Filsafah Puasa


BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Puasa adalah menahan diri dari hal-hal yang membatalkannya dengan disertai niat berpuasa. Sebagian ulama mendefinisikan, puasa adalah menahan nafsu dua anggota badan, perut dan alat kelamin sehari penuh, Sejak terbitnya fajar kedua sampai terbenamnya matahari dengan berdasarkan niat. Puasa merupakan dasar praktis dan teoritis bagi sisi pengendalian diri untuk menjalankan perintah Allah. Allah SWT menetapkan kunci masuk surga terletak dalam masalah mengendalikan diri. Selain mengendalikan diri dari syahwat-syahwat yang diharamkan dan dorongan-dorongan terlarangnya, mengendalikan diri juga untuk menetapi akhlak yang agung dan baik.
Adapun macam-macam puasa ditinjau dari hukumnya, puasa bisa diklasifikasikan menjadi puasa wajib, puasa sunah, puasa haram, dan puasa makruh. Untuk melaksanakan puasa baik puasa wajib ataupun sunnah mempunyai syarat -syarat dan juga rukunnnya. Puasa wajib merupakan puasa yang harus dilaksanakan oleh seluruh umat islam di dunia. Sebagaimana kita ketahui bahwa puasa yang dihukumi wajib adalah merupakan suatu keharusan yang harus dilakukan dan apabila puasa wajib ditinggalkan atau tidak dilaksanakan maka akan mendapat dosa.
Diwajibkannya puasa atas umat Islam mempunyai hikmah yang dalam yakni merealisasikan ketaqwaan kepada Allah SWT.Puasamempunyai banyak faedah bagi rohani dan jasmani kita. Ibadah puasa juga banyak mengandung aspek sosial, karena lewat ibadah ini kaum muslimin ikut merasakan penderitaan orang lain yang tidak dapat memenuhi kebutuhan pangannya seperti yang lain. Ibadah puasa juga menunjukkan bahwa orang-orang beriman sangat patuh kepada Allah karena mereka mampu menahan makan atau minum dan hal-hal yang membatalkan puasa.


B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana puasa ditinjau dari landasan ontologi, epistimologi, dan aksiologi ?
2.      Bagaimana pengertian, syarat rukun, dan kapan disyariatkannya puasa ?
3.      Bagaimana hukum-hukum dan tinjau puasa dari sumber hukum islam?
4.      Apa saja hikmah, rahasia, dan tujuan disyari’atkannya puasa ?



C.    TUJUAN\
1.      Untuk dapat mengetahui seputar puasa dari segi ontologi, epistimologi, dan aksiologi.
2.      Untuk dapat mengetahui pengertian, syarat rukun, dan disyari’atkannya puasa.
3.      Untuk dapat mengetahui hukum dan tinjauan puasa dari sumber hukum islamnya.
4.      Untuk dapat mengetahui hikmah, rahasia, dan tujuan disyari’atkannya puasa.





















BAB II
PEMBAHASAN
A.    LANDASAN ONTOLOGI
1.      Definisi Puasa
Ash-Shiyam : secara bahasa berarti mengekang atau menahan diri dari sesuatu. Secara istilah syari’at, berarti menahan diri tidak makan, minum dan bersetubuh dengan istri, sejak fajar hingga terbenam matahari karena mangharapkan pahala dari Allah. Disamping itu juga untuk melatih diri untuk bertaqwa kepada Allah SWT, baik dalam keadaan sendiri maupun sedang berkumpul dengan kebanyakan orang.[1]
Pada umumnya shiyam atau berpuasa itu berarti menahan. Firman Allah SWT. :
Artinya :“Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan yang Maha pemurah”. Q.S Maryam: 26

