah puasanya. Karena di pandang tidak mampu untuk beribadat.
d)
Berpuasa pada waktunya
Berpuasa harus
dilakukan pada waktu yang tepat. Karena tidak sah puasa jika dikerjakan di
waktu-waktu yang tidak di benarkan berpuasa, seperti hari raya idul fitri, idul
adha, dan hari-hari tasyriq.[9]
2)
Syarat Wajib Puasa
a)
Islam
b)
Baligh (sampai umur)
c)
Berakal (tidak gila atau mabuk), lelaki
atau perempuan
d)
Suci dari haid dan nifas bagi perempuan
e)
Berada di kampung, tidak wajib atas
orang musafir
f)
Sanggup berpuasa, tidak wajib atas
orang yang lemah dan orang sakit[10]
b.
Rukun Puasa
Ada 2 rukun puasa,
yang masing-masingnya merupakan unsur terpenting dari hakikat puasa :
1.
Menahan diri dari segala yang
membatalkan puasa, semenjak terbit fajar hingga terbenam matahari.
Berdasarkan firman
Allah Ta’ala:
Artinya:
“Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah
untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu garis putih dan garis hitam,
Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam”.
Q.S Al Baqarah : 187
2.
Berniat.
Berdasarkan firman
Allah ta’ala:
Artinya:
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.” Q.S. Al Bayyinah : 5
Juga sabda Nabi saw,
yang artinya : “setiap perbuatan itu
hanyalah dengan niat, dan setiap manusia akan beroleh apa yang diniatkannya”.
Berniat itu hendaklah
sebelum fajar, pada tiap bulan Ramadhan. Dan niat itu sah pada salah satu saat
di malam hari, dan tidak disyaratkan mengucapkannya, karena itu merupakan
pekerjaan hati, tak ada sangkut pautnya dengan lisan. Hakikat niat adalah
menyengaja suatu perbuatan demi menaati perintah Allah Ta’ala dalam
mengharapkan keridhaan-Nya.
Kemudian menurut
kebanyakan fukaha, salah satunya yaitu golongan Hanafi mensyaratkan bahwa niat
itu hendaklah terjadi sebelum Zawal atau tergelincir matahari. Tetapi menurut
Ibnu Mas’ud dan Ahmad niat itu memadai, baik sebelum atau sesudah zawal
(tergelincir matahari) tak ada bedanya.[11]
B. LANDASAN EPISTIMOLOGI
1. Tinjauan Seputar Puasa Menurut
Sumber Hukum
Agar al-qur’an tetap
diingat dan dimuliakan oleh umat islam Allah memfardhukan puasa Ramadhan atas
kita umat islam dan menjadikan puasa itu suatu rukun asasi agama islam. Puasa
Ramadhan bersatu tujuannya dengan tujuan al-quran dalam bidang mendidik akal
dan jiwa dalam penyusunan tata hidup.
Al-quran adalah nikmat
yang tiada taranya yang Allah limpahkan kepada kita di dalam bulan puasa itu.
Puasa yang difardhukan di dalam bulan Ramadhan, merupakan manifestasi
(penjelmaan) dari kesyukuran kita kepada Allah terhadap hidayah-Nya yang
dilimpahkan itu, atau merupakan tata cara untuk mensyukuri nikmat Allah yang
besar itu.
Fakhruddin Ar Razi
dalam Tafsir Mafatihul Ghaibi berkata : “Allah telah mengistimewakan bulan
ramadhan dengan menurunkan al-qur’an. Oleh karena itu, maka Allah
mengkhususkannya dengan suatu ibadat yang sangat besar nilainya, yaitu puasa.
Puasa itu suatu senjata yang menyingkapkan tabir-tabir yang menghalangi kita
manusia memandang Nur Ilahi Yang Maha Kudus”.
Waktu yang terletak
antara berbuka dan berpuasa dipergunakan para mukmin untuk rukuk, sujud, dan
membaca al-qur’an.[12]
2. Hukum Mengenai Puasa
a. Puasa
Wajib
1)
Puasa pada bulan Ramadhan. Hukumnya
wajib bagi semua orang muslim yang sudah baligh, tidak gila, tidak haid dan
tidak nifas (habis melahirkan).