Maksudnya ialah menahan diri dari berbicara. Sedang yang dimaksud menurut istilah ialah menahan diri dari segala apa juga yang membatalkan puasa, semenjak terbit fajar sampai terbenam matahari, dengan disertai niat.[2]
Sedangkan menurut salah satu ulama, yakni al-utsaimin puasa adalah ibadah kepada Allah SWT, dengan menahan lapar, dahaga, dan semua yang dapat membatalkan sejak matahari terbit sampai terbenam. Kata ibadah di sini membedakan antara larangan makan, minum, dan bersetubuh yang dilakukan dengan niat dan tidak.[3]
2.      Mulai disyari’atkannya Puasa
Kewajiban untuk berpuasa ditegaskan Allah dalam Q.S al-Baqarah, ayat : 183.
Artinya : “hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu menjadi orang-orang yang bertaqwa”.
Dalam terjemahan ayat di atas, jelaslah bahwa sesungguhnya puasa itu bertujuan untuk membentuk pribadi muslim yang bertaqwa kepada Allah, yakni mengerjakan segala perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya.[4]
Ayat ini mengandung pengukuhan tentang ibadah puasa, sekaligus memberikan dorongan untuk melaksanakannya, disamping memberi hiburan kepada orang-orang yang melaksanakannya. Memang, ibadah puasa merupakan ibadah yang berat. Dan sesuatu yang berat jika diwajibkan kepada kebanyakan orang, maka bagi yang bersangkutan akan menjadi mudah melakukannya, sekaligus memberikan dorongan kapada mereka untuk melakukannya.[5]
Salah seorang sahabat Nabi, yang bernama Abdullah bin Mas’ud pernah mengatakan, bahwa apabila sesuatu ayat telah dimulai dengan panggilan kepada orang yang percaya, sebelum sampai akhirnya kita sudah tahu bahwa ayat ini akan mengandung suatu perihal yang penting ataupun suatu larangan yang berat. Dapatlah kita fahamkan bahwasanya peraturan puasa bukanlah peraturan yang baru diperbuat setelah Nabi Muhammad diutus saja, melainkan sudah diperintahkan juga kepada umat-umat terdahulu, meskipun kitab Taurat dan Injil pun tidak menerangkan peraturan puasa sampai kepada hal yang kecil. Nabi Musa sendiri pernah puasa selama 40 hari, dan orang-orang Yahudi pun masih tetap melakukan puasa pada hari-hari tertentu.[6]
Menurut H Sismono, pada mulanya kaum muslimin pada masa awal kelahiran islam memandang wajib berpuasa Asyuro (10 Muharram) sebagai hari puasa mereka. Kenyakinan tersebut mungkin mengacu kepada puasa yang dilaksanakan umat Yahudi pada hari raya Yom Kippur yang jatuh pada tanggal 10 bulan Tishri.
Dalam sejarahnya, puasa Ramadhan mengalami perjalanan hingga seperti disyariatkan sekarang. Ramadhan baru disyariatkan pada tahun kedua Hijriah (tepatnya tanggal 15 Syaban), dimana ajaran pokok Islam,yakni ketauhidan, telah mapan dan kokoh di hati kaum muslimin. Dalam perjalanannya, syariat puasa mengalami beberapa fase menuju kesempurnaannya. Ayat puasa yang pertama kali turun, yakni surah Al-Baqarah ayat 183. Kewajiban puasa Ramadhan ini awal perintahnya hanya bersifat takhyiir atau pilihan. Muslimin diberi pilihan untuk berpuasa atau memberi makan orang miskin. Namun, puasa lebih utama. “Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kalian mengetahui.” (al-Baqarah ayat 184). Seorang sahabat, Salamah bin Akwa, juga pernah berkata,”Dahulu kami ketika bulan Ramadhan pada zaman Rasulullah, yang ingin berpuasa maka boleh berpuasa, dan yang ingin berbuka maka dia memberi makan seorang miskin, hingga turun ayat Allah,”Sesiapa yang mendapati bulan Ramadhan maka dia wajib berpuasa.” (HR Bukhari dan Muslim).
Sejak turun ayat al-Baqarah ayat 183, maka puasa Ramadhan diwajibkan secara qathi’i (mutlak) atau ilzaam (pengharusan). Namun saat itu ibadah puasa terlalu berat dilakukan karena kaum muslimin tak diizinkan makan, minum dan bersetubuh setelah shalat Isya. Bahkan, seorang sahabat pernah tertidur ssat berbuka puasa. Namun, ia terbangun saat waktu berbuka telah lewat dan ia tak diizinkan berpuasa hingga keesokan harinya, ia pingsan.
Melihat kesulitan tersebut maka Allah pun memberikan keringanan. Turun ayat peneyempurna yang mengizinkan kaum muslilimin berbuka hingga waktu subuh. “Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian, dan makan minumlah hingga terang bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.” (surah al Baqarah ayat 187).
Demikianlah syariat puasa Ramadhan dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Syariat ini pun di fardhukan hingga kini dan terus berlaku hingga hari kiamat. Ibnul Qoyim dama Zaadul Ma’aad mengatakan,”Tatkala menundukan jiwa dari perkara yang disenangi termasuk perkara yang sulit dan berat maka kewajiban puasa Ramadhan tertunda hingga setngah perjalanan Islam setelah hijrah. Ketika jiwa manusia sudah mapan dalam masalah tauhid, shalat, dan perintah-perintah dalam al-Qur’an maka kewajiban puasa Ramadhan mulai diberlakukan secara bertahap. Kewajiban puasa Ramadhan jatuh pada tahun kedua Hijriah (15 Syaban). Tatkala Rasulullah SAW wafat, beliau sudah mengalami Sembilan kali puasa Ramadhan.
Ada riwayat lain bahwa sebelum turunnya perintah puasa Ramadhan, Rasulullah bersama sahabat-sahabatnya serta kaum muslimin, melaksanakan puasa pada setiap tanggal 13,14, dan 15 bulan-bulan Qomariyah. Selain itu, mereka juga biasa berpuasa tanggal 10 Muharam sampai datang perintah puasa Ramadhan.[7]
Dengan demikian bahwasannya puasa adalah syariat yang penting di dalam tiap-tiap agama, meskipun ada perubahan hari atau bulan. Setelah Rasulullah diutus, ditetapkanlah puasa untuk umat Islam yaitu pada bulan Ramadhan dan dianjurkan pula menambah (tathawwu’) dengan hari-hari yang lain.
Maka setelah diterangkan bahwasannya kewajiban berpuasa yang dipikulkan kepada orang-orang yang beriman juga telah dipikulkan kepada umat-uamt sebelum mereka, maka di ujung ayat tersebut (al-baqarah, 183) diterangkan hikmah perintah puasa, yaitu : “supaya kamu menjadi orang-orang yang bertaqwa”.[8]