Puasa Ramadan adalah
salah satu rukun Islam yang lima. Pertama turunnya wahyu yang mewajibkan puasa
Ramadan adalah pada tanggal 10 Sya'ban tahun kedua hijrah. Nabi berpuasa
Ramadan selama 9 kali dalam 9 tahun.
Karena puasa Ramadan
merupakan salah satu kewajiban utama, maka seorang muslim yang menganggapnya
tidak wajib hukumnya murtad dan kafir. Kecuali kalau dia bertaubat. Sedang bagi
yang tidak berpuasa karena malas, dianggap fasik. Bukan kafir.
2)
Puasa karena membayar kafarah (denda).
Seperti puasa 3 hari setelah melanggar sumpah atas nama Allah.
3)
Puasa nadzar. Orang yang bernadzar akan
berpuasa apabila tujuannya tercapai, maka ia wajib berpuasa apabila yang
diinginkannya terkabul.
b. Puasa Sunnah
Yaitu puasa yang
dilakukan untuk beribadah kepada Allah selain puasa wajib. Puasa sunnah disebut
juga dengan puasa nafilah (النافلة).
Puasa sunnah mendapat pahala apabila dilakukan, tapi tidak berdosa apabila
ditinggalkan.
Adapun puasa-puasa
yang disunnahkan menurut ijma' (kesepakatan) ulama ada 9 (sembilan), yaitu:
1)
Puasa Daud. Yaitu puasa sehari dan
berbuka sehari.
2)
Puasa 3 hari setiap bulan. Yang utama
pada tanggal 13, 14, dan 15. Yang disebut dengan ayyamul biydh (أيامالبيض).
3)
Puasa Senin Kamis setiap minggu.
4)
Puasa 6 hari setelah hari Raya Idul
Fitri (bulan Syawal). Walau terpisah-pisah. Tapi berturut-turut lebih utama,
kecuali menurut madzhab Maliki.
5)
Puasa pada hari Arafah, tanggal 9
Dzulhijjah, kecuali bagi yang sddang ibadah haji.
6)
Puasa tanggal 8 Dzulhijjah bagi jemaah
haji dan yang lain.
7)
Puasa hari tasu'a (يومالتاسوعاء)
dan 'asyura' (يومالعاشوراء) yaitu hari ke-9 dan
ke-10 bulan Muharram.
8)
Puasa pada bulan-bulan yang mulia (أَشْهُرُالحُرُم).
Ada 4 bulan mulia dalam Islam, yaitu Dzul Qo'dah, Dzul Hijjah, Muharram, dan
Rajab.
9)
Puasa bulan Sya'ban.
c. Puasa Makruh
Makruh adalah
perbuatan yang apabila ditinggalkan mendapat pahala sedang apabila dikerjakan
tidak berdosa. Intinya, perbuatan yang sebaiknya ditinggalkan.
Puasa yang makruh ada
3 (tiga) sebagai berikut:
1)
Puasa pada hari Jum'at. Kecuali apabila
kelanjutan dari puasa pada hari sebelumnya.
2)
Puasa pada hari Sabtu dan Minggu.
Kecuali kelanjutan dari hari sebelumnya.
3)
Puasanya orang yang : (a) sakit, (b)
musafir, (c) orang hamil, (d) ibu menyusui, (e) orang tua apabila dikuatirkan
membahayakan kesehatannya.
d. Puasa Haram
Haram sudah jelas
maknanya. Yaitu, berdosa apabila dilakukan. Puasa yang diharamkan ada 4
(empat), yaitu:
1)
Istri puasa sunnah tanpa sepengetahuan
dari suami, atau suami tahu tapi tidak mengijinkan. Kecuali, apabila suami
sedang tidak membutuhkan seperti suami sedang bepergian, sedang haji atau
umroh.
2)
Puasa pada hari syak atau meragukan (يَوْمُالشَك).
Yaitu, hari ke-30 dari bulan Sya'ban, kecuali apabila bertujuan sebagai puasa
qadha (mengganti puasa Ramadhan sebelumnya), puasa sunnah, puasa melanggar
sumpah (puasa kafarah).
3)
Puasa pada hari Raya Idul Fitri atau
Idul Adha. Mutlak tanpa kecuali.
4)
Puasa pada hari tasyriq yaitu hari
ke-11, ke-12 dan ke-13 bulan Dzulhijjah. Keuali untuk dam (sebagai ganti dari
menyembelih qurban).