3.      Syarat dan Rukun Puasa
a.       Syarat Puasa
1)      Syarat Sah Puasa
Secara garis besar ada 4 syarat, yakni :
a)      Tetap dalam islam sepanjang hari
Apabila seorang kafir, baik asli atau kafir murtad berniat puasa, tidaklah sah puasanya. Apabila seorang muslim yang sedang berpuasa menjadi murtad karena mencela agama Islam, atau mengingkari sesuatu hukum islam yang diijma’i oleh ummat atau dia mengerjakan sesuatu yang merupakan penghinaan bagi al-qur’an, atau memaki seorang Nabi, niscaya keluarlah ia dari islam dan batallah puasanya.
b)      Suci dari haid, nifas, dan wiladah
c)      Tamyiz
Tamyiz yaitu dapat membedakan antara yang baik dan yang tidak baik. Orang gila bila berniat puasa, tidaklah sah puasanya. Karena di pandang tidak mampu untuk beribadat.
d)     Berpuasa pada waktunya
Berpuasa harus dilakukan pada waktu yang tepat. Karena tidak sah puasa jika dikerjakan di waktu-waktu yang tidak di benarkan berpuasa, seperti hari raya idul fitri, idul adha, dan hari-hari tasyriq.[9]
2)      Syarat Wajib Puasa
a)      Islam
b)      Baligh (sampai umur)
c)      Berakal (tidak gila atau mabuk), lelaki atau perempuan
d)     Suci dari haid dan nifas bagi perempuan
e)      Berada di kampung, tidak wajib atas orang musafir
f)       Sanggup berpuasa, tidak wajib atas orang yang lemah dan orang sakit[10]
b.      Rukun Puasa
Ada 2 rukun puasa, yang masing-masingnya merupakan unsur terpenting dari hakikat puasa :
1.      Menahan diri dari segala yang membatalkan puasa, semenjak terbit fajar hingga terbenam matahari.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
Artinya: “Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu garis putih dan garis hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam”. Q.S Al Baqarah : 187
2.      Berniat.
Berdasarkan firman Allah ta’ala:
Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.” Q.S. Al Bayyinah : 5
Juga sabda Nabi saw, yang artinya : “setiap perbuatan itu hanyalah dengan niat, dan setiap manusia akan beroleh apa yang diniatkannya”.
Berniat itu hendaklah sebelum fajar, pada tiap bulan Ramadhan. Dan niat itu sah pada salah satu saat di malam hari, dan tidak disyaratkan mengucapkannya, karena itu merupakan pekerjaan hati, tak ada sangkut pautnya dengan lisan. Hakikat niat adalah menyengaja suatu perbuatan demi menaati perintah Allah Ta’ala dalam mengharapkan keridhaan-Nya.
Kemudian menurut kebanyakan fukaha, salah satunya yaitu golongan Hanafi mensyaratkan bahwa niat itu hendaklah terjadi sebelum Zawal atau tergelincir matahari. Tetapi menurut Ibnu Mas’ud dan Ahmad niat itu memadai, baik sebelum atau sesudah zawal (tergelincir matahari) tak ada bedanya.[11]