5)
Puasa wanita haid atau nifas (baru
mehirkan). Haramnya mutlak tanpa kecuali.
e. Puasa Mubah :
Mubah adalah perbuatan
yang dibolehkan. Melakukan atau meninggalkan sama-sama tidak berpahala atau
berdosa.
Puasa mubah adalah
setiap puasa yang tidak termasuk ke dalam kategori wajib, haram, sunnah dan
makruh di atas.
C. LANDASAN AKSIOLOGI
1. Hikmah Puasa
a.
Untuk menanamkan rasa sayang dan ramah
kepada fakir miskin, anak yatim dan orang yang kurang mampu.
b.
Untuk membiasakan diri dan jiwa
memelihara amanah. Kita mengetahui bahwa puasa adalah suatu amalan yang berat
dan sukar. Maka apabila kita dapat memelihara amanah Allah dengan baik, maka
kita terdidik untuk memelihara segala amanah yang dipertaruhkan kepada kita.
c.
Untuk menyuburkan dalam jiwa kita,
kekuatan untuk menderita apabila kita terpaksa menderita dan untuk menguatkan
iradah, atau kehendak kita dan untuk meneguhkan ‘azimah atau keinginan dan
kemauan.
d.
Mempersempit gerakan setan untuk
menggoda menusia agar terhindar dari perbuatan keji.
e.
Memerangi nafsu, meninggalkan
kesenangan duniawi, dan lebih memilih akhirat.
Salah satu contoh yaitu dari aspek
konsumsi (makanan) bagi perut, dimana perut merupakan rumahnya penyakit. Hal
ini merupakan hasil dari apa yang kita konsumsi. Rasulullah SAW besabda:
“Seorang
anak Adam (manusia) tidak memenuhkan suatu tempat yang lebih jelek dari pada
perut (lambung). Cukuplah bagi anak Adam itu beberapa suap makanan yang sekadar
bisa menegakkan tulang punggungnya. Jika menuntut harta dipenuhi, maka sepertiga
makanannya, sepertiga untuk minumannya, dan sepertiga untuk pernapasannya.” (HR
Tirmidzi, Ahmad, Ibnu Majah dan Hakim.)
Dari hal itu, kemudian puasa berimbas
pada beristirahatnya mesin pencernaan. Para ulama muslim dan pakar kesehatan
menyatakan bahwa sumber dari penyakit yang sulit diobati ialah memasukkan
makanan di atas makanan.
f.
Menumbuhkan rasa prihatin, simpati, dan
empati kepada fakir miskin
g. Menguatkan
jiwa untuk mematuhi Allah SWT. dengan meninggalkan kesenangan pribadi demi
mendekatkan diri kepada-Nya.[13]
2. Tujuan pensyariatan puasa :
Dengan puasa orang beriman dilarang
makan dan minum dan dilarang bersetubuh, ialah kerena hendak mengambil faedah
yang besar daripada larangan itu. Yang pertama ialah latihan mengendalikan
diri. Kalau di segala waktu dilarang memakan makanan yang haram, maka di dalam
bulan puasa makanan yang halalpun dilarang. Orang yang beriman dapat menahan
nafsunya karena melaksanakan perintah Allah. Walaupun dia sering terpencil
seorang diri, tidak seorang jua pun manusia melihatnya, namun dia tetap
berpuasa sebab percayanya bahwa Tuhan selalu melihat. Kesabaran menahan adalah
nilai yang teramat penting bagi keteguhan jiwa. Sebab itu Nabi bersabda :
“puasa adalah separuh dari sabar”
(dirawikan oleh Ibnu Majah)[14]
3. Rahasia-rahasia dan Tujuan Dari
Puasa
Seorang yang berpuasa harus berusaha
dengan sepenuh tenaga dan jiwa agar puasanya diterima, yaitu dengan menjaga
adab puasa dengan sebaik-baiknya.
Apabila kita periksa dan telaah dengan
teliti, maka puasa mengandung rahasia-rahasia yaitu:
a.
Mengurangi kekuatan badaniah, makan dan
minum supaya dengannya menjadi tinggilah jiwa keikhlasan dan agar bertambahlah
jiwa dengan berbagai macam sifat keutamaan dan kesempurnaan.
b.