B.     LANDASAN EPISTIMOLOGI
1.      Tinjauan Seputar Puasa Menurut Sumber Hukum
Agar al-qur’an tetap diingat dan dimuliakan oleh umat islam Allah memfardhukan puasa Ramadhan atas kita umat islam dan menjadikan puasa itu suatu rukun asasi agama islam. Puasa Ramadhan bersatu tujuannya dengan tujuan al-quran dalam bidang mendidik akal dan jiwa dalam penyusunan tata hidup.
Al-quran adalah nikmat yang tiada taranya yang Allah limpahkan kepada kita di dalam bulan puasa itu. Puasa yang difardhukan di dalam bulan Ramadhan, merupakan manifestasi (penjelmaan) dari kesyukuran kita kepada Allah terhadap hidayah-Nya yang dilimpahkan itu, atau merupakan tata cara untuk mensyukuri nikmat Allah yang besar itu.
Fakhruddin Ar Razi dalam Tafsir Mafatihul Ghaibi berkata : “Allah telah mengistimewakan bulan ramadhan dengan menurunkan al-qur’an. Oleh karena itu, maka Allah mengkhususkannya dengan suatu ibadat yang sangat besar nilainya, yaitu puasa. Puasa itu suatu senjata yang menyingkapkan tabir-tabir yang menghalangi kita manusia memandang Nur Ilahi Yang Maha Kudus”.
Waktu yang terletak antara berbuka dan berpuasa dipergunakan para mukmin untuk rukuk, sujud, dan membaca al-qur’an.[12]
2.      Hukum Mengenai Puasa
a.      Puasa Wajib
1)      Puasa pada bulan Ramadhan. Hukumnya wajib bagi semua orang muslim yang sudah baligh, tidak gila, tidak haid dan tidak nifas (habis melahirkan).
Puasa Ramadan adalah salah satu rukun Islam yang lima. Pertama turunnya wahyu yang mewajibkan puasa Ramadan adalah pada tanggal 10 Sya'ban tahun kedua hijrah. Nabi berpuasa Ramadan selama 9 kali dalam 9 tahun.
Karena puasa Ramadan merupakan salah satu kewajiban utama, maka seorang muslim yang menganggapnya tidak wajib hukumnya murtad dan kafir. Kecuali kalau dia bertaubat. Sedang bagi yang tidak berpuasa karena malas, dianggap fasik. Bukan kafir.
2)      Puasa karena membayar kafarah (denda). Seperti puasa 3 hari setelah melanggar sumpah atas nama Allah.
3)      Puasa nadzar. Orang yang bernadzar akan berpuasa apabila tujuannya tercapai, maka ia wajib berpuasa apabila yang diinginkannya terkabul.
b.      Puasa Sunnah
Yaitu puasa yang dilakukan untuk beribadah kepada Allah selain puasa wajib. Puasa sunnah disebut juga dengan puasa nafilah (النافلة). Puasa sunnah mendapat pahala apabila dilakukan, tapi tidak berdosa apabila ditinggalkan.
Adapun puasa-puasa yang disunnahkan menurut ijma' (kesepakatan) ulama ada 9 (sembilan), yaitu:
1)      Puasa Daud. Yaitu puasa sehari dan berbuka sehari.
2)      Puasa 3 hari setiap bulan. Yang utama pada tanggal 13, 14, dan 15. Yang disebut dengan ayyamul biydh (أيامالبيض).
3)      Puasa Senin Kamis setiap minggu.
4)      Puasa 6 hari setelah hari Raya Idul Fitri (bulan Syawal). Walau terpisah-pisah. Tapi berturut-turut lebih utama, kecuali menurut madzhab Maliki.
5)      Puasa pada hari Arafah, tanggal 9 Dzulhijjah, kecuali bagi yang sddang ibadah haji.
6)      Puasa tanggal 8 Dzulhijjah bagi jemaah haji dan yang lain.
7)      Puasa hari tasu'a (يومالتاسوعاء) dan 'asyura' (يومالعاشوراء) yaitu hari ke-9 dan ke-10 bulan Muharram.
8)      Puasa pada bulan-bulan yang mulia (أَشْهُرُالحُرُم). Ada 4 bulan mulia dalam Islam, yaitu Dzul Qo'dah, Dzul Hijjah, Muharram, dan Rajab.
9)      Puasa bulan Sya'ban.
c.       Puasa Makruh 
Makruh adalah perbuatan yang apabila ditinggalkan mendapat pahala sedang apabila dikerjakan tidak berdosa. Intinya, perbuatan yang sebaiknya ditinggalkan.
Puasa yang makruh ada 3 (tiga) sebagai berikut:
1)      Puasa pada hari Jum'at. Kecuali apabila kelanjutan dari puasa pada hari sebelumnya.
2)      Puasa pada hari Sabtu dan Minggu. Kecuali kelanjutan dari hari sebelumnya.
3)      Puasanya orang yang : (a) sakit, (b) musafir, (c) orang hamil, (d) ibu menyusui, (e) orang tua apabila dikuatirkan membahayakan kesehatannya.
d.      Puasa Haram
Haram sudah jelas maknanya. Yaitu, berdosa apabila dilakukan. Puasa yang diharamkan ada 4 (empat), yaitu:
1)      Istri puasa sunnah tanpa sepengetahuan dari suami, atau suami tahu tapi tidak mengijinkan. Kecuali, apabila suami sedang tidak membutuhkan seperti suami sedang bepergian, sedang haji atau umroh.
2)      Puasa pada hari syak atau meragukan (يَوْمُالشَك). Yaitu, hari ke-30 dari bulan Sya'ban, kecuali apabila bertujuan sebagai puasa qadha (mengganti puasa Ramadhan sebelumnya), puasa sunnah, puasa melanggar sumpah (puasa kafarah).
3)      Puasa pada hari Raya Idul Fitri atau Idul Adha. Mutlak tanpa kecuali.
4)      Puasa pada hari tasyriq yaitu hari ke-11, ke-12 dan ke-13 bulan Dzulhijjah. Keuali untuk dam (sebagai ganti dari menyembelih qurban).
5)      Puasa wanita haid atau nifas (baru mehirkan). Haramnya mutlak tanpa kecuali.
e.       Puasa Mubah :
Mubah adalah perbuatan yang dibolehkan. Melakukan atau meninggalkan sama-sama tidak berpahala atau berdosa.
Puasa mubah adalah setiap puasa yang tidak termasuk ke dalam kategori wajib, haram, sunnah dan makruh di atas.