Membiasakan diri untuk bersabar dalam
kesukaran serta menguatkan cita-cita.
c.
Untuk mengingatkan bahwa kita adalah hamba
Allah yang sangat hina, yang amat membutuhkan makanan dan minuman.
d.
Menjaga diri agar tidak jatuh ke dalam
jurang dosa dan maksiat.
e.
Menggerakkan hati orang yang mampu
untuk menolong orang-orang yang miskin.
f.
Menghidupkan kekuatan pikiran dan
kekuatan bashirah (penglihatan mata hati)
“Hai
anakku, apabila perutmu telah penuh sesak dengan makanan, tidurlah pikiranmu,
kelulah hikmah dan berhentilah segala anggotamu dari beribadah kepada Allah dan
hilanglah kebersihan hati (jiwa) dan kehalusan pengertian, yang dengan
keduanyalah diperoleh nikmat bermunajat dan berbekasnya dzikir pada jiwa.”[15]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Puasa adalah menahan
diri dari segala sesuatu yang dapat membatalkannya seperti makan, minum, serta
hawa nafsu dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari dengan berdasarkan
niat dan mematuhi syarat dan rukunnya. Puasa wajib adalah puasa yang harus
dilaksanakan oleh seluruh umat islam di dunia. Sebagaimana kita ketahui segala
sesutu yang dihukumi wajib maka haruslah dilaksanakan karena jika tidak
dilaksanakan akan mendapat dosa. Puasa wajib meliputi puasa Ramadhan, puasa
Qadha, puasa Nadzar, dan puasa Kaffarat. Puasa Ramdahan merupakan salah satu
dari rukun Islam yang lima. Syarat-syarat yang terdapat dalam puasa meliputi
syarat syah puasa dan syarat wajib puasa. Sayar-syarat puasa adalah merupakan
hal yang penting yang harus diperhatikan. Dimana dalam hal ini syarat-syarat
puasa menjadi suatu penentuan diterimanaya puasa seseorang.
Adapun niat merupakan
bagian dari rukun puasa. Niat juga merupakan hal yang sangat penting yang juga
harus diperhatikan. Sebagaimana sabda Nabi SAW
yang diriwayatkan oleh Bukhari menyatakan:
“
sesungguhnya segala amal perbuatan itu tergantung kepada niat, dan setiap
manusia hanya memperoleh menurut apa yang diniatkannya”. Niat juga bisa
dikatakan suatu pembeda antara untuk melaksanakan ibadah ataupun hanya sekedar
kebiasaan.”
[1]Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi Jilid 2, (Semarang :
Toha Putra), hlm. 123.
[2]Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 3-4, (Bandung : Al-ma’arif, 1978), hlm. 194.
[3]Adil Sa’di, Fiqhun Nisa’ Shiyam-Zakat-Haji, (Jakarta : Mizan Publika, 2006),
hlm. 43.
[4]Syahruddin El Fikri, Sejarah Ibadah, (Jakarta : Republika,
2014), hlm. 44-45.
[5]Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi Jilid 2, (Semarang :
Toha Putra), hlm. 125.
[6]Prof, Dr, Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta : Pustaka
Panjimas, 2004), hlm. 116-117.
[7]Syahruddin El Fikri, Sejarah Ibadah, (Jakarta : Republika,
2014), hlm.45.
[8]Prof, Dr, Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta : Pustaka
Panjimas, 2004), hlm. 118.
[9]Teungku Muhammad Hasbi Ash
Shiddieqy, Pedoman Puasa, (Semarang :
Pustaka Rizki Putra, 2000), hlm. 84-85.
[10]Ibid, hlm. 86.
[11]Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 3-4, (Bandung :
Al-ma’arif, 1978), hlm. 209-212.
[12]Teungku Muhammad Hasbi Ash
Shiddieqy, Pedoman Puasa, (Semarang :
Pustaka Rizki Putra, 2000), hlm. 7-8.
[13]Adil Sa’di, Fiqhun Nisa’ Shiyam-Zakat-Haji, (Jakarta : Mizan Publika, 2006), hlm.
45.
[14]Ibid, hlm. 118-119.
[15]T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pedoman Puasa, (Semarang : Pustaka Rizki
Putra, 2002), hlm. 38.
0 Response to "Filsafah Puasa"
Post a Comment