C.    LANDASAN AKSIOLOGI
1.      Hikmah Puasa
a.       Untuk menanamkan rasa sayang dan ramah kepada fakir miskin, anak yatim dan orang yang kurang mampu.
b.      Untuk membiasakan diri dan jiwa memelihara amanah. Kita mengetahui bahwa puasa adalah suatu amalan yang berat dan sukar. Maka apabila kita dapat memelihara amanah Allah dengan baik, maka kita terdidik untuk memelihara segala amanah yang dipertaruhkan kepada kita.
c.       Untuk menyuburkan dalam jiwa kita, kekuatan untuk menderita apabila kita terpaksa menderita dan untuk menguatkan iradah, atau kehendak kita dan untuk meneguhkan ‘azimah atau keinginan dan kemauan.
d.      Mempersempit gerakan setan untuk menggoda menusia agar terhindar dari perbuatan keji.
e.       Memerangi nafsu, meninggalkan kesenangan duniawi, dan lebih memilih akhirat.
Salah satu contoh yaitu dari aspek konsumsi (makanan) bagi perut, dimana perut merupakan rumahnya penyakit. Hal ini merupakan hasil dari apa yang kita konsumsi. Rasulullah SAW besabda:
“Seorang anak Adam (manusia) tidak memenuhkan suatu tempat yang lebih jelek dari pada perut (lambung). Cukuplah bagi anak Adam itu beberapa suap makanan yang sekadar bisa menegakkan tulang punggungnya. Jika menuntut harta dipenuhi, maka sepertiga makanannya, sepertiga untuk minumannya, dan sepertiga untuk pernapasannya.” (HR Tirmidzi, Ahmad, Ibnu Majah dan Hakim.)
Dari hal itu, kemudian puasa berimbas pada beristirahatnya mesin pencernaan. Para ulama muslim dan pakar kesehatan menyatakan bahwa sumber dari penyakit yang sulit diobati ialah memasukkan makanan di atas makanan.
f.       Menumbuhkan rasa prihatin, simpati, dan empati kepada fakir miskin
g.      Menguatkan jiwa untuk mematuhi Allah SWT. dengan meninggalkan kesenangan pribadi demi mendekatkan diri kepada-Nya.[13]

2.      Tujuan pensyariatan puasa :
Dengan puasa orang beriman dilarang makan dan minum dan dilarang bersetubuh, ialah kerena hendak mengambil faedah yang besar daripada larangan itu. Yang pertama ialah latihan mengendalikan diri. Kalau di segala waktu dilarang memakan makanan yang haram, maka di dalam bulan puasa makanan yang halalpun dilarang. Orang yang beriman dapat menahan nafsunya karena melaksanakan perintah Allah. Walaupun dia sering terpencil seorang diri, tidak seorang jua pun manusia melihatnya, namun dia tetap berpuasa sebab percayanya bahwa Tuhan selalu melihat. Kesabaran menahan adalah nilai yang teramat penting bagi keteguhan jiwa. Sebab itu Nabi bersabda :
“puasa adalah separuh dari sabar” (dirawikan oleh Ibnu Majah)[14]

3.      Rahasia-rahasia dan Tujuan Dari Puasa
Seorang yang berpuasa harus berusaha dengan sepenuh tenaga dan jiwa agar puasanya diterima, yaitu dengan menjaga adab puasa dengan sebaik-baiknya.
Apabila kita periksa dan telaah dengan teliti, maka puasa mengandung rahasia-rahasia yaitu:
a.       Mengurangi kekuatan badaniah, makan dan minum supaya dengannya menjadi tinggilah jiwa keikhlasan dan agar bertambahlah jiwa dengan berbagai macam sifat keutamaan dan kesempurnaan.
b.      Membiasakan diri untuk bersabar dalam kesukaran serta menguatkan cita-cita.
c.       Untuk mengingatkan bahwa kita adalah hamba Allah yang sangat hina, yang amat membutuhkan makanan dan minuman.
d.      Menjaga diri agar tidak jatuh ke dalam jurang dosa dan maksiat.
e.       Menggerakkan hati orang yang mampu untuk menolong orang-orang yang miskin.
f.       Menghidupkan kekuatan pikiran dan kekuatan bashirah (penglihatan mata hati)
Luqman berkata kepada anaknya:
“Hai anakku, apabila perutmu telah penuh sesak dengan makanan, tidurlah pikiranmu, kelulah hikmah dan berhentilah segala anggotamu dari beribadah kepada Allah dan hilanglah kebersihan hati (jiwa) dan kehalusan pengertian, yang dengan keduanyalah diperoleh nikmat bermunajat dan berbekasnya dzikir pada jiwa.”[15]


BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Puasa adalah menahan diri dari segala sesuatu yang dapat membatalkannya seperti makan, minum, serta hawa nafsu dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari dengan berdasarkan niat dan mematuhi syarat dan rukunnya. Puasa wajib adalah puasa yang harus dilaksanakan oleh seluruh umat islam di dunia. Sebagaimana kita ketahui segala sesutu yang dihukumi wajib maka haruslah dilaksanakan karena jika tidak dilaksanakan akan mendapat dosa. Puasa wajib meliputi puasa Ramadhan, puasa Qadha, puasa Nadzar, dan puasa Kaffarat. Puasa Ramdahan merupakan salah satu dari rukun Islam yang lima. Syarat-syarat yang terdapat dalam puasa meliputi syarat syah puasa dan syarat wajib puasa. Sayar-syarat puasa adalah merupakan hal yang penting yang harus diperhatikan. Dimana dalam hal ini syarat-syarat puasa menjadi suatu penentuan diterimanaya puasa seseorang.
Adapun niat merupakan bagian dari rukun puasa. Niat juga merupakan hal yang sangat penting yang juga harus diperhatikan. Sebagaimana sabda Nabi SAW  yang diriwayatkan oleh Bukhari menyatakan:
“ sesungguhnya segala amal perbuatan itu tergantung kepada niat, dan setiap manusia hanya memperoleh menurut apa yang diniatkannya”. Niat juga bisa dikatakan suatu pembeda antara untuk melaksanakan ibadah ataupun hanya sekedar kebiasaan.”


[1]Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi Jilid 2, (Semarang : Toha Putra), hlm. 123.
[2]Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 3-4, (Bandung : Al-ma’arif, 1978), hlm. 194.
[3]Adil Sa’di, Fiqhun Nisa’ Shiyam-Zakat-Haji, (Jakarta : Mizan Publika, 2006), hlm. 43.
[4]Syahruddin El Fikri, Sejarah Ibadah, (Jakarta : Republika, 2014), hlm. 44-45.
[5]Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi Jilid 2, (Semarang : Toha Putra), hlm. 125.
[6]Prof, Dr, Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta : Pustaka Panjimas, 2004), hlm. 116-117.
[7]Syahruddin El Fikri, Sejarah Ibadah, (Jakarta : Republika, 2014), hlm.45.
[8]Prof, Dr, Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta : Pustaka Panjimas, 2004), hlm. 118.
[9]Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pedoman Puasa, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2000), hlm. 84-85.
[10]Ibid, hlm. 86.
[11]Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 3-4, (Bandung : Al-ma’arif, 1978), hlm. 209-212.
[12]Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pedoman Puasa, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2000), hlm. 7-8.
[13]Adil Sa’di, Fiqhun Nisa’ Shiyam-Zakat-Haji, (Jakarta : Mizan Publika, 2006), hlm. 45.
[14]Ibid, hlm. 118-119.
[15]T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pedoman Puasa, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2002), hlm. 38.

0 Response to "Filsafah Puasa"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